Hari Perempuan Internasional, Narasi Kemuliaan Sebatas Seremonial




Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Keluarga Dan Sosial. 

Isu perempuan selalu menjadi isu seksi untuk diperbincangkan. Mulai dari penuntutan hak persamaan dengan kaum lelaki sampai pembuktian akan jati diri. Dan salah satu bentuk upaya para pejuang perempuan adalah dengan menggelar perayaan global untuk menghargai prestasi perempuan baik secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Acara ini kita kenal dengan sebutan International Women's Day atau yang disingkat IWD, atau yang dalam Bahasa Indonesianya kita kenal dengan Hari Perempuan Internasional. Bukan hanya itu, IWD juga menjadi ajakan bagi seluruh elemen masyarakat untuk mempercepat kesetaraan gender.

Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret tiap tahunnya ini, ada latar belakang sejarahnya. Bermula pada tahun 1908 yaitu di New York, Amerika Serikat terjadi kerusuhan yang banyak diikuti oleh wanita untuk menuntut gaji yang lebih baik, diberikan hak suara di ruang publik, dan jam kerja lebih singkat.
Setelah kejadian tersebut yaitu pada tahun 1909, ditetapkanlah 28 Februari sebagai IWD. Setahun kemudian, Pemimpin Kantor Perempuan di Partai Sosial Demokrat Jerman dalam Konferensi Internasional Buruh Perempuan ke-2 mengajukan usulan perayaan semacam ini untuk dirayakan dalam skala internasional.

Awalnya tuntutan dari feminis hanyalah sebatas aspek-aspek yang selama ini kurang dapat diakses oleh wanita. Lama-kelamaan dalam perkembangannya feminis menuntut adanya kesamaan derajat sebagaimana tema Hari Perempuan Internasional tahun 2021 yaitu Choose to Challenge yang memiliki makna bahwa kaum perempuan diminta untuk mengambil pilihan dan tantangan.

Perayaan Hari Perempuan Internasional nyatanya hanya sebatas seremonial saja. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya wanita yang masih mengalami kekerasan fisik bahkan seksual. Justru berdasarkan laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengungkap bahwa sepertiga perempuan di dunia atau sekitar 736 juta wanita pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual.
Dalam segi ekonomi di negara Indonesia, berdasarkan informasi dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa gaji perempuan 23% lebih rendah daripada laki-laki. Dari sini dapat diketahui bahwa konsep kesetaraan gender malah membuat semakin banyaknya eksploitasi wanita di seluruh dunia.

Sebagaimana telah diketahui, Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ritual peribadatan, melainkan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Allah memandang wanita sebagai hamba yang sama kedudukannya dengan laki-laki. Namun, di sisi lain wanita juga akan menjalankan tugasnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Islam menyempurnakan peran ini dengan adanya pengaturan tentang pengasuhan, persusuan, fikih wanita, dan sebagainya.

Agama Islam menempatkan wanita dan laki-laki sejajar sebagai hamba Allah dan memuliakan kedudukan wanita dengan segenap pengaturan yang ada. Islam paham betul bahwa dari rahim wanita akan lahir generasi-generasi yang akan menjadi penerus peradaban. Oleh karena itu, tugas utama perempuan adalah menjadi pendidik bagi anak-anaknya, bukan mencari nafkah sebagaimana yang digaungkan oleh orang-orang sekuler.
Pandangan ideologi sekularisme bahwa perempuan juga harusnya diberdayakan menjadi penggerak roda ekonomi akan semakin menjauhkan kesadaran wanita dalam menjalankan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Tidak heran generasi sekarang semakin jauh dari kepribadian mulia karena para ibu lebih sibuk mencari nafkah daripada mendidik anak.

Sungguh, seandainya para pejuang perempuan ini mau menengok bagaimana sistem islam justru memuliakan wanita, tentu perjuangan perempuan akan menjadi nyata. Maka sudah selayaknya, perjuangan menuntut pelaksanaan islam kaffah menjadi agenda utama. Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak