Oleh Lis Kurnia Sari
Indonesia menangis. Bencana yang datang bertubi-tubi di awal tahun telah menambah derita di masa pandemi. Setidaknya, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 1-17 Januari 2021, telah terjadi 140 bencana alam di Indonesia. Bencana alam yang terjadi didominasi banjir sebanyak 101 kejadian, tanah longsor, puting beliung, gempa bumi, dan gelombang pasang mengakibatkan 120 korban jiwa, 858(tirto.id 18/1/2021)
Banyak contoh bencana alam besar yang pernah terjadi di Indonesia seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung dengan korban jiwa serta harta benda yang sangat besar. Gunung Karakatau meletus pada 1883, kemudian gempa yang disusul tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 dengan jumlah korban 130 ribu jiwa. Gempa yang berkekuatan 8,7 SR di Nias menimbulkan korban l sekira 900 orang, gempa Yogya menewaskan 300 jiwa, gempa Padang pada 2009 dengan jumlah korban 500 orang. Gempa di Mentawai pada Oktober 2010 menyebabkan 509 jiwa melayang, orang luka-luka, dan 405.584 orang terdampak dan mengungsi. Menambah deretan panjang daftar kegagalan negara dalam mengantisipasi potensi bencana alam, yang hadir bersama dengan kehidupan masyarakat.
Indonesia sudah sangat akrab dengan bencana alam. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Menghadapi ancaman kerugian materi besar dan jiwa yang banyak. Maka penting untuk meluruskan kembali cara memandang bencana alam beserta usaha yang dapat dilakukan dalam perspektif Islam dan dikutip pada penjelasan Keith Smith & David N. Petley dalam buku “Environmental Hazards:Assessing risk and reducing disaster”. Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa bencana alam sesungguhnya merupakan fenomena sosial akibat peristiwa alam.Tidak semua peristiwa alam seperti gempa bumi atau tanah longsor dapat disebut bencana alam. Namun ketika bersentuhan dengan manusia dan menimbulkan kerugian harta dan jiwa maka itulah yang disebut bencana alam qadha’ dari Allah Swt.
Namun, dibalik qadha’ seharusnya ada ikhtiar untuk menghindarinya sebelum bencana alam terjadi. Dalam suatu kejadian bencana alam ada domain yang dapat diminimalisir bahkan dapat dihindarkan dari bahaya. Peristiwa alamiah yang menimbulkan bencana alam tidak dapat dicegah ataupun dihilangkan. Namun segala usaha menghindarkan interaksi antara peristiwa alam yang menimbulkan bencana alam dengan manusia, inilah yang termasuk kedalam upaya manajemen dan mitigasi bencana alam.
Menyelamatkan diri atau orang lain dari bahaya termasuk dalam kategori ikhtiar (usaha) yang wajib dilakukan.Mengingat, selama ini kita hanya disibukkan upaya penanganan pasca gempa, sementara antisipasi masih sangat minim. Masih banyak dari rakyat yang tidak siap dan paham mitigasi bencana, karena memang tak pernah memperoleh simulasi, alih-alih penyuluhan.
Coba kita ingat, bukankah para pejabat itu diberi amanah menjabat demi mandat sebagai pengurus urusan rakyat? Tapi yang terjadi sungguh kontraindikatif. Cara kerja penguasa benar-benar berorientasi hasil, bukan proses. Padahal proses adalah aspek ikhtiar sistemik yang hendaknya diraih secara kualitatif dan kuantitatif. Semata agar ikhtiar tersebut berbuah amal saleh.
Sebaliknya, ketidaksungguhan ikhtiar tidak ubahnya seperti sikap abai. Lantas, masih layakkah kita berharap pada penguasa yang seperti ini? Prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, dan ditujukan untuk kemashlahatan rakyat ,meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana.
Sebagai seorang muslim bahwa bencana adalah ketetapan Allah Swt yang harus disikapi dengan sabar dan rida terhadap segala kehendak-Nya. Bila bersabar maka musibah tersebut akan manjadi penebus dosa baginya. Seorang Mukmin dituntut meyakini bahwasanya tidak ada satu pun musibah menimpa umat manusia kecuali atas izin Allah Swt supaya bisa mengambil pelajaran, memperbaiki diri dan kembali taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah bersabda “Tidaklah suatu musibah yang menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapus (dosa orang itu) dengannya, bahkan duri yang menyakitinya sekalipun.” (HR Al Bukhari). Hal-hal di luar qadha Allah Swt yang diduga kuat menjadi penyebab datangnya bencana.
Dalam Surah Ar-Rum ayat 41 Allah Swt berfirman,“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”Dari ayat ini, Allah Swt telah jelas menyampaikan adanya kerusakan alam diakibatkan tangan manusia.Sungguh, kemaksiatan terbesar negeri ini adalah dicampakkannya hukum Islam.
Berbagai bencana alam yang dilatar belakangi kondisi geografis, geologis,dan hidrologis seharusnya mendorong Indonesia untuk membangun ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana alam.Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia.
Wilayah yang juga terletak di antara benua Asia dan Australia dan Lautan Hindia dan Pasifik memiliki 17.508 pulau. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-pulau yang luar biasa, perlu juga menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki 129 gunung api aktif, atau denga ring of fire, sert terletak berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia: Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.Ring of fire dan berada di pertemuan tiga lempeng tektonik menempatkan negeri kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman bencana alam. Di sisi lain, posisinya yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis memicu terjadinya bencanal ainnya, seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor dan kekeringan.
Adapun manajemen ketika terjadi bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian material akibat bencana. Kegiatan evakuasi korban secepatnya, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban, serta memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar dll) ke tempat yang tidak dihuni oleh manusia, atau menyalurkannya kepada saluran kanal yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Kegiatan yang tidak kalah penting adalah penyiapan lokasi pengungsian, pembentuan dapur umum dan posko kesehatan, serta pembukaan akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan team SAR untuk berkomunikasi dan mengevakuasi korban yang masih terjebak oleh bencana. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya kegiatan ini tergantung pada berhasil tidaknya kegiatan pra bencana.
Pasca bencana kesiapsiagaan target adalah capaian tingkat kesiapan yang memuaskan untuk menanggapi situasi darurat bencana alam melalui program yang akan memperkuat kapasitas teknis dan manajerial bagi aparat khilafah organisasi,dan masyarakat. Langkah ini digambarkan sebagai kesiapan logistik untuk menangani bencana alam dan dapat ditingkatkan dengan mekanisme dan prosedur dalam merespon bencana alam, latihan, membangun strategi jangka panjang dan jangka pendek, pendidikan masyarakat, dan membangun sistem peringatan dini.
Kesiapsiagaan juga bisa berupa penjaminan bahwa cadangan strategis makanan, peralatan, air, obat-obatan dan kebutuhan lainnya dapat dimaanfatkan sewaktu-waktu ketika terjadi bencana alam nasional atau lokal.Termasuk ke dalam fase kesiapsiagaan ialah menyiapkan mental masyarakat ketika terjadi bencana alam, terkait dengan risiko hilangnya harta benda dan jiwa. Hal ini juga harus sering ditanamkan dalam pelatihan dan simulasi yang dilakukan secara berkala hingga tercapai kesiapan yang mantap ketika suatu waktu terjadi bencana alam. Selama fase kesiapsiagaan, khilafah dan masyarakat menyiapkan rencana untuk menyelamatkan nyawa, meminimalisir kerusakan akibat bencana alam, dan meningkatkan kualitas operasi tanggap bencana yang termasuk diantaranya; pelatihan menghadapi kondisi darurat; sistem peringatan dini; sistem komunikasi darurat; rencana dan pelatihan evakuasi; penyiapa cadangan sumber daya; daftar kontak/personil darurat; perjanjian untuk saling membantu antar kelompok masyarakat, penyediaan informasi publik/pendidikan.
