Demokrasi dan Peredaran Miras



Oleh: Ulfah Husniyah, S.Pd
          (Praktisi Pendidikan)

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan awal mula usul kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuka investasi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol. Usulan pembukaan investasi miras itu kemudian dituangkan dalam lampiran peraturan tersebut dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021. Bahlil menjelaskan salah satu pertimbangan investasi miras dibuka di empat provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua, yakni demi kearifan lokal wilayah tersebut. Mantan Ketum Hipmi itu menyebut, usulan salah satunya datang dari pemerintah daerah dan masyarakat. "Salah satu pertimbangan pemikiran kenapa ini (izin investasi dibuka) untuk di beberapa provinsi itu saja karena memang di daerah itu ada kearifan lokal," ujar Bahlil dilansir dari Antara, Rabu (3/3/2021).

Bahlil menjelaskan, salah satu contohnya yakni Sopi, minuman beralkohol khas NTT. Menurut dia, minuman tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi tetapi tidak bisa didorong menjadi industri besar karena masuk kategori terlarang. "Tetapi itu (Sopi) kan tidak bisa dimanfaatkan karena dilarang. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut dan juga bisa diolah untuk produk ekspor maka itu dilakukan (dibuka izin investasinya)," jelas dia.
Kemudian pada Selasa, (2/3/2021) Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pencabutan lampiran perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras.

Pengumuman terkait pencabutan lampiran perpres ini disiarkan akun YouTube Sekretariat Presiden. Jokowi menjelaskan alasannya mencabut lampiran perpres terkait investasi baru miras ini. Jokowi mengaku menerima masukan dari ulama dan ormas-ormas Islam.

Tak bisa dipungkiri industri miras sangat menjanjikan pundi-pundi uang. Contohnya, sebuah perusahaan miras paling terkenal di dunia dan terbesar di Cina, Kweichow Moutai, yang mengklaim diri sebagai perusahaan miras paling berharga di dunia. Nilai perusahaan ini lebih mahal dari bank terbesar di Cina. Pada 2017, Kweichow Moutai menjadi pembuat minuman keras terbesar di dunia berdasarkan nilai pasar melampai Diageo (DEO), perusahaan Inggris yang memiliki Johnnie Walker dan merek besar lainnya. Harga sahamnya pun memiliki nilai yang tinggi, meski di tengah pandemi. (wartaekonomi.co.id, 25/6/2020).

Pencabutan lampiran III terkait investasi miras yang diatur dalam Perpres 10/2021 dinilai sebagai wujud sikap demokratis Presiden. Presiden dianggap memperhatikan aspirasi publik. Padahal jika ditelisik lebih dalam, munculnya Perpres ini tidaklah ujug-ujug. Ia dilahirkan sebagai bentuk pengejawantahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Mengutip laman katadata.co.id (7/10/2020), pemerintah mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan membuka 14 bidang usaha untuk investasi melalui UU Cipta Kerja. Di antara bidang usaha yang dibuka ialah minuman keras mengandung alkohol.

Jadi, biang keladi sesungguhnya dari kegaduhan terbitnya Perpres mengenai klausul investasi miras ada pada UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Memangkas cabang aturan, tapi tidak mencabut aturan induknya, ibarat memotong rumput tapi tidak mencabut akarnya.

Lahirnya UU Cipta Kerja dan ketentuan investasi miras dalam Perpres 10/2021 makin mengonfirmasi bahwa hukum dalam sistem pemerintahan demokrasi mudah diutak-atik sesuai kepentingan. Aturannya lentur dan berubah-ubah, tergantung siapa yang berkuasa dan berkepentingan. Dalam demokrasi, mengompromikan hukum mudah terjadi. Undang-undang dibuat untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Satu hari diputuskan, lain waktu bisa direvisi sesuai pesanan. Dalam sistem demokrasi, hukum agama tidaklah menjadi standar menetapkan UU. Pemikiran manusialah yang bebas menentukan aturan. Tak heran bila banyak muncul UU kontroversi yang menyalahi aturan Islam. Sebab, sistem demokrasi sekuler pada dasarnya tidak ingin agama mencampuri kehidupan. Halal/haram tidak akan diperhitungkan dalam pembuatan UU. Itulah mengapa sangat wajar ketika ada aturan yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti legalisasi atau investasi miras. Sebab, prinsip bernegara dalam sistem demokrasi sekuler adalah profit oriented. Apa pun yang mendatangkan nilai manfaat dan keuntungan, meski haram sekalipun, mereka halalkan dengan segala cara. Jadi, jika menginginkan peredaran miras terhenti, bukan hanya bersuka cita atas pencabutan lampirannya atau membatalkan UU Cipta Kerja-nya. Namun, lebih dari itu, haruslah mencabut akar masalah terciptanya UU yang bertentangan dengan syariat Islam.

Ada perbedaan mendasar mengapa sistem demokrasi bertentangan dengan Islam. Salah satunya ialah kedaulatan dalam menetapkan UU. Demokrasi erat dengan kapitalisme. Tolok ukur kapitalisme dalam segala hal, termasuk pembuatan hukum dan pengaturan urusan masyarakat, adalah keuntungan atau manfaat, terutama manfaat ekonomi. Karena itu, selama sistem sekuler tetap diadopsi dan diterapkan, sementara syariat Islam dicampakkan, masyarakat akan terus terancam dengan miras dan segala mudaratnya.

Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Asy-Syari’, Sang Pembuat hukum, yaitu Allah Swt. Manusia tidak berhak membuat aturan sendiri. Hukum yang diterapkan haruslah berdasarkan syariat Islam. Manusia hanya pelaksana hukum Allah. Oleh karenanya, dalam negara Khilafah, hukum yang dilegalisasi hanyalah bersumber dari Al-Qur’an, Sunah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas. Tidak ada kompromi hukum. Tidak ada pula perundingan dalam membuat hukum sebagaimana dalam lembaga legislatif demokrasi.

Allah SWT menyebut khamr (dan judi) bisa memunculkan permusuhan dan kebencian di antara orang beriman, memalingkan mukmin dari mengingat Allah, dan melalaikan salat. Allah SWT juga menyifati khamr dan judi dengan rijs[un] (kotor), perbuatan setan, dan sebagainya. Semua ini mengisyaratkan dampak buruk miras. Miras tidak hanya merusak pribadi peminumnya. Miras juga berpotensi menciptakan kerusakan bagi orang lain. Mereka yang sudah tertutup akalnya oleh miras berpotensi melakukan beragam kejahatan, bermusuhan dengan saudaranya, mencuri, merampok, membunuh, memperkosa, dan kejahatan lainnya.

Pantas jika Nabi Saw. menyebut khamr sebagai ummul khaba’its (induk dari segala kejahatan),
“Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR ath-Thabarani)

Islam dengan tegas mengharamkan segala macam miras. Allah Swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS al-Maidah [5]: 90)

Islam juga melarang total semua hal yang terkait dengan miras (khamr) mulai dari pabrik dan produsen miras, distributor, penjual hingga konsumen (peminumnya). Rasul Saw. bersabda,
“Rasulullah Saw. telah melaknat terkait khamr sepuluh golongan: pemerasnya; yang minta diperaskan; peminumnya; pengantarnya, yang minta diantarkan khamr; penuangnya; penjualnya; yang menikmati harganya; pembelinya; dan yang minta dibelikan,” (HR at-Tirmidzi)

Islam menetapkan sanksi hukuman bagi orang yang meminum miras berupa cambukan 40 kali atau 80 kali. Ali bin Abi Thalib ra. menuturkan,
“Rasulullah Saw. mencambuk (peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunah. Ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR Muslim)
Untuk pihak selain yang meminum khamr, maka sanksinya berupa sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksi itu diserahkan kepada Khalifah atau qadi, sesuai ketentuan syariat. Tentu sanksi itu harus memberikan efek jera. Produsen dan pengedar khamr selayaknya dijatuhi sanksi yang lebih keras dari peminum khamr. Pasalnya, mereka menimbulkan bahaya yang lebih besar dan lebih luas bagi masyarakat.

Maka hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, barulah segala kemaksiatan bisa dilibas termasuk legalisasi miras ini. Sudah pasti kaum muslim tidak akan ada yang berani berhubungan dengan miras ini karena sanksi yang diterapkannya pun menimbulkan efek jera. Maka, hanya dengan penegakan hukum Allah dalam sistem Islam dibawah naungan Khilafah, semua kemungkaran bisa dibasmi sampai ke akarnya.

Wallaahu'alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak