Ekonomi Liberal, Lahirkan Krisis Pangan

Oleh: Yuke Octavianty

Indonesia, negara kaya dengan sumber daya alam melimpah ruah. Gunung, laut dan daratan dengan posisi strategis, dekat dengan garis khatulistiwa. Secara kasat mata, terlihat pemandangan yang indah menyejukkan. Namun, di balik keindahan dan kekayaannya, tersimpan nasib miris para rakyatnya. Negara kaya ini, di dalamnya begitu perih. Menyedihkan. Begitu banyak rakyat miskin, kelaparan. Tak bernasib layak untuk kehidupannya. Pemerintah yang seharusnya memiliki kekuatan penuh untuk mengurusi rakyatnya, tak peduli.

 Salah satu komoditas penting negeri ini, garam. Indonesia, yaitu Madura,  tercatat sebagai salah satu penghasil garam terbesar se-Asia Tenggara. Namun, kita harus terus mengimpornya dari tahun ke tahun. Kebijakan ini pasti mencekik penambak garam dalam negeri. Garam impor harganya jauh lebih murah dibandingkan garam lokal. Tahun ini, impor garam mencapai angka 3 juta ton. Sungguh memilukan. Koordinator Petani Garam di Kecamatan Paijua, Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan bahwa ribuan ton garam "menganggur" di 20 gudang. Harus diapakan? Mereka sudah sangat susah payah bahkan setengah mati memperjuangkannya. Hilang sudah harapan dan penghasilan para penambak garam, saat keran impor garam dibuka pemerintah. Pemerintah hanya berpihak pada importir asing tanpa memperhatikan nasib penambak lokal dalam negeri.

Tak hanya garam, beras dan gula pun tak beda jauh. Sungguh tak logis, saat beras mengalami panen raya, pemerintah membuka keran impor beras. Alasannya pun tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Demi menjaga pasokan aman di dalam negeri. Tahun ini direncanakan beras dari luar negeri akan didatangkan sebanyak 1 hingga 1,5 juta ton. Menurut Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, impor beras sebetulnya tak perlu dilakukan tahun ini. Karena produksi beras meningkat dan tak mengalami masalah serius di lapang. Namun, pemerintah tetap bertekad melakukannya. Hingga Menteri Perdagangan, Muhammad Luthfi, menyatakan siap lepas jabatan jika keputusannya tersebut salah (kompas.com). Pun bernasib sama dengan komoditas pangan lain, seperti gula, daging, kedelai dan lainnya. Badai impor terus menerpa negeri ini. 

Negeri kaya sumberdaya ini sungguh mengenaskan nasibnya. Ekonomi liberal dijadikan sandaran pengurusan umat. Hasilnya, kelaparan dan kemiskinan yang semakin merajalela. Saat sistem yang digunakan adalah sistem yang menyalahi fitrah, sudah tentu hasilnya pun menzalimi umat. Sistem kapitalisme, lahirkan ekonomi liberal, yang hanya mensejahterakan para pelakonnya. Tak pedulikan nasib umat. Padahal, kesejahteraan suatu negara dinilai dari tingkat kecukupan umat akan pangan dan penghidupan yang layak.

Sistem Islam-lah, satu-satunya sistem yang mensejahterakan umat. Ketahanan pangan dalam sistem Islam menjadi salah satu aspek terpenting. Seluruh program untuk mencapai ketahanan pangan dan antisipasi tentang kegagalan dalam menempuh swasembada pangan, diatur sempurna dalam sistem Islam. Sistem Islam mengatur seluruh aspek kebutuhan umat. Tujuan utama adalah kesejahteraan umat seluruhnya. Dalam sejarah kejayaan Islam, masa Kekhilafahan mencerminkan kejayaan penerapan sistem ketahanan pangan. Kesejahteraan umat pun dapat diraih. Rida Allah tercurah untuk seluruh umat. 

Wallahu a'lam bisshowwab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak