Oleh: Siti Komariah
(Pemerhati Masalah Publik)
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Penggalan lirik lagu "Kolam Susu" karya Koes Plus seyogianya mengambarkan kekayaan alam negeri Indonesia ini, mulai dari kesuburan tanahnya hingga melimpahnya sumber daya alam di lautan dan di daratan.
Hal ini seyogianya cukup membuat rakyat Indonesia ini sejahtera dan bahagia. Namun, nyatanya tidak demikian. Seperti halnya naiknya harga kedele baru-baru ini yang berdampak buruk bagi para perajin tahu tempe di sejumlah daerah di Indonesia, termaksuk di daerah Sulawesi Tenggara, Kabupaten Konawe Selatan, Konda.
Seperti dilansir sultra.antaranews.com (28/1/2021), Perajin tahu dan tempe mengeluhkan harga kedelai naik dari Rp8 ribu per kilogram menjadi Rp10 ribu per kilogramnya sejak awal bulan Januari akibat kedelai langka. Sejak naiknya harga kedelai omset dan keuntungan usahanya pun menurun, dampaknya beberapa karyawan harus diistirahatakan dan gaji pun dikurangi. Jika harga kedelai terus naik perajin Tahu Tempe terancam gulung tikar.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, kenaikan harga kedelai dunia diakibatkan lonjakan permintaan dari Tiongkok kepada Amerika Serikat (AS) selaku eksportir kedelai terbesar dunia. Kenaikan permintaan dua kali lipat dari biasanya mengakibatkan ekspor AS ke negara lainnya terganggu, termasuk ke Indonesia. (cnbcindonesia.com, 3/1/2021).
Jika dipandang, negeri Indonesia sejak lama telah menjadi negara importir kedelai, sebab produksi dalam negeri tidak bisa mencukupi kebutuhan konsumsi di masyarakat. Padahal, jika ditilik negeri ini mampu memproduksi bahan pangan lebih banyak. Sebab, kesuburan tanah dan iklim, serta sumber daya manusia telah dimiliki oleh negeri Indonesia.
Namun, hal itu mustahil terjadi karena sistem ini membuat negara tak berdaya dalam mengurusi urasan rakyatnya, termaksud urusan pemenuhan kebutuhan kedelai. Negara tidak berusaha menyelesaikan masalah ini hingga ke akarnya, misalnya, meningkatkan produktivitas kedelai dalam negeri. Perluasan media tanam. Pembuatan bibit varigeta yang unggul, dan memfasilitasi segala sarana dan pra sarana petani, menjaga pendistribusian ke seluruh negeri, serta perlindungan harga bagi para petani. Negara justru mengambil jalan impor dan membiarkan para mafia pangan mengerogoti negeri ini.
Akibatnya, berbagai impor pangan masuk dengan ugal-ugalan ke dalam negeri ini mulai dari beras, jagung dan juga kedelai. Sehingga, para rakyat lah yang terus menjadi korban.
Hal ini tidak akan terjadi dalam Islam, sebab Islam dengan sistem ekonomi dan politiknya memiliki strategi jitu dalam pengaturan pengelolaan pertanian. Negara senantiasa meriayah kehidupan rakyatnya, salah satunya pemenuhan kebutuhan pangannya.
Negara memberikan perhatian terhadap urusan perntanian, misalnya dengan mendukung produksivitas secara maksimal dengan cara menyediakan bibit unggul terbaik, menyediakan lahan pertanian terbaik, memberikan pemodalan bagi rakyat dengan mudah, membangun insfratruktur pertanian dengan teknologi dan mesin yang cangih dan lain sebagainya.
Tak sampai disitu, khilafah pun memastikan pendistribusian barang sampai ke berbagai pelosok wilayah negeri, bahkan daulah juga menjamin perlindungan harga bagi para petani. Jalan impor hanya dilakukan jika negara benar-benar kekosongan di seluruh wilayah daulah. Perjanjian impor pun dilandasi dengan syariat Islam. Sehingga, negeri Islam juga terbebas dari monopoli-monopoli kaum kapitalis.
Oleh karena itu, negeri ini akan terbebas mampu mengelola kekayaan alamnya jika negeri ini lrpas dari cengkraman sistem kapitalisme dan mengambil sistem Islam sebagai solusi terbaik dari mengatur hidupnya. Wallahu a'lam bisshawab.