Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Keluarga Dan sosial)
Setelah menuai pro dan kontra, Presiden Joko Widodo mencabut peraturan Presiden (perpres) izin investasi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol. Perpres itu tertuang dalam Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021. Jokowi membatalkan perpres tersebut setelah mendengar masukan dari beberapa kelompok masyarakat, seperti ulama, MUI, NU, dan organisasi masyarakat (ormas) lainnya. (www.cnnindonesia.co.id, 02/03/2021).
Namun, para politikus saling berbeda pendapat dalam merespon muatan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 ini. Aturan soal penanaman modal terkait minuman keras termuat dalam lampiran III Perpres soal daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Berikut daftar bidang usaha soal minuman beralkohol beserta syaratnya, yaitu bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol.
Dengan syarat, untuk penanaman modal baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. b) Penanaman modal di luar huruf a, dapat ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan usulan gubernur.
Jika kita mau berpikir lebih obyektif, selain alas an pengharaman dari agama, sudah banyak data yang terpampang nyata dampak buruk miras. Tak terkecuali oganisasi kesehatan kelas dunia pun, yakni WHO, menyatakan bahwa miras membunuh 3,3 juta orang akibat mengonsumsi miras ini jauh diatas gabungan dari korban AIDS, TBC dan kekerasan. Lebih jauh WHO menambahkan alkohol mengakibatkan 1 dari 20 kematian di dunia setiap tahunnya. (kompas.com, 12/05/2014)
Selain itu miras berpotensi menciptakan berbagai kemudharatan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Miras juga mendorong melakukan kejahatan, seperti permusuhan, pencurian, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan bahkan kejahatan yang lainnya. Maka pantas jika Nabi SAW menyebut miras sebagai induk dari segala kejahatan.
Hal ini mendapat perhatian khusus dalam Islam, sejatinya Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 90 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Lantas apakah dengan dicabutnya lampiran Perpres problematika mengenai miras akan tuntas? Sedangkan Perpres memiliki banyak aturan mengenai investasi bidang usaha lainnya.
Mengingat negara ini menganut sistem demokrasi dimana seluruh pengaturan berasal dari akal manusia, manusia yang berhak mengutak atik hukum sesuai keinginan hawa nafsu demi memuluskan kepentingan pribadi dan kelompok, sedangkan aturan agama ditelantarkan. Maka menjadi sebuah keniscayaan bilamana negara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial seperti adanya legalisasi atau investasi miras ini.
Pemberhentian pelegalan atau investasi miras bukan hanya melalui pencabutan lampirannya akan tetapi mengupas tuntas dasar yang melahirkan UU ataupun kebijakan-kebijakan yang asal tebang pilih.
Pangkal permasalahannya adalah tegaknya sistem demokrasi sekuler, segala hal yang memberikan nilai manfaat yang besar serta keuntungan yang menjanjikan, halal ataupun haram tetap harus dijalankan. Maka wajar timbul kerusakan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
Sangat berbeda dengan sistem islam. Aturan Islam menempatkan kedaulatan atau hak pembuat hukum hanyalah Allah semata. Sistem Islam memiliki pola yang tearah dengan penerapan hukum Allah segala bentuk kemaksiatan dihilangkan pelaku kemaksiatan di beri hukuman hingga jera. Sistem Islam menjanjikan umat selalu diarahkan untuk selalu tunduk dan taat terhadap perintah Allah. Oleh karena itu, tak akan pernah ada segala bentuk investasi yang merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, terlebih pada investasi yang jelas-jelas Allah haramkan. Maka, saat miras kembali menjadi kontroversi, kembali pada islam adalah solusi.
Wallahu a’alam bishowab.