Oleh : Kunthi Mandasari
Pegiat Literasi
Bangga terhadap produk Indonesia seharusnya tertanam di benak masyarakat. Hal tersebut seolah diingatkan kembali oleh Presiden kita. Bahkan beliau mengajak masyarakat Indonesia membenci produk-produk asing. Jokowi bahkan meminta produk asing ditaruh di tempat yang sepi pembeli. (kumparan.com, (06/03/2021).
Produk asing memang menjamur di negara kita. Mulai dari bahan pokok makanan hingga kendaraan. Ada barang jadi, ada pula barang mentah. Meski masih ada barang yang tidak diimpor, tetapi kepemilikan produk tersebut merupakan pengusaha asing. Bahkan pengelolaan SDA kita juga berada dalam cengkeraman asing.
Derasnya impor yang membanjiri negara kita tak lepas dari kebijakan yang diterapkan. Sejak WTO digagas di Peru tahun 1994, perdagangan bebas membuat negara berkembang dan negara maju bertanding dalam ring yang sama. Perdagangan bebas menjadi karpet merah bagi produk asing. Produk lokal kerap kalah bersaing karena harga yang ditawarkan jauh lebih murah dari pada produk lokal.
Seperti kebijakan impor beras yang dilakukan menjelang panen raya. Tentu kebijakan ini merugikan para petani. Karena mempengaruhi harga jual gabah yang turun drastis. Kebijakan ini menjadi indikasi kuatnya keberpihakan terhadap asing. Serta rendahnya dukungan terhadap produk lokal.
Seruan benci terhadap produk asing seharusnya diikuti dengan kebijakan dan langkah-langkah kongkrit untuk mendongkrak produksi produk lokal. Bukan bertindak sebaliknya. Bilang benci, tetapi masih getol melakukan impor. Sama saja dengan bohong!
Tidak cukup hanya menyeru benci terhadap produk asing, tetapi juga segala pemikiran asing. Yaitu pemikiran sekularisme kapitalisme serta turunannya. Karena jelas tak sejalan dengan pandangan hidup kaum muslim. Pemikiran asing inilah yang menjadi sumber berbagai kerusakan.
Maka tidak seharusnya segala pemikiran asing masih dipertahankan. Karena hanya Islam yang terbukti mampu memberi solusi bagi permasalahan umat manusia. Melalui negara yang menerapkan syariat Islam (khilafah).
Mekanisme impor akan diperhatikan oleh negara. Kebijakan impor hanya akan didasarkan pada syariat Islam. Sebagaimana hukum asal perdagangan, baik domestik maupun luar negeri adalah mubah sebagaimana hukum umum perdagangan. Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan.
Negara-negara kafir harbi fi'lan seperti AS, Israel, China, dan negara lainnya sama sekali tidak boleh melakukan perdagangan apapun di wilayah negara Islam. Terkait barang yang diperdagangkan juga harus sesuai dengan syariat Islam. Seperti memperhatikan kehalalan daging yang disembelih dan produk yang diimpor.
Negara akan menerapkan sanksi yang tegas bagi para pedagang yang melanggar syariat Islam. Dengan menempatkan qadhi hisbah untuk mengawasi pasar, mengusut setiap pelanggaran dan menjatuhkan sanksi bagi pelaku pelanggaran.
Sementara warga negara Khilafah, baik Muslim maupun nonmuslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan Negara Khilafah dan menguatkan musuh.
Khilafah juga akan mewujudkan kemandirian pangan agar tidak bergantung pada asing. Mengingat pentingnya ketahanan pangan bagi sebuah negara. Mulai dari mengoptimalkan sarana dan prasarana untuk menunjang berkembangnya produk pangan. Memanfaatkan teknologi untuk memperkirakan cuaca. Mitigasi kerawanan pangan dan menetapkan kebijakan untuk mengantisipasi.
Mekanisme pasar yang sehat dan bebas dari kepentingan para kapital hanya bisa diwujudkan ketika Islam diterapkan. Serta didukung pemimpin yang bertakwa. Hal ini hanya bisa terealisasi ketika Islam kaffah diterapkan. Wallahu'alam bishshawab.