Oleh: Peni Lestari
Belum lama ini kita dihebohkan dengan peraturan presiden (Perpres) soal izin investasi industri minuman keras (miras). Namun karena mendapat banyak masukkan dari ulama dan ormas-ormas Islam hingga pemerintah daerah. presiden Jokowi akhirnya mencabut lampiran III pada Perpres 10/2021.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang bidang-bidang yang dibuka untuk investasi terdiri dari bidang usaha prioritas, bidang usaha yang dialokasikan atau kemitraan dengan Koperasi-UMKM, dan bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Pada lampiran III Perpres investasi miras ini, ada 5 daftar bidang usaha yang bergerak pada komoditas miras. Pertanyaannya, dengan dicabutnya klausul mengenai investasi miras, akankah bahaya dari peredaran miras akan hilang?
Jika ditelisik lebih dalam sesungguhnya, munculnya perpres ini merupakan bentuk pengejawantahan UU Omnibus law cipta kerja. Mengutip di laman (katadata.co.id 7/10/2020), pemerintah mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan membuka 14 bidang usaha sebagai investasi melalui UU Cipta Kerja. Di antaranya yang dibuka adalah minuman keras yang mengandung alkohol.
Omnibus law tersebut mengubah UU 25/2007 tentang penanaman modal. Salah satu poin yang diubah adalah pasal 12 tentang bidang usaha yang terbuka dan tertutup untuk investasi. Maka sebenarnya yang menjadi dasar diterbitkannya perpres mengenai klausul investasi miras ada pada UU 11/2020 tentang cipta kerja.
Bisa jadi, keputusan pencabutan lampiran miras hanya untuk meredam amarah publik saat ini. Harus diingat, yang dicabut lampirannya, bukan Perpresnya, yang mana dalam Perpres tersebut ada banyak aturan mengenai investasi bidang usaha lainnya. Lantas, akankah investasi miras berhenti dengan pencabutan lampirannya saja, sementara Omnibus Law UU Cipta Kerja yang mengatur investasi tersebut masih melenggang dengan bebas?
Inilah potret buram sistem demokrasi, mudah mengkompromikan hukum demi kepentingan materi. Tidak peduli apakah itu melanggar norma-norma agama di negeri ini. Undang-undang dibuat untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Suatu hari diputuskan, lain waktu direvisi sesuai pesanan.
Dalam demokrasi pemikiran manusia bebas menentukan aturan. Hukum agama tidak menjadi standar dalam menetapkan UU. Tidak heran banyak sekali UU yang menjadi kontroversi yang menyalahi hukum Islam. Yang haram pun menjadi legal sehingga membuka banyak pintu kemaksiatan.
Contoh kerusakan akibat miras sendiri telah tampak dari pemberitaan media baru-baru ini , yaitu tertangkapnya oknum polisi mabuk miras yang melakukan penembakan hingga timbul korban jiwa (kumparan.com, 25/2/2021). Dan banyak sekali kasus-kasus kriminal lainnya seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diakibatkan oleh Miras.
Miras dilarang dalam Islam karena merusak akal dan bisa membuat kecanduan. Namun sayangnya dalam sistem Demokrasi sekuler ini tidak berlaku sehingga apapun yang dianggap mendatangkan nilai manfaat dan keuntungan, meski haram sekalipun mereka halalkan dengan segala cara.
Demikianlah jika aturan yang dipakai aturan buatan manusia, karena sifat dasar manusia relatif berubah-ubah sehingga tidak ada jaminan memberi solusi bagi umat manusia. Berbeda jika aturan yang dipakai atauran dari sang pencipta, sudah pasti dijamin akan memberi solusi tanpa masalah. Karenanya hanya dengan menerapkan hukum Allah Swt (syariat Islam) secara sempurna segala bentuk kemungkaran akan dibasmi sampai akarnya.
Dan yang pasti aturan dari sang pencipta akan membawah berkah untuk seluruh mahluk tak terkecuali. Karena sesungguhnya Allah swt lah sebaik-baik pembuat hukum. “....Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah Swt. Dia menerangkan kebenaran dan Dia memberi keputusan yang tebaik”.(TQs: Al-An’am : 57). Wallahu’alam Bishowab
Tags
Opini