Oleh : Tita Rahayu Sulaeman
Presiden Joko Widodo mengesahkan peraturan presiden (Perpres) mengenai dibukanya investasi bagi industri Minuman Keras (miras). Industri Miras yang sebelumnya kategori usaha bidang tertutup ditetapkan sebagai daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang berlaku mulai 2 Februari 2021 (kompas.com 27/02).
Setelah menuai kecaman dari banyak pihak, pada tanggal 2 Maret 2021 akhirnya Presiden mencabut lampiran perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras yang mengandung alkohol. Dalam siaran pers virtual, Presiden Jokowi mengungkapkan, Ia telah mendengar berbagai masukan dari ulama, ormas Islam dan tokoh-tokoh agama di daerah dan provinsi (detik.com 2/03).
Akibat Sekulerisme, Demokrasi dan Kapitalisme
Sebelum Perpres investasi miras disahkan sebetulnya masyarakat sudah cukup khawatir dengan peredaran Miras. Kedai minuman, kafe maupun toko-toko tertentu diperbolehkan menjual barang haram tersebut dengan dalih telah berizin. Penggerebekan dilakukan oleh aparat hukum hanya dilakukan pada miras level oplosan. Sementara gedung yang memproduksi maupun menjual miras tetal berdiri kokoh.
Padahal takkan ada penjual dan pembeli kalau tak ada produsen, bukan? Sayangnya, pemasukan negara dari pajak miras luar biasa besar. Wajar jika pemerintah tetap melindungi produsen dan memfasilitasi peredarannya walau katanya hanya di tempat tertentu saja. Memangnya kalau hanya dijual di tempat tertentu hukum islam bagi miras juga dampak buruk miras akan berubah?
Inilah yang terjadi ketika syariat Islam disingkirkan dari kehidupan dan bernegara. Manusia merasa memiliki kebebasan membuat aturannya sendiri. Padahal aturan-aturan dibuat hanya untuk kepentingan golongan tertentu yang membawa pada kerusakan umat manusia. Keserakahan manusia juga telah membutakannya dari batasan halal-haram yang telah Allah SWT tetapkan. Selama mendatangkan materi, tak masalah bila tidak sesuai aturan agama.
Sistem Demokrasi sejatinya memang tak pernah berpihak pada penegakan syariat. Terutama bagi aturan-aturan Islam yang bersinggungan dengan para pemilik modal. Sistem pemerintahan Demokrasi telah meletakan kedaulatan pada manusia. Maka ayat-ayat suci bukanlah standar bagi penguasa untuk menentukan kebijakannya.
Selain Aturan Islam, Hanya Membawa Pada Kerusakan
Allah telah menetapkan bahwa khamr atau minuman keras adalah haram. Di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah telah Allah sampaikan.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dengan khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [Al-Maa-idah : 90-91]
Rasulullah SAW juga bersabda,
“Khamr adalah induk dari segala kejahatan, barangsiapa meminumnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang Jahiliyyah.” (HR. Ath-Thabrani)
Manusia yang memiliki akal, pasti mampu menilai bahwa minuman keras adalah sesuatu yang buruk. Merusak kesehatan juga akal peminumnya. Belum lagi kriminalitas yang ditimbulkannya. Maka aturan Islam hadir untuk menunjukkan keharamannya. Bila pun ada budaya meminum minuman keras, maka sudah sepatutnyalah budaya yang tunduk pada syariat. Itulah yang terjadi di masa Rasulullah dahulu ketika Allah menurunkan ayat tentang keharaman khamr. Dimana meminum khamr adalah budaya orang-orang pada saat itu.
Lokalisasi maupun regulasi tentang miras yang dilakukan penguasa saat ini hanyalah sebuah pembenaran demi meraih keuntungan semata. Bila pemerintahan dijalankan dengan aqidah Islam, tentu akan tunduk pada perintah Allah untuk mengharamkan miras. Tidak boleh ada yang memproduksi, memperjualbelikan dan mengkonsumsi miras. Negara dengan otoritasnya tidak akan membiarkan umat rusak oleh maksiat yang disebabkan oleh miras. Apalah artinya materi yang didapatkan dari pengelolaan miras, karena ketika dihadapan Allah SWT pada hari penghisaban kelak, semua itu tiada guna.
Melalui peristiwa ini semestinya membawa umat pada sebuah kesadaran bahwa hanya hukum Allah-lah yang terbaik bagi manusia. Hanya ada kekacauan ketika hidup ini diatur oleh hukum-hukum buatan manusia. Umat Islam membutuhkan pemimpin dan sistem pemerintahan yang membawanya pada ketaatan terhadap setiap perintah dan larangan Allah SWT. Saatnya umat manusia hanya kembali pada hukum Allah saja.
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik” (Q.S. Al-An’am : 57)
Wallahu’alam bishawab