Fatamorgana Gender Equality



Dia Dwi Arista

(Aktivis Muslimah Pasuruan)

 

Kesetaraan gender adalah isu yang sensitif dan selalu hangat untuk dibahas. Berawal dari ketimpangan posisi perempuan di masyarakat, baik Indonesia maupun Dunia, muncullah perlawanan yang diberi nama Kesetaraan Gender (Gender Equality). Para pengusung persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan ini lebih sering disebut dengan Feminis.

 

Ketimpangan kedudukan perempuan sudah terjadi berabad lamanya. Di wilayah Eropa perempuan sering menjadi warga kelas dua, masyarakat Eropa saat itu meyakini bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki, Pemikiran seperti itu sudah mengakar kuat dalam peradaban Barat. Contoh dalam masyarakat Yunani kuno, yang menjadikan perempuan sebagai sosok lebih rendah dibanding laki-laki, maka setiap ada pemilihan umum perempuan tidak mendapat kesempatan.

 

Tidak berhenti disana, perempuan yang sudah menikah diharuskan tunduk pada perintah suami tanpa tolak. Para suami dibenarkan bertindak sesuka diri terhadap istrinya. Bahkan masalah warisanpun perempuan tidak berhak mendapatkannya meski diwariskan oleh orangtuanya sendiri, malah perempuan juga termasuk aset yang bisa diwariskan. Dari sisi pendidikanpun tak jauh beda, perempuan tidak berhak mengenyam pendidikan selayaknya laki-laki.

 

Melihat fakta yang terjadi, seorang Filsuf Inggris yaitu Wollstonecraft menulis Buku A Vindication of The Right of the Women setelah ia melihat adanya ketidakseimbangan partisipasi politik antara laki-laki dan perempuan, dan hal ini terjadi sekitar abad ke- 17-18 M. Gelombang kedua feminis bukan lagi menuntut keadilan hak perempuan untuk diakui, namun sudah merambah penuntutan kesetaraan dalam semua bidang secara 50:50.

 

Dewasa ini, istilah Gender Equality sudah mendunia, karena telah diusung oleh organisasi dunia, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan diimplementasikan diseluruh negara peserta menjadi Undang-undang Kesetaraan Perempuan. Indonesiapun tak mau kalah dalam hal ini, didalam negeri sudah terdapat lembaga Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Namun benarkah perempuan sudah sejahtera selama ini?

 

Ilusi Kesetaraan Gender

 

Kesejahteraan perempuan yang  diperjuangkan berpuluh tahun akan terlihat dari fakta kondisi perempuan saat ini. Di Indonesia tercatat dalam laporan Komnas Perempuan, pada tahun 2019 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah tersebut naik sebanyak 6% dari tahun sebelumnya. Bahkan Komisioner Komnas Perempuan  Mariana Amiruddin mengatakan, sejak tahun 2008-2018 kenaikan terlihat konsisten, dalam kurun 12 tahun kekerasan terhadap perempuan meningkat 792% atau hampir 8 kali lipat. (nasional.kompas.com 06/03/2020). Fenomena kekerasan terhadap perempuan bak fenomena gunung es, terlihat sedikit diluar namun besar didalam. Dan permasalahan ini terus bertambah setiap tahunnya.

 

Jika kita dalami fakta yang ada, sejak zaman dulu posisi perempuan selalu berada pada posisi yang tidak mneguntungkan. Namun, berbeda ketika Islam dengan Khilafahnya memimpin dunia tak terlihat adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam mempunyai kewajiban dan hak yang sesuai dengan fitrah mereka. Maka interaksi mereka didasari dengan interaksi persahabatan (Shuhbah), bukan dengan interaksi pertandingan (Rivalry) sebagaimana yang digaungkan oleh kaum Feminis saat ini.

 

Kepedihan perempuan dalam status sosial yang selama ini disematkan, tidak luput dari sistem yang diterapkan dalam kehidupan. Sejak Khilafah runtuh pada tahun 1924, Sistem Islam digantikan dengan Sistem Kapitalisme hingga saat ini. dalam sistem ini lagi-lagi perempuan harus rela menjadi warga nomor dua, bahkan tak jauh dari sistem nenek moyang negara Kapitalisme, Eropa, perempuan dijadikan sebagai komoditi. Diperas otak, tenaga dan skill nya untuk menjadi tumbal dari kerakusan para Kapitalis.

