Oleh: Lisa Erisca
Pemerintah Provinsi Jawa Barat saat ini tengah gencar memperkenalkan kawasan industri dan perkotaan baru, yakni Rebana Metropolitan. Kawasan ini berada wilayah utara/timur laut Provinsi Jawa Barat yang meliputi tujuh daerah, yakni Kabupaten Sumedang, Majalengka, Cirebon, Subang, Indramayu, Kuningan, dan Kota Cirebon. Di sana akan ada 13 titik yang telah ditetapkan menjadi kawasan industri tematik dengan fungsi work, live, and play (bekerja, tinggal, dan bermain).
Wilayah dengan jumlah penduduk sebanyak 9,28 juta atau sekitar 18,82 persen dari total 49,3 juta jiwa penduduk Jabar tersebut ke depannya akan didukung dengan berbagai fasilitas strategis, seperti Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang dan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Majalengka. Bahkan keduanya didaulat menjadi jantung pertumbuhan kawasan ini. Keduanya berfungsi sebagai pusat konektivitas dan logistik.
Rebana Metropolitan diproyeksikan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi Jabar di masa depan. Melalui kawasan ini Pemprov Jabar menargetkan laju pertumbuhan ekonomi hingga 10 persen, pertumbuhan nilai investasi hingga 17 persen, dan menciptakan kurang lebih 4,3 juta tenaga kerja baru pada tahun 2030.
Terkait dengan pembiayaan pengembangan kawasan ini, maka di dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 84 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Pengembangan Kawasan Metropolitan Cirebon-Patimban-Kertajati Tahun 2020-2030 disebutkan bahwa pembiayaan pengembangan kawasan Metropolitan Rebana bersumber dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, dan sumber pendapatan lain yang sah dan tidak mengikat. Peraturan ini dibuat mengingat kemampuan pendanaan pemerintah tidak sepenuhnya mencukupi untuk mewujudkan kawasan ini. Oleh karena itu, perlu suatu upaya mengajak pihak-pihak lain di luar pemerintah untuk bermitra atau berkolaborasi mewujudkan megaproyek ini. Di antaranya dengan mengajak para investor dalam acara Road to Indonesia Investment Day (IID) 2020 ke-8 (29 September 2020) dan West Java Investment Summit (WIJS) (16-19 November 2020). Investasi dilakukan dengan menerapkan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership. Dengan KPBU, infrastruktur untuk rakyat dapat tersedia, sedangkan badan usaha akan mendapatkan keuntungan dari investasinya.
Sikap agresif “menjemput bola” inilah yang mengantarkan Jawa Barat menjadi juara dalam hal investasi hingga kuartal III-2020. Dalam kondisi pandemi, Jawa Barat berhasil menarik investasi sebesar Rp86,3 triliun selama tahun 2020 dari target sebesar Rp90 triliun. Menurut Emil – sapaan akrab Ridwan Kamil − investasi adalah solusi untuk memulihkan perekonomian Jabar yang sempat terpuruk karena pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pada era pandemi Jabar mengalami kontraksi ekonomi hingga minus 5,9 persen. Angka tersebut berada di atas kontraksi ekonomi nasional yang minus 5,38 persen. Dengan meningkatkan investasi, diharapkan akan ada banyak lapangan kerja yang tercipta. Kesejahteraan rakyat pun akan segera terwujud. Benarkah begitu?
Apa yang disampaikan Emil ini sejalan dengan sudut pandang sistem ekonomi liberal-kapitalisme. Menurut Teori Harrod-Domar disebutkan bahwa investasi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ditandai dengan pembangunan industri besar-besaran karena fokus ekonomi kapitalisme bertumpu pada persoalan produksi. Adapun skema pembiayaan pembangunan industri yang besar-besaran itu tidak mungkin mengandalkan APBN dan/atau APBD yang jumlahnya terbatas, maka skema pembiayaan industri bertumpu pada utang dan investasi.
Jadi, menurut teori ini masalah pembangunan pada dasarnya merupakan masalah penambahan investasi modal. Kehadiran investor asing merupakan sesuatu yang sangat penting bagi pembangunan suatu negeri karena dapat mendorong kegiatan ekonomi, menyerap banyak tenaga kerja, meningkatkan output yang dihasilkan, menghemat devisa atau bahkan menambah devisa. Investasi juga akan meningkatkan pendapatan negara dan memperbesar kapasitas produksi ekonomi. Oleh karena itu, investasi harus terus digenjot karena diyakini merupakan langkah terbaik dalam pemulihan dan pertumbuhan ekonomi ke depannya. Sejumlah fasilitas yang menunjang masuknya investasi asing dilakukan, mulai dari pembuatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), infrastruktur hingga perizinan, termasuk regulasi yang menghilangkan segala bentuk hambatan bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Tatar Sunda ini.
