Oleh : Dyah Astiti
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menargetkan pembangunan area lahan kawasan perkebunan singkong pada 2021 mencapai 30 ribu hektare. Pembangunan perkebunan singkong yang terletak di Desa Tewaibaru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, itu bagian dari program Kemenhan dalam mewujudkan cadangan logistik strategis nasional. Itu menjadi bagian dari program food estate yang menjadi amanat Presiden Joko Widodo dalam pengembangan lumbung pangan nasional. (republika.co.id 14/03/21).
Ketahanan pangan memang menjadi salah satu penopang bagi kemandirian bangsa ini. Ancaman krisis pangan yang terjadi, utamanya akibat COVID -19 tidak bisa dielakkan. Presiden Joko Widodo menekankan, pengembangan lumbung pangan ini untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi COVID-19 seperti peringatan dari organisasi pangan dunia (FAO). Hal tersebut berhasil direspon oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan merencanakan pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) yang berlokasi di Kalimantan Tengah.
Tidak bisa dipungkiri, hadirnya lumbung pangan nasional menjadi langkah optimalisasi produksi pangan nasional. Apalagi di tengah ancaman krisis pangan. Tentunya upaya menambah produksi pangan perlu dilakukan. Namun ada banyak hal yang perlu diperhatikan terkait dengan krisis pangan yang harusnya juga turut dikaji dan dibenahi. Mulai tepat atau tidaknya singkong menjadi komoditas yang diprioritaskan, sampai manajemen pangan.
Ketahanan pangan merupakan sesuatu yang perlu terus dibangun. Apalagi di tengah kondisi krisis yang menimpa negeri ini. Bahkan untuk negeri yang notabene negara agraris. Ternyata ketahanan pangan Indonesia masih lemah. Lemahnya ketahanan pangan jelas tak bisa dipisahkan dari manajemen ketahanan pangan itu sendiri yang sangat erat kaitannya dengan sistem yang diterapkan. Bukan hanya sekedar optimalisasi produksi.
Optimalisasi produksi, seolah akan menjadi sesuatu yang sia-sia jika tidak dibarengi dengan berbenahnya manajemen distribusi dan penyelesaian masalah kemiskinan. Karena Ketahanan pangan adalah kemampuan sebuah negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya akan pangan. Meskipun ketersediaan pangan berlimpah, namun jika daya beli masyarakat rendah akibat kemiskinan. Tetap saja distribusi tidak akan merata dan kesulitan akan kembali dirasakan masyarakat.
Namun untuk membenahi sistem distribusi dan keluarnya negara dari masalah kemiskinan jelas tidak mungkin diwujudkan dalam sistem kapitalisme. Sistem dengan orientasi keuntungan ini berhasil menjadikan kekayaan hanya berputar diantara pemilik modal. "Yang kaya makin kaya, yang mikin makin sengsara". Sepertinya slogan itu sangat tepat untuk menggambarkan kondisi hari ini.
Belum lagi liberalisasi yang tidak pernah bisa dipisahkan dari sistem kapitalisme. Liberalisasi berdampak pada terbukanya kran investasi dalam segala bidang. Bukankah proyek lumbung pangan ini adalah sesuatu yang cukup menggiurkan bagi para investor? Jika tidak bijak menyikapi, kondisi ini justru akan menjadikan mengalirnya keuntungan pada para pemilik modal.
Kondisi pengelolaan masalah krisis pangan hari ini sangat berbeda dengan Islam. Dalam Alquran dicontohkan bagaimana Nabi Yusuf membangun ketahanan pangan.
“Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.” (QS. Yusuf : 46)
Menurut penulis tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibn ‘Asyur, manajemen katahanan pangan ala Nabi Yusuf As tersebut perlu diwujudkan dengan memahami simbol-simbol ketahanan pangan.
"Sapi yang gemuk merupakan simbol orientasi produksi pangan dengan mengoptimalkan produksi lahan pertanian. Tangkai gandum yang hijau adalah simbol tata pembenihan, penyuburan dan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan pokok setiap masa tanam. Sapi yang kurus melambangkan pentingnya mengantisipasi masa paceklik dan krisis pangan di masa mendatang."
Setidaknya ada lima prinsip pokok tentang ketahanan pangan yang digagas dan diterapkan oleh Nabi Yusuf AS yang pernah dijalankan di masa yang panjang dari peradaban Islam, yang tetap relevan hingga masa-masa mendatang.
Pertama, optimalisasi produksi, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Di sinilah peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.
Kedua, adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan. Konsumsi berlebihan justru berpotensi merusak kesehatan (wabah obesitas) dan juga meningkatan persoalan limbah. Nabi juga mengajarkan agar seorang mukmin baru “makan tatkala lapar, dan berhenti sebelum kekenyangan”.
Ketiga, manajemen logistik, dimana masalah pangan beserta yang menyertainya (irigasi, pupuk, anti hama) sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Di sini teknologi pasca panen menjadi penting.
Keempat, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembaban udara, penguapan air permukaan serta intesitas sinar matahari yang diterima bumi.
Kelima, mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu.
Selain itu negara wajib membuat kebijakan demi terwujudnya kedaulatan dan ketahanan pangan. Bila pangan pokok adalah padi, maka lumbung pangan seharusnya diprioritaskan pada padi. Bila terkendala kurangnya lahan yg sesuai karena penguasaan oleh swasta maka harus ada kebijakan tegas menghentikan alih fungsi lahan agar lahan yg cocok bisa ditanami padi. Selain itu juga harus ada kebijakan menyokong pertanian dan menghentikan impor.
Negara Islam (Khilafah) telah berhasil mencetak banyak ilmuwan pertanian. Misalnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad Ibn Al-Awwan, tinggal di Sevilla. Ia menulis buku Kitab al-Filahah yang menjelaskan rincian tentang hampir 600 jenis tanaman dan budidaya 50 jenis buah-buahan, hama dan penyakit serta penanggulanganya, teknik mengolah tanah, sifat-sifat tanah, karakteristik dan tanaman yang cocok, juga tentang kompos.
Sungguh begitu sempurnanya aturan Islam. Mampu menjadi penyelesai dalam setiap permasalahan karena datang dari Zat yang paling tahu tentang manusia, alam semesta dan kehidupan. Satu-satunya solusi hakiki atas setiap permasalahan manusia.
Wallahu'alam Bissawab