Oleh : Raihana Radhwa (Ibu Rumah Tangga)
Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 beberapa hari terakhir menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Di tengah ancaman learning loss di tengah pandemic, masyarakat menunggu solusi sistem pendidikan untuk mengantisipasinya demi nasib anak generasi mereka di masa datang.
Awal polemic perbincangan Peta Jalan Pendidikan bermula dari tidak ditemukannya kata ‘agama’ di dalam draft yang sudah beredar. Ketua umum PP Muhammdiyah, Haedar Nashir, menyatakan hilangnya kata 'agama' sebagai hal yang serius. "Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja? Oke kalau Pancasila itu dasar (negara), tapi kenapa budaya itu masuk?" kata Haedar Nashir dalam rilis di laman resmi Muhammadiyah seperti dikutip Minggu (7/3).
Tak hanya mendapat kritik dari tokoh nasional, Peta Jalan Pendidikan pun disorot oleh para guru dan orang tua yang menjadi ujung tombak pendidikan anak di lapangan. Guru mata pelajaran agama dan orangtua siswa di Kota Bekasi ikut menyuarakan penolakan hilangnya frasa agama dalam visi Pendidikan Indonesia 2035. Guru mata pelajaran agama SMA Tulus Bhakti, Engkar Inti Alamsyah, berpendapat hilangnya frasa agama bertentangan dengan tujuan pendidikan meningkatkan keimanan, ketakwaan serta akhlak mulia. Guru mata pelajaran agama SDN Jatiasih X Kota Bekasi Damanhuri pun mengungkapkan banyak orangtua siswa yang menyatakan keberatan dengan ditiadakannya frasa agama dalam draf dokumen Peta Jalan Pendidikan. “Banyak wali murid yang konfirmasi ke saya, yang menyatakan bahwa mereka keberatan jika frasa agama ditiadakan dalam Peta Jalan Pendidikan,” tuturnya (radarbekasi.id/2021/03/12).
Tak selang berapa lama, Nadiem Makarim, Mendikbud memberikan klarifikasi, “Saya bingung dengan polemik frasa agama ini, karena alasan mengapa kita mengeluarkan Ketuhanan Yang Maha Esa? Karena itu adalah esensi tertinggi dalam keagamaan. Saya kira itu adalah yang terpenting, tapi ternyata ada polemik baru,” katanya pada Rabu (10/3/2021) seperti dikutip Antara News.
Pernyataan Nadiem justru menegaskan adanya destruksi terhadap agama dengan menganggap esensi Ketuhanan mampu secara otomatis menerapkan aturan-aturan agama. Narasi seperti ini sudah dari dulu menjadi perdebatan. Nyatanya, dalam khasanah Islam ajaran tentang keesaan tuhan dalam tauhid selalu seiring sejalan dengan serangkaian aturan syariah untuk diterapkan oleh penganutnya. Al-Quran sendiri selalu melekatkan kata iman dengan amal shalih dalam banyak ayatnya. Salah satu contohnya adalah:
“Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah [2]: 82).
Begitu juga dalam hadis: “ Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR. Ath-Thabrani).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia agama diartikan sebagai “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya” (KBBI versi online/2017). Dalam Tafsir Jalalain, Al Maidah ayat 3 yang diterjemahkan “ .. telah Kusempurnakan Islam sebagai agamamu”, kata diin (agama) dimaknai sebagai hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya. Definisi agama yang sepaket dengan seperangkat aturan yang sudah mapan ini seolah hendak didestruksi dengan istilah general berketuhanan yang Maha Esa.
Pasca revisi kurikulum agama yang dilakukan Kemenag terhadap ajaran khilafah dan jihad, kini kata agama justru dihilangkan dari visi pendidikan Indonesia pada jangka panjang. Alih-alih berdasarkan agama, kata budaya justru muncul sebagai landasan. Hal ini nyata-nyata menimbulkan kecurigaan adanya upaya sekulerisasi pada generasi muslim di Indonesia yang terencana. Memaksa mendesakralisasi agama yang merupakan tuntunan Tuhan dalam kehidupan di bawah budaya yang notabene ciptaan manusia yang penuh keterbatasan. Generasi dipaksa meletakkan ketuhanan dalam ranah spiritual kebatinan yang individual, sementara mengenyahkan tradisi penerapan syariah dalam seluruh aspek kehidupan. Ini berbahaya!