 

Perempuan masih dan akan terus terjajah dengan istilah Pemberdayaan Perempuan. Karena sejatinya perempuan disuruh untuk mandiri secara ekonomi dengan cara keluar dari wilayah domestik dan bekerja menjadi buruh para Kapitalis. Meninggalkan anak dan rumahnya untuk diurus oleh oranglain.

 

Tentu dari sisi ini, perempuan yang fitrahnya sebagai Ibu, tidak dapat menjalankan perannya dalam mengasuh dan mendidik generasi, malah yang didapat adalah beban dan tekanan pekerjaan, belum lagi kasus pelecehan dalam pekerjaan juga kerap menyambangi perempuan. Apalagi ketika ditambah dengan masalah anak yang tumbuh tidak didampingi seorang ibu, makin menambah beban bagi perempuan. maka sungguh yang ditawarkan oleh ide kesetaraan gender dengan menyuruh perempuan keluar dari rumah bertanding dengan laki-laki dalam hal pekerjaan dan kesetaraan adalah ilusi.

 

Dari sisi 50:50 yang diusahakan para Feminispun, Nampak seperti keinginan utopis, karena Allah menciptakan perempuan dengan potensinya yang unik berbeda dengan laki-laki. Perempuan dianugerahi Rahim untuk mengandung generasi, dengan satu potensi ini Allah menyempurnakannya dengan potensi-potensi lain untuk membangun generasi gemilang. Pun dengan laki-laki diciptakan dengan potensinya yang mampu melindungi perempuan dan anaknya, memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga dalam menanggung nafkah dan bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya.

 

Islam Memuliakan Perempuan

 

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan fitrahnya masing-masing. Laki-laki diciptakan dengan diberi kewajiban dan hak yang sama adilnya dengan perempuan. Laki-laki diposisikan sebagai Qowwam (Pemimpin) bukan dalam artian penguasa diktaktor yang harus dituruti kemauannya tanpa tapi. Namun Qowwam ini yang mengharuskan laki-laki bertanggung jawab dari mulai nafkah, hingga selamatnya keluarga dunia-akhirat. Allah berfirman dalam surah A-Nisa ayat 34

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآء

“Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita…”

 

Begitupula dengan perempuan diberi gelar sebagai Al-umm wa Rabb al-bayt, yakni sebagai Ibu dan pengatur urusan rumah tangga, peran yang sangat penting bagi kokohnya pondasi keluarga dan kelangsungan generasi. Ditangan perempuanlah tercetak generasi-generasi Rabbani yang bertakwa kepada Allah SWT.

 

Dalam urusan domestik, peran pengatur rumah tangga, bukan berarti kedudukan seorang perempuan lebih rendah dari laki-laki, namun laki-laki dan perempuan (suami-istri) bersinergi dengan menjalankan tugasnya masing-masing dalam ketaatan kepada Allah. Seorang suami diwajibkan keluar rumah dalam rangka mencari nafkah untuk keluarga dan wajib baginya membawa segala keperluan dari luar rumah untuk istrinya.

 

Sedangkan istri tidak diwajibkan mencari nafkah untuk keluarga, namun ia diwajibkan melayani suami dan mengatur segala urusan rumahnya. Hubungan mereka adalah hubungan persahabatan yang dibangun dari keimanan. Ketika ada masalah yang harus dipecahkan maka mereka akan saling bertukar pikiran untuk menyelesaikan, pun dengan urusan pendidikan mereka laksana Kepala Sekolah dan Guru.

 

Posisi perempuan dalam Islam sangatlah terhormat, tidak dibiarkan perempuan menanggung nafkahnya sendiri selama hidupnya, karena ia akan selalu mempunyai wali yang akan menanggung nafkahnya, ketika wali tidak ada maka Khilafah yang berkewajiban dalam memenuhi nafkahnya. Kesejahteraan perempuan akan terwujud manakala Islam diterapkan dalam sebuah Institusi yakni Khilafah yang menerapkan Islam secara Kaffah.

Allahu a’lamu bisshowwab.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak