Oleh: Rohayati, S.Pd *
Upaya untuk memoderasikan Islam terus masif dilakukan. Melalui wasathiyah dalam perspektif “Fikih dan Ushul Fikih”, Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama (Kemenag) berupaya membekali guru madrasah dengan pemahaman wasathiyah. Hal ini dilakukan dalam rangka penguatan moderasi beragama di lingkungan madrasah.
Dari acara workshop tersebut istilah-istilah moderat atau wasathiyah adalah "Pertama, wasathiyyat al-ummah (moderasi bagi umat) yang mengandung arti keadilan, kebaikan dan integritas. Kedua, wasathiyyat al-fardi (moderasi bagi individu) yang mengandung makna bersikap sedang dalam setiap urusan dengan cara memilih yang paling utama, terbaik, dan yang lebih adil. Ketiga, yang dimaksud dengan al-tawassuth adalah bersikap adil, karena adil berada di tengah antara lebih dan kurang.
Kaum Muslim wajib menahan diri dari menggunakan nama Allah, atau atas nama agama, untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, diskriminasi, intoleransi, ekstremisme, terorisme, dan penindasan. Sebab, semua itu, bertentangan dengan wasathiyat al-Islam atau moderasi dalam Islam. (Ahad, 21 Febuari 2021, Ihram.co.id)
Sekilah narasi makna Islam moderat begitu apik seakan-akan menjaga kerukunan antar umat dan mencintai keadilan. Namun, istilah “Islam moderat “ sebenarnya tidak pernah dikenal kaum muslimin sebelumnya. Penjelasannya tidak ditemukan dalam kitab-kitab turats para ulama dan salafus sholih, baik itu dalam kitab mu’jam, fikih, atau lainnya. Meskipun pengusung islam moderat mengklaim dasar bagi moderasi istilah ummatan wasathon seperti dalam tafsir surah Al Baqarah ayat 143,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Mereka menyebut, bahwa umatan wasathan yang ada dalam ayat ini adalah umat pilihan. Yakni umat yang memiliki karakter at-tawassuth, yang diartikan bersikap sedang dalam semua urusan, tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula kurang. Juga bersikap adil, dimana adil artinya berada di tengah, antara lebih dan kurang.
Nyatanya makna ini tidaklah berdasar, baik secara lafaz maupun secara ma’tsur ( berdasarkan hadis). Imam Ath Thabari menjelaskan makna “wastu” surah Al Baqarah 143 adalah Al-khiyar (terbaik) dan Al-hasabu (pilihan). Jadi ia adalah pilihan diantara kaumnya, yaitu umat terbaik, pilihan terbaik dan sebagai wasit.
Secara ma’tsur, Imam Ath Thabari menuliskan Rasulullah menafsirkan " وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا “ adalah ummat yang adil.
Umatan wasathon yang dilekatkan kepada ummat Islam adalah umatan yang terbaik, umat yang berbeda dengan umat yang lain. Jadi ummatan wasathon sama sekali tidak ada kaitannya dengan moderasi. Makna “Islam moderat” justru muncul dari dokumen lembaga tink tank AS RAND Corporation yang berjudul “Civil Demokratic Islam, partners, Resources, and strategies” yang ditulis Cherly Benard pada tahun 2003 dan Building Moderate Muslim Networks pada 2007.
Dalam dokumen itu di jelaskan karakter islam moderat adalah mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama, menghormati sumber hukum non agama, menentang terorisme dan mentang kekerasan sesui tafsiran barat.
Karakter moderat inilah yang dinarasikan sebagai Islam damai, tidak radikal, tidak liberal, pertengahan dan tidak ekstrem. Maka langkah moderasi yang terstruktur dan masif ini justru akhirnya akan membawa kaum muslimin berpikiran sekuler radikan dan menjauhkan kaum muslimin dari ajaran Islam itu sendiri. Islam moderat seorang muslim menolak pemberlakuan hukum Islam kaffah, toleran terhadap penyimpangan aqidah, tidak mendiskriminasikan pelaku maksiat, menganggap bahwa Islam tidak beda dengan aturan lain serta menentang islam politik seperti negara Islam, Khilafah, dan jihad.
Padahal islam diturunkan Allah swt. ke tenggah-tengah manusia sebagai petunjuk untuk sistem kehidupan yang didalam syariatnya terdapat hukum-hukum Allah swt. bukan hanya masalah ibadah dan akhlak saja, namun terdapat hukum-hukum terkait ekonomi, sosial, politik, dan sistem sanksi. Allah swt. berfirman dalam tafsir surah An-nahl ayat 89,
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Justru jika umat muslim dan dunia menginginkan kedamaian, kerukunan, kesejahtraan, keberkahan dalam hidup maka, jalanya dengan menerapkan syariah kaffah dalam sistem kehidupan, sebagaimna firman Allah swt. dalam tafsir surah Al-Anbiyah’ ayat 107,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Para ulama mu’tabar menjelaskan rahmat dalam ayat tersebut berkaitan dengan penerapan syariah islam kaffah dalam kehidupan sebagai tuntunan islam yang digunakan oleh Rosulullah swt. disurah lain juga dijelaskan dalam tafsir surah Al A’raf ayat 96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Dalam praktiknya penerapan Islam kaffah melingkupi dataran bumi seluas 3/2 bagian selama 1400 tahun lamanya di masa lampau terbukti mampu memeberikan rasa keamanan, kesejahteraan penjagaan kehormatan pada wanita dan anak-anak, melindungi kaum muslimin dan umat yang lemah, keberkahan bagi alam semesta yang tidak pernah dan tidak akan sanggup diberikan oleh sistem manapun.
Hal ini pun di akui oleh Will Durant, seorang penulis, sejarahwan dan filsuf Amerika dalam bukunya “The Story of Civilization,” dia mengungkapkan “ para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah massa mereka”.
Maka umat muslim tidak harus dicekoki dengan makna-makna bukan dari Islam, jika memang menginginkan kebaikan, seharusnya umat muslim kembali kepada identitas keislaman mereka, dengan menerapkan Islam kaffah.[]
*( Praktisi Pendidikan)
Tags
Opini