Oleh : Andini
Apa yang kita bayangkan ketika mendengar kata; "Indonesia"? Sumber daya alam berlimpah? Garis pantai memukau? Hutan yang lebat? Tambang emas dan batu bara? Indah bukan? Tapi dibalik semua itu ternyata Indonesia mencatat defisit ekologi sebanyak 42 persen! (Global Footprint Network pada 2020)
Artinya konsumsi sumber daya alam lebih tinggi dibandingkan dengan yang tersedia saat ini. Akibatnya daya dukung alam sudah pasti berkurang.
Guru Besar IPB University dari Departemen Ekonomi Sumber daya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Prof. Dr. Akhmad Fauzi menyatakan bahwa kerusakan ekologis ini terjadi akibat kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia belum memperhatikan modal alam secara serius. Bentuk kerusakannya seperti alih fungsi lahan, tingginya laju pencemaran lingkungan terutama air, dan menurunnya keanekaragaman hayati.
Dirinya juga menambahkan bahwa defisit ekologis yang terjadi di Indonesia akan melemahkan perekonomian, “Hal ini melemahkan perekonomian nasional kita. Karena mengabaikan modal alam berakibat pada terjadinya penurunan kualitas, dan besarnya ketimpangan ekonomi,” jelasnya (ipb.ac.id, 8/2/2021).
Belum lagi pengesahan UU Minerba tahun lalu yang oleh sebagian pihak dipandang akan lebih memudahkan eksploitasi sumber daya alam.
Mirisnya, dalam visi politik kepemimpinan hari ini istilah yang lebih sering muncul adalah “investasi” dan “infrastruktur”. Tidak ada visi atau agenda politik untuk menjaga dan melestarikan lingkungan yang akan dilaksanakan oleh penguasa.
Tentunya ini sudah bukan hal aneh. Eksploitasi sumber daya alam merupakan hal yang wajar terjadi dalam sistem kapitalisme. Karena pada hakikatnya kapitalisme memang sistem yang rakus. Tercapainya kepuasan jasadiyah dan terpenuhinya materi menjadi tujuan hidup para pengembannya. Maka defisit ekologi dan kerusakan lingkungan lainnya yang disebabkan oleh buruknya kebijakan sistem ini tidak akan masuk perhitungan ataupun pertimbangan mereka.
Defisit ekologi yang menimpa negeri ini merupakan salah satu masalah turunan dari banyaknya masalah lain yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme. Untuk memperbaikinya pastilah kita membutuhkan solusi yang mengakar. Bukan sebatas konservasi lingkungan.
Sumber daya alam memang diciptakan Allah untuk manusia. Di dalam al-Qur’an juga ditegaskan, bahwa Allah telah menjadikan segala apa-apa yang ada di bumi untuk manusia. Sumber daya alam berfungsi sebagai sarana untuk menunjang kehidupan manusia di dunia sekaligus menjadi sumber penghidupan mereka. Hanya saja, manusia sering tidak bijak dalam mengelolanya. Karena itu penting bagi kita untuk menjalankan pengelolaan SDA dengan terikat pada hukum yang telah Allah tetapkan.
Sebagai contoh, Rasulullah SAW pernah mengambil kebijakan untuk memberikan tambang kepada Abyadh bin Hammal al-Mazini. Namun kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah setelah mengetahui tambang yang diberikan pada Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir.
Dari kasus tersebut kita bisa melihat kebijakan yang dibuat Rasulullah adalah diperbolehkannya individu menguasai area tambang jika luas dan depositnya sedikit. Hasil eksploitasi barang tambang yang diperoleh individu tersebut dikenakan khumus atau seperlimanya untuk dimasukkan ke dalam Baitul Mal sebagai bagian dari harta fai.
Untuk barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas, maka individu tidak boleh menguasainya. Karena barang tambang tersebut termasuk harta milik umum dan hasilnya masuk dalam kas Baitul Mal. Rasulullah bersabda, “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api” (HR Abu Dawud). Hadist ini juga menegaskan, SDA yang termasuk harta milik umum tidak bisa diprivatisasi. Sekalipun peminatnya adalah kapitalis kelas kakap.
Kebijakan seperti di atas adalah kebijakan milik syariat Islam, yang mana hanya bisa dilaksanakan ketika Islam diterapkan sebagai asas bernegera. Dengan syariat Islam, tidak hanya lingkungan yang terlindungi. Lebih dari itu, syariat Islam juga mampu menjadi solusi mengakar untuk segala masalah turunan yang diciptakan sistem kapitalisme hari ini.
Tags
Opini