Oleh : Ambarawati
Potret kehidupan perempuan di seluruh dunia hingga hari ini masih diwarnai derita dan nestapa. Dalam era demokrasi ini, alih-alih terangkat martabatnya, banyak perempuan justru terjerumus pada masalah yang kian parah.
Bagaimana tidak, fitrah perempuan sebagai ummu wa rabbatul bait (selaku ibu dan pengurus rumah tangga) kian terkikis. Perempuan digiring keluar rumah untuk membantu menopang perekonomian keluarga bahkan sampai ke mancanegara negara, tanpa suami/mahramnya. Mirisnya, tak sedikit di antara mereka yang mengalami pelecehan seksual, intimidasi, bahkan perkosaan.
Lalu atas nama emansipasi, perempuan berlomba-lomba ingin diakui. Program kesetaraan gender yang digaungkan para penggiat feminisme di seluruh belahan dunia menjadi senjata 'perjuangan' mereka. Termasuk para perempuan muslimah, mereka ramai-ramai berkompetisi dengan para laki-laki untuk bekerja di sektor publik, menempati jabatan-jabatan strategis dalam perusahaan ataupun pemerintahan. Sayangnya, banyak yang tidak memperhatikan rambu-rambu (syari'at Islam) sebagai tolok ukur dalam berkiprah dan berkarya.
Dengan dalih mengangkat harkat dan martabat perempuan dari penderitaan, mereka berasumsi bahwa superioritas laki-laki lah yang mengakibatkan terjadinya kekerasan seksual, dan kebijakan-kebijakan yang tidak pro pada perempuan lah yang membuat perempuan tak henti-hentinya dirundung beragam persoalan. Maka, para penggiat keseteraan gender berusaha secara massif masuk ke ranah kekuasaan dengan maksud bisa menetapkan kebijakan yang pro terhadap hak-hak perempuan. Namun, apakah langkah ini solutif?
Jawabannya, jelas tidak. Aktivitas para penggiat feminisme & kesetaraan gender tidak mungkin berhasil tanpa restu organisasi dunia. Mereka bersinergi dengan para kapitalis saat ini dengan mengalihkan kebobrokan sistem kapitalis sekularis dan liberalis, melahirkan tokoh-tokoh yang tidak mengatasi permasalahan perempuan bahkan menjadikan keindahan perempuan sebagai objek untuk aset ekonomi dan tenaganya sebagai penyumbang devisa negara.
Penggiat feminisme menggoreng isu bahwa syari'at Islam mengekang perempuan. Bahkan dalam ranah yang di dalamnya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, beragam hal diangkat menjadi isu nasional dan berhasil disahkan menjadi undang-undang. Sementara perempuan yang sengaja mengumbar aurat bahkan dipertontonkan malah dilindungi atas nama hak sasi manusia.
Wahai muslimah di manapun berada, di manakah pemimpin yang katanya muslim tapi menutup mata bahkan merestui ternodanya kehormatan perempuan, bekerja banting tulang, bekerja walaupun terancam dirinya, pemerkosaan, pelecehan seksual, menjadi tontonan bagi para sahwat penjaja seks, tangan halusnya menjadi kasar karena kerja kerasnya, fisiknya teraniaya bahkan ternoda tapi bertahan demi penghidupan yang lebih baik. Dimanakah kalian? Bayangkan apabila kisah-kisah yang ditonton itu terjadi pada keluarga sendiri, anak perempuan kita, saudara perempuan kita bahkan ibu kita.
Berharaplah hanya kepada Islam, perempuan akan mulia dan mendapatkan kehormatannya dalam bingkai khilafah Islam ala minjah nubuwwah. Seorang khalifah akan menjadi garda terdepan melindungi kaum perempuan bahkan berani berperang dengan negara yang melecehkan perempuan apalagi sampai ternoda kehormatannya. Kehidupan ekonomi yang semakin mencekik dan resesi ekonomi semakin pelik, alhasil pengangguran skala besar dan menggiring seorang ibu mengambil peran ganda bahkan berlipat ganda.
Hanya Islam dengan aturan yang bersumber pada Allah Ta'ala yang bisa jadi solusi solutif untuk perempuan dan kehormatannya. Yang lain terbukti gagal dan hanya menjadi kisah berulang.
Bogor, 10 Maret 2021
Tags
Opini
Yup! Perempuan butuh Islam.
BalasHapus