Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd.
(Guru dan Aktivis Politik Islam)
Kebijakan pemerintah mengenai legalisasi investasi minuman keras (miras) menuai kegaduhan di tengah masyarakat. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, pemerintah membuka pintu investasi industri miras. Perpres yang mulai berlaku per 2 Februari 2021 ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Protes dan penolakan terhadap kebijakan tersebut juga datang dari berbagai kalangan dan organisasi. Wakil ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, menyampaikan kekecewaanya terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Dalam penuturannya, ia menilai kebijakan tersebut tampak lebih mengedepanan pertimbangan dan kepentingan usaha daripada kemaslahatan rakyat. Padahal seharusnya pemerintah menjadikan pembangunan dan dunia usaha sebagai medium untuk menciptakan kemaslahatan serta kesejahteraan bagi masyarakat. Lebih lanjut ia menyampaikan, peraturan tersebut tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia, dan kontradiksi dengan sikap pemerintah yang senang menjunjung dan berkata tentang Pancasila.
Sedangkan Ormas Islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama melalui Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj menyampaikan ketidaksetujuannya atas dikeluarkannya industri investasi miras dari daftar investasi negatif. Disamping itu, beberapa politisi seperti Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid menilai Perpres miras ini bertentangan dengan dengan tujuan bernegara yaitu untuk melindungi rakyat dan menceraskan kehidupan bangsa. Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI Amin AK, yang juga membidangi investasi mengatakan, bahwa pelonggaran izin industri miras akan membahayakan bangsa. Baik industri kecil maupun besar menjadi ancaman bagi bangsa, terutama generasi masa depan.
Apabila menelusuri bagaimana generasi bangsa ini telah terpapar oleh miras. Hasil riset yang dirilis oleh Gerakan Nasional Anti Miras (GaNAM) pada tahun 2014 telah menunjukan fakta yang memprihatinkan. Dimana data remaja yang mengkonsumsi miras di Indonesia mencapai angka 23 persen dari total jumlah remaja Indonesia yang saat itu berjumlah 63 juta jiwa yang berarti terdapat 14,4 juta remaja telah mengkonsumsi miras. Jumlah tersebut melonjak drastis dari data yang dirilis oleh Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan pada tahun 2007 yaitu diangka 4,9 persen.
Rasa ingin tahu remaja yang begitu tinggi tanpa benteng keimanan yang kuat dan pengawasan orang tua serta lingkungan mendorong para remaja mencoba-coba bahkan hingga kecanduan dengan minuman yang memabukkan tersebut. Terlebih ketika mereka dengan mudahnya memperoleh miras bahkan dengan harga yang murah sekalipun. Hal tersebut menjadi bagian dari penyebab tingginya presentase remaja yang pernah mengkonsumsi miras.
Padahal, disamping dilarang oleh aturan agama, terdapat berbagai marabahaya bagi manusia yang ditimbulkan dari miras ini. Sebagaimana laporan yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diberitakan AFP (21/9/2018), menunjukan bahwa mengonsumsi miras telah menyebabkan 200 penyakit, diantaranya adalah sirosis hati, TBC, HIV, Radang Paru, dan beberapa jenis kanker. Disebutkan pula pada rilis tersebut bahwa miras telah membunuh 3 juta orang pertahun di dunia. Disamping itu, review yang dilakukan oleh Elaine K, Luo, M.D, spesialis penyakit dalam terhadap situs healthline.com yang menampilkan efek minuman beralkohol pada tubuh. Diantaranya adalah mengecilkan otak, perubahan prilaku, kanker, kerusakan jantung dan liver, serta infertil (mandul). Sedangkan CNN Indonesia melansir pada 13/11/2020, Mabes Polri mengungkapkan bahwa banyak kasus tindak pidana yang terjadi karena dipicu minuman beralkohol yang dikonsumsi pelaku. Dari tahun 2018 hingga 2020 ada 223 kasus kejahatan di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh minuman beralkohol.
Apabila terdapat begitu banyak mudarat dan bahaya dari miras akan tetapi pemerintah justru membuka pintu bagi masyarakat untuk semakin mudah mengonsumsinya maka akan dibawa kemana arah bangsa ini? Jika para generasi telah rusak oleh miras, lalu bagaimana mereka akan menjadi pemegang kendali bangsa di kehidupan yang akan datang? Protes dan penolakan telah banyak bergulir, apakah pemerintah lebih tunduk kepada kepentingan investor miras atau berpihak kepada masyarakat dengan menjaga akal dan nyawa rakyat terutama para remaja.
Dalam sistem yang diadopsi negara ini memang peraturan apapun bisa dibuat termasuk pelegalan miras. Dilema utama pada sistem negara yang berada dibawah pengaruh kapitalisme adalah memang pada persoalan standar hukum. Yakni standar yang hanya berasaskan pada manfaat dan kepentingan. Padahal kepentingan itu umumnya sekadar bertumpu pada kepentingan elite. Akibatnya hukum dan peraturan sangat riskan ditunggangi kepentingan elite penguasa dan pengusaha. Sehingga nampaknya perlu adanya upaya review terhadap sistem bernegara yang telah berjalan selama ini serta mencari sistem alternatif lain yang lebih mampu mengelola negara dan masyarakat sehingga tujuan bernegara yaitu untuk melindungi rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud.
Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini