Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Keluarga Dan Sosial)
Penyusunan Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 yang tengah disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menuai polemik. Sebab, dalam draf terbaru, kata akhlak dan budaya digunakan untuk menggantikan hilangnya frasa agama.
Dalam draf rumusan paling mutakhir tanggal 11 Desember 2020, frasa agama menghilang dan kata budaya masuk sebagai acuan nilai mendampingi Pancasila. (www.fin.co.id, 09/03/2021)
Penghapusan frasa “Agama” sangat bertentangan dengan pasal 31 UUD 1945 ayat 5 yang berbunyi ” Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia”.
Selain itu, penghapusan frasa “Agama” juga bertentangan dengan undang-undang sisdiknas 2003 yang menjadi landasan yuridis pelaksaan pendidikan di Indonesia. (Dikutip dari Gelora, 10 Maret 2021)
Bila dilihat dalam draft PJPN, sistem pendidikan Indonesia ke depan semata-mata berorientasi agar peserta didik mempunyai penguasaan terhadap sains dan teknologi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan sesuai tuntutan pasar agar mempunyai daya saing tinggi,namun agama tidak lagi menjadi pondasi bagi para peserta didik. Padahal apalah artinya jika kita mempunyai SDM yang cakap dan pintar tapi tidak punya nilai-nilai agama? Semua itu hanya akan menghasilkan orang-orang yang culas,orang-orang yang sekuler, orang-orang yang tidak bisa membedakan mana yang halal dan haram, mana yang dosa dan bukan.
Demikianlah bila kapitalisme yang menjadi ruh pendidikan di negri ini, maka tercabutlah tujuan mulia dari pendidikan yang bercita-cita pada pembentukan generasi islam yang amanah dan terdepan dalam inovasi dan teknologi.
Kita memang bukan negara agama, tapi pendudukan dan warga negara kita memiliki agama, maka menjadi jelas posisi agama dalam kehidupan kita sangatlah penting. Sedang kapitalis yang menjadikan sekuler sebagai ajaran yang mempengaruhi generasi, semakin digencarkan oleh pemerintah yang memisahkan agama dari kehidupan serasa terus menerus menjadi momok yang dengan cepat merasuki masyarakat agar masyarakat tidak mencampurkan ajaran, hukum dan aturan agama dalam kehidupan dengan masih menjadikan alasan radikalisme sebagai hal yang perlu diwaspadai. Sedang isu radikalisme masih tetap dituduhkan pada masyarakat yang menunjukan identitas kemuslimanya, yakni secara tidak langsung memang ditujukan hanya pada agama islam dan kaum muslimin.
Adapun berbagai macam opini publik yang terbentuk, jangan sampai dimanfaatkan oleh pihak pengadu domba yang mengait-ngaitkan dihapuskanya frasa “Agama” , yang dinilai sangat sensitif dan akan sangat berpengaruh pada dunia pendidikan. Pendidikan islam serasa dikikis habis dan dipersempit dengan segala upaya, namun islam akan bangkit karena umat sudah semakin paham akan pentingnya memakai ajaran, hukum dan aturan yang datang dari Allah.
Wallahu a’lam bi ash showab