Oleh : Eri
Ada yang menarik dari pemilu Israel tahun ini yang mengundang perhatian khalayak ramai. Bagaimana tidak, ada harapan perdamaian dari hasil pemilu yang menentukan hubungan Palestina dengan Israel. Namun, hasilnya tidak menunjukkan prospek perdamaian antara kedua belah pihak.
"Agenda politik dari partai-partai pemenang dalam pemilu Israel menunjukkan bahwa tidak akan ada mitra politik untuk Palestina dalam proses perdamaian," ujar Mohammad Shtayyeh pada pekan ini. (republika.co.id 25/3/21)
Sangat mengejutkan partai Islam Ra'am memenangkan dukungan yang cukup untuk mengamankan lima kursi dalam parlemen. Kemenangan ini bisa menentukan masa depan pemerintahan Israel. Apakah terjadi koalisi dengan Perdana Menteri Netanyahu atau dengan para pesaingnya. Sayangnya Apapun yang akan terjadi, Israel akan tetap menjajah Palestina.
Ini sesuai dengan pernyataan yang dilontarkan Netanyahu didepan para pendukungnya. 'Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan jika dia terpilih kembali dia tidak akan mengizinkan pembentukan negara Palestina yang berdaulat penuh (wartaekonomi.co.id 24/3/21)'. Pernyataan tersebut menegaskan arah politik luar negeri Israel, siapa pun pemimpinnya akan terus menduduki tanah Palestina. Sikap ini juga didukung Barat melalui programnya dengan negeri-negeri Muslim yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.
Sikap khianat para pemimpin negeri Muslim tidak terlepas dari ketundukan mereka terhadap tuannya. Wajar, mereka melakukan itu untuk menjaga kekuasaannya. Selain itu, Barat maupun PBB hanya memberikan solusi perdamaian berupa two-state solution sebagai bentuk kepedulian nasib rakyat Palestina. Solusi yang memberikan kemerdekaan Palestina dengan mengakui wilayah Israel saat ini. Inilah ironi Palestina.
Hasil pemilu jelas tidak bisa diharapkan membawa perubahan bagi Palestina. Barat tidak akan rela Palestina dibiarkan merdeka begitu saja. Bahkan sistem yang berlaku saat ini mengizinkan Israel mengambil paksa tanah Palestina. Untuk itu, solusinya bagaimana menyingkirkan Israel dan sistem kufur yang masih diemban.
Nampak jelas masalah utama Palestina adalah ketiadaan junnah yang melindungi tanah umat Muslim. Maka, sudah seharusnya umat berjuang untuk menegakkan kembali. Sistem yang diemban merupakan buatan kaum kafir yang hanya memihak kepentingan mereka dan setiap kebijakan hanya akan menzalimi umat Muslim. Tentu, tidak pantas mengharapkan solusi dari sistem kufur ini.
Hanya Khilafah yang layak menjadi junnah umat Muslim di Palestina. Sebab, satu-satunya institusi yang menerapkan Islam sebagai aturan hidup secara kaffah. Khilafah adalah ajaran Islam yang dicontohkan Rasulullah, para sahabat dan khalifah seterusnya.
Berbeda dengan sistem demokrasi, kedaulatan berada ditangan Syara'. Sehingga seorang pemimpin wajib menjalankan syari'at Islam serta tidak tunduk dengan kebijakan Barat dan sekutunya. Institusi yang bersikap tegas dan tidak mudah diintervensi asing. Sejarah mencatat, sikap tegas Khalifah Abdul Hamid II menolak melepaskan tanah Palestina. Sekalipun dibujuk rayu dengan materi oleh Theodore Herzl, pendiri Zionis Israel.
Khalifah mampu menyatukan umat dalam Ukhuwah Islamiyyah dan menyerukan jihad untuk mengemban Islam ke seluruh dunia. Dengan cara ini, Palestina akan segera kembali ke pangkuan umat Muslim. Tidak akan ada lagi kezaliman, penjajahan atau penderitaan yang dirasakan umat Islam di seluruh dunia.
Waallahu a'lam bis shawwab.
*(Pemerhati Masyarakat)
Tags
Opini