Namun perlu disadari bahwa pada hakikatnya yang merasakan manfaat dari investasi tersebut hanyalah segelintir orang saja, yakni para kapitalis. Lewat investasi, banyak kebijakan yang bisa dibeli oleh investor atau para kapitalis untuk memuluskan kepentingan mereka. Sebagai contoh, pembangunan Kawasan Subang Industrial Park di atas area seluas 11 ribu hektare menyebabkan alih fungsi lahan secara besar-besaran dari sawah dan perkebunan menjadi kawasan industri. Dan ini menyebabkan banyak kepala keluarga yang kehilangan mata pencahariannya sebagai petani. Sedangkan industri tidak bisa menampung mereka yang kehilangan pekerjaannya karena terjegal masalah ijazah dan keterampilan kerja. Ditambah dengan akses modal yang sulit dan keahlian wirausaha yang minim, semakin melengkapi keterpurukan para petani yang telah kehilangan mata pencahariannya. Dan ini berimbas kepada meningkatnya angka kemiskinan. Beralihnya fungsi pertanian menjadi kawasan industri pun mengancam ketahanan pangan, sehingga ketergantungan terhadap pangan impor semakin besar. Dan ini berpotensi menghancurkan kedaulatan pangan yang pada akhirnya akan mengancam kedaulatan negara.
Ancaman serius di masa depan dapat muncul jika pemerintah menyepakati Turnkey Project Management dengan negara investor, sebagaimana kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Cina dalam berbagai proyek yang menyebabkan berbondong-bondongnya TKA dari Cina masuk ke Indonesia dan menggeser tenaga kerja lokal. Perlakuan diskriminatif dan penyediaan sarana pun disesuaikan dengan kebutuhan TKA. Tak hanya berhenti di situ, kesepakatan ini dapat menjadi pintu masuk paham-paham dan gaya hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam seperti minuman keras, prostitusi, hingga narkoba. Potensi kerja intelijen oleh TKA pun disinyalir oleh banyak pengamat dapat menguasai aset negara yang strategis bila proyeksi keuntungan dari investasi itu tidak bisa dicapai.
Meskipun Emil menyatakan akan menggunakan skema KPBU yang dianggap lebih menguntungkan karena biaya proyek dan resiko yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih kecil karena dibagi dengan swasta (investor), tetap saja proyek ini bersifat profit oriented. Walaupun bersifat pelayanan publik, para investor tentunya harus mendapat keuntungan yang mengakibatkan biaya pelayanan menjadi lebih mahal dan sulit dijangkau oleh rakyat.
Yang tak kalah berbahayanya adalah keberadaan kota-kota industri yang tidak hanya mencakup industri saja, tapi juga properti komersial, area rekreasi, dan pendidikan. Properti komersial seperti hunian mewah dan hotel akan menggeser life style masyarakat setempat menuju kebarat-baratan. Masyarakat pun “dididik”menjadi konsumtif dan hedonis agar menjadi market besar bagi produk-produk negara maju. Institusi-institusi pendidikan juga didirikan untuk menghasilkan SDM-SDM yang sesuai dengan arahan korporasi, yakni SDM-SDM yang sekuler-liberal dan apolitis yang menjadi sekrup-sekrup mesin kapitalisme.
Jadi, jelaslah investasi bukanlah solusi atas keterpurukan perekonomian negeri ini. Investasi untuk pemulihan dan pertumbuhan ekonomi hanyalah kamuflase. Justru investasi adalah cara para kapitalis untuk menguasai negeri ini untuk kepentingan mereka dengan meninggalkan berbagai kerusakan, baik kerusakan lingkungan, pemikiran, dan gaya hidup. Investasi dalam sistem kapitalisme hanya menjadikan rakyat sebagai korban.
Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Di dalam sistem ekonomi Islam, investasi tidak dijadikan sebagai sumber dana pembangunan ekonomi. Selain karena investasi dalam sistem kapitalisme sarat dengan riba yang diharamkan dalam Islam, investasi juga menjadi jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum muslimin dan menjarah sumber daya alamnya. Islam memiliki mekanisme tertentu dalam membiayai pembangunan. Jika ada kebutuhan pendanaan terhadap sebuah proyek maka akan dikaji status proyek tersebut, apakah urgen dibangun atau tidak. Dan indikator urgen atau tidaknya disandarkan pada kemudharatan umat. Selain itu dilihat juga keuangan kas negara di Baitul Mal. Apabila kas Baitul Mal tidak cukup untuk mendanai proyek yang dianggap tidak vital, maka pengerjaannya bisa ditangguhkan. Namun jika proyek tersebut dianggap vital, sedangkan kas Baitul Mal tidak mencukupi, maka negara akan mengambil langkah cepat dengan memungut dharibah/pajak temporal kepada orang kaya. Pajak dalam Islam berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme. Selain negara tak menjadikan pajak sebagai sumber pendanaan, juga sifatnya yang temporal atau insidental.
Dalam APBN sistem Islam, sumber utama pendapatan negara bukanlah dari pajak dan utang, tapi dari fa’i dan kharaj, kepemilikan umum, dan shadaqah. Dari sumber pemasukan ini kas negara akan relatif stabil dan tak mudah defisit karena swasta apalagi asing tidak diperbolehkan menguasai SDA. Dengan demikian, pendanaan proyek bersumber dari kas negara (Baitul Mal) adalah niscaya. Maka dari itu, negara sangat dibutuhkan kehadirannya secara langsung dalam mengelola urusan perekonomian rakyat. Negara tidak boleh hanya menjadi regulator saja. Negara harus terbebas dari setiran pihak manapun sehingga kebijakannya berporos hanya pada kepentingan umat dan kemuliaan agama Allah SWT.[]