Oleh: Desi Anggraini S. Sos
Siapapun sepakat bahwa kehidupan manusia dan dunia hari ini sedang sakit. Bukan karena situasi pandemi saja yang sudah satu tahun lebih melumpuhkan kehidupan manusia diberbagai bidang, namun sakitnya dunia juga manusia hari ini sudah di tingkat komplikasi. Hanya anak-anak yang belum baligh dan orang-orang yang teralienasi dari akses informasi saja yang masih mampu mengatakan dunia hari ini baik-baik saja. Sakitnya dunia hari ini meliputi berbagai bidang kehidupan. Di bidang ekonomi terjadi ketimpangan yang luar biasa. ketimpangan secara ekonomi terekam dalam laporan riset terbitan Oxfam International yang menyatakan bahwa satu persen orang kaya di dunia memiliki kekayaannya dua kali lipat dari 6,9 milliar orang lainnya (Akurat.co 03/02/2020). Di dalam negeri sendiri kemiskinan menjadi fakta yang tak terelakkan. Bank dunia dalam laporannya mengatakan, sebanyak 6 provinsi di Indonesia justru mengalami peningkatan kemiskinan. Utamanya di kawasan Timur Indonesia, dengan provinsi Papua yang tertinggi shebesar 27,5 persen (Kompas.co 10/10/2019).
Di bidang hukum juga tak kalah memprihatinkan. Perampasan Hak Asasi Manusia terus dipertontonkan. Ratusan ribu nyawa melayang. Kehidupan sebagaimana yang digambarkan oleh J. J. Rousseau penggagas teori kontrak sosial terulang kembali, manusia saling menjadi srigala bagi manusia lainnya “homo homini lupus”. Rela membunuh, membantai, menanggalkan rasa kemanusiaannya demi survive, demi penguasaan tidak berpindah tangan, demi memuaskan syahwat dunia . Lihatlah hari ini pembantaian terhadap manusia di berbagai belahan dunia. Selama satu dekade terakhir dari 2011-2020, pasukan keamanan Israel telah membunuh 3.408 warga Palestina. Organisasi Doctors Without Borders memperkirakan setidaknya ada 6700 Rohingya, termasuk 730 anak-anak tewas akibat kekerasan tentara Myanmar dari Agustus hingga September 2017. PBB menyebut, sekitar 200 pemukiman Rohingya juga dihancurkan. Lebih dari 1 juta Muslim Uyghur dimasukkan ke kamp penahanan untuk "dididik ulang" dengan rangkaian penyiksaan yang biadab.
Di bidang kehidupan sosial juga tak kalah hancurnya. Sekularisme dan liberalisme telah menjadikan manusia tidak lagi mampu membedakan mana laki-laki mana perempuan. Bahkan kini telah muncul beragam jenis kelamin. Kaum pelangi ini kini sudah semakin lantang mengibarkan benderanya seiring banyaknya negara yang menjadi pelindung mereka. Jika naluri seksual tidak dapat disalurkan kepada sesama manusia, ada pula yang menempuh penyaluran dengan anime bahkan dengan binatang menjijikan seperti kecoa sebagaimana yang terjadi pada pemuda asal negeri sakura, Jepang.
Sungguh kekacauan yang terjadi dimana-mana, perilaku amoral dan kebengisan yang mengerikan, yang tampak pada manusia hari ini menjadi sebuah fakta yang sulit dielakkan bahwa peradaban manusia hari ini telah menurunkan derajatnya hingga setara dengan hewan. Peradaban hari ini beserta pondasinya telah membuat manusia menjadi hina, sehina-hinanya.
Maka apa yang diungkap sosiolog Ibnu Khaldun bisa menjadi bahan perenungan kita dalam memandang peradaban hari ini. Ibnu Khaldun mengatakan dalam karyanya Al-Mukaddimah bahwa runtuhnya peradaban umat manusia manapun dimulai dari rusaknya manusia. Saat kekuatannya rusak, sifat-sifatnya rusak, agamanya rusak, kemanusiaannya akan rusak. Maka manusia telah berubah menjadi hewan. Manusia yang mengedepankan hawa nafsunya dibandingkan akalnya. Nafsu yang telah mendorongnya untuk mendapatkan kekuasaan, jabatan dan materi dan apapun yang dapat melampiaskan keinginannya dengan berbagai macam cara yang bahkan tidak mampu dicerna oleh akal sehat sekalipun. Maka wajar bila manusia bisa bertransformasi jiwanya menjadi hewan dan menyebabkan hancurnya sebuah peradaban. Sebab, peradaban umat manusia yang dibangun oleh manusia-manusia yang telah rusak. Maka kekuatan utama dari peradaban tadi, yang terdiri dari manusia sebagai pelaku utama peradaban telah hilang kekuatannya sehingga cukup menunjukkan indikasi bahwa peradaban tersebut akan bubar.
Maka manusia membutuhkan sebuah peradaban yang mampu memimpin akalnya untuk menundukkan hawa nafsunya. Menumpas tuntas naluri hewani dan membawanya pada fitrah yang sesungguhnya, sebagai manusia yang telah dianugerahi sang maha kuasa akal yang mampu membedakan baik dan benar sesuai standar pencipta. Karena betapapun jeniusnya manusia tetap tak akan mampu melepaskan subjektivitasnya dalam menilai segala sesuatu. Jika handphone rusak maka bertanyalah kepada yang ahli dalam bidang handphone bukan bertanya kepada tukang kayu. Jika manusia dan peradabannya rusak maka bertanyalah pada zat yang menciptakan manusia bukan dengan makhluk ciptaan-Nya. Kembalilah kepada fitrah !