Tahapan mitigasi, kesiapsiagaan bergantung pada keselarasan langkah yang tepat dalam rencana pembangunan nasional dan daerah. Selain itu efektivitasnya bergantung pada ketersediaan informasi tentang bahaya, risiko darurat, dan langkah penanggulangan yang akan diambil. Lembaga di bawah khilafah, organisasi masyarakat dan masyarakat umum harus dapat mengakses dan memanfaatkan informasi ini.
Tanggap darurat tujuannya adalah untuk memberikan bantuan segera untuk mempertahankan hidup, memulihkan kesehatan dan dukungan moral untuk penduduk yang terkena bencana alam. Bantuan tersebut dapat berupa pemberian bantuan khusus, namun bersifat terbatas, seperti sarana transportasi, tempat tinggal sementara, makanan, pemukiman semi permanen di kamp-kamp dan lokasi lainnya. Hal ini juga dapat melibatkan perbaikan awal untuk infrastruktur publik yang rusak.
Fokus pada tahapan ini adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sampai solusi yang lebih permanen dan berkelanjutan dapat ditemukan.Organisasi kemanusiaan seringkali terlibat dalam fase ini.
Namun khilafah harus dapat memastikan bahwa organisasi kemanusiaan yang terlibat dalam fase ini tidak sampai disusupi oleh kepentingan yang dapat merusak akidah umat ataupun memecah belah persatuan dalam masyarakat.
Khilafah harus mengambil porsi yang besar dalam tahapan ini, selain karena kewajiban tersebut ada padanya, juga untuk mencegah kemungkinan buruk yang masuk bersama dengan bantuan dari pihak asing. Segala macam bantuan harus diserahkan pada khilafah sekaligus bertanggung jawab dalam menyalurkannya pada orang-orang yang membutuhkan bantuan beserta jenisnya dengan tepat.
Jika di baitul maal tidak lagi tersedia dana untuk masa tanggap darurat ini, dapat menggunakan alokasi dana penanggulangan bencana dari bagian lain dari wilayah khilafah.
Sebagaimana ketika khilafah di bawah pimpinan Umar ra mengalami paceklik, memerintahkan‘Amr bin ‘Ash ra untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik”. Instrumen pajak bisa digunakan ketika baitul maal dan bantuan dari wilayah lain dalam khilafah tidak mencukupi, dengan syarat ditariknya pajak hanya dari golongan masyarakat yang mampu.
Khilafah sudah selayaknya mengambil peran sentral dalam upaya Sejak sebelum terjadinya bencana alam, ketika masa tanggap darurat, hingga masa pemulihan dan kehidupan kembali normal.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab ra pada saat daerah Hijaz benar-benar kering kerontang akibat musibah paceklik pada akhir tahun ke18 H, tepatnya pada bulan Dzulhijjah. Penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah dan mereka tidak lagi memiliki bahan makanan sedikitpun.
Mereka segera melaporkan nasib mereka kepada Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab ra cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini. Dia segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mâal hingga gudang makanan dan baitul maâl kosong total. Dia juga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu.
Jika sebelumnya selalu dihidangkan roti dan lemak susu, maka pada masa ini ia hanya makan minyak dan cuka. Dia hanya mengisap-isap minyak, dan tidak pernah kenyang dengan makanan tersebut. Hingga warna kulit Umar ra menjadi hitam dan tubuhnya kurus; dan dikhawatirkan dia akan jatuh sakit dan lemah. Kondisi ini berlangsung selama sembilan bulan.
Setelah itu keadaan berubah kembali menjadi normal sebagaimana biasanya. Akhirnya para penduduk yang mengungsi tadi, bisa pulang kembali ke rumah mereka
Sungguh, jika negeri ini menerapkan syariat Islam secara total, keberkahan akan berlimpah ruah.
Seperti firman Allah Swt “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96).
Inilah langkah-langkah yang akan ditempuh khalifah untuk menangani bencana yang melanda di wilayah Khilafah Islamiyah. Manajemen semacam ini disusun dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”. Wallahu’alam bi shawab.