Oleh Miliani Ahmad
Pandemi yang berlarut-larut telah membuat banyak negara membutuhkan vaksin dengan jumlah dosis yang sangat besar. Bagi negara-negara kaya hal ini tidak masalah karena mereka mampu memenuhi ketercukupan vaksin dengan membelinya dari perusahaan farmasi dunia. Namun, bagaimana nasib negeri-negeri miskin dengan jumlah populasi yang banyak mampu membiayai kebutuhan vaksin negara mereka?
Menurut penelitian Duke Global Health Innovation Center, negara-negara berpenghasilan menengah mereka hanya memiliki 670 juta dosis vaksin yang sangat kontras dengan kepemilikan vaksin oleh negara-negara maju yang mencapai 4,2 miliar dosis vaksin.
Senada, Aliansi Vaksin Rakyat (TPVA) juga menyebutkan bahwa negara-negara kaya yang populasinya hanya 14 persen dunia, mereka telah membeli vaksin lebih dari setengah total ketersediaan vaksin dunia atau sekitar 53 persen.
Untuk menghentