Kapitalisme Mengundang Bencana



Oleh: Ika Mustaqiroh* 


Melewati puncak musim hujan pada Februari, BMKG memprakirakan curah hujan masih tetap tinggi di Wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) pada Maret 2021. Mempertimbangkan situasi ini, masyarakat diminta mewaspadai potensi cuaca ekstrem, seperti hujan lebat, petir, angin kencang, dan hujan es. Dampaknya bisa timbul bencana hidrometeorologi.

Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya. Beberapa paramater di antaranya adalah peningkatan curah hujan, penurunan curah hujan, suhu ekstrem, cuaca esktrem seperti hujan lebat yang disertai angin kencang serta kilat atau petir, dan lain sebagainya. Dampaknya menimbulkan banjir, tanah longsor, gerakan tanah, dan pohon tumbang. (m.ayobandung.com/2021/03/04)

Fenomena perubahan iklim serta cuaca ekstrim yang sedang berlangsung pada awal tahun 2021 ini penyebab bencana yang terjadi. Adanya fenomena La Nina dan Monsun Asia sangat berkontribusi pada peningkatan massa udara basah dan lembab di sekitar wilayah Indonesia. 
 
Selain itu, faktor tekanan penduduk yang sangat tinggi dan maraknya pertumbuhan industri di dunia yang tidak memperhatikan lingkungan juga menjadi penyumbang kerusakan lingkungan. Volume kendaraan bermotor yang terus meningkat, menghasilkan polusi dan gas metana yang menyumbang gas rumah kaca yang mengakibatkan tatanan cuaca rusak dan cuaca ekstrim. 

Diperparah dengan pemanfaatan sumber daya alam yang rakus sehingga alam menjadi rusak. Dari hulu, pegunungan dan hutan dialih fungsi demi lapangan kerja, penerimaan pajak, dan menggerakkan perekonomian domestik. Sedangkan dari hilir, pesatnya pembangunan infrastuktur, pembangunan jalan tol, mall, gedung, pemukiman, pembangunan vila , serta tata kelola ruang menyebabkan tidak ada resapan air. 

Begitu besar perhatian penguasa terhadap meningkatkan pertumbuhan ekonomi  tanpa memprioritaskan keselamatan rakyatnya. Rusaknya lingkungan tak menjadi fokus masalah yang harus segera dituntaskan. Keuntungan secara materi menjadi prioritas utama dalam pengambilan kebijakan. Inilah kebijakan yang bercorak kapitalisme, menstandarkan perbuatan pada asas manfaat bukan keselamatan rakyat. 

Sejak kapan pemerintahan dalam sistem kapitalis mengutamakan kepentingan rakyat? Jika untung rugi sebagai tolak ukur mereka jika membuat suatu kebijakan. Menunjukkan pada kita bahwa pemerintah abai terhadap keselamatan publik.

Maka Maha Benar Allah dalam firman-Nya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum: 41)

Jika saja pemerintah benar-benar serius menyelesaikan masalah banjir, tentu akan membangun bendungan-bendungan untuk menampung curahan air hujan dan air sungai. Memetakan daerah rawan banjir dan melarang penduduk membangun pemukiman di dekat daerah tersebut. Melakukan pembangunan sungai buatan, kanal, saluran drainase untuk mengurangi penumpukan volume air dan mengalirkan aliran air, membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu.

Tapi sayang, sungguh malang kondisi masyarakat di negeri ini. Tak tampak keseriusan penguasanya mengakhiri derita rakyat akibat banjir. Masyarakat yang menjadi korban bencana harus menjadi korban lagi atas lemah dan tidak efektifnya penanganan bencana. Jika bencana telah berakhir, pemerintah mengalami amnesia, lupa melakukan perbaikan, gagap melakukan apa yang semestinya dilakukan. Lalu terus mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya. Akhirnya bencana setiap tahun menjadi “langganan” tanpa bisa diantisipasi. 

Inilah mengapa begitu penting memperhatikan siapa penguasa yang dipilih untuk mengurusi rakyatnya. Bukan sekadar memilih penguasa saja tetapi juga memilih sistem yang akan diterapkan oleh penguasa yang terpilih. Kalau penguasanya bukan orang yang bertakwa dan amanah, lalu sistem negaranya bukan Islam. Rakyat hanya akan terus mendapatkan kebijakan yang tak manusiawi yang mengabaikan keselamatan mereka. Keuntungan di atas segalanya, yang lain tidak menjadi perhitungan mereka.

Sudah sepatutnya, ada koreksi mendasar atas cara pandang aspek bencana dan paradigma pembangunan yang dilakukan penguasa. Selama bencana dilihat sebagai faktor alam semata dan pembangunan jauh dari paradigma Islam yang menebar kebaikan, selama itu pula tidak akan muncul dorongan untuk mencari penyelesaian. Bahkan, kebijakan penguasa akan menjadi sumber kerusakan.

Persoalannya, itulah yang selama ini terjadi. Penerapan sistem sekuler kapitalistik neoliberal telah membuka ruang besar bagi berkembangnya perilaku mengeksploitasi dan destruktif di tengah-tengah masyarakat.

Dalam sistem ini, negara menjadi alat legitimasi munculnya kebijakan dan praktik pembangunan yang justru hanya memenuhi syahwat para pemilik modal. Sekalipun dampaknya akan merusak alam, lingkungan, dan kemanusiaan, serta memandulkan kemampuan negara untuk menjadi pengurus dan penjaga umat.

Begitu pula, ilmu pengetahuan dan teknologi, ketika ada dalam sistem ini justru mempercepat proses perusakan alam yang berdampak jangka panjang. Tanpa mereka sadari sesungguhnya mereka telah berbuat kerusakan. 

Mahabenar Allah dengan firman-Nya,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَآ إِنَّهُمْ هُمُ ٱلْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشْعُرُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi’, mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak merasa.” (QS al Baqarah [2]:11-12)


*(Pegiat Literasi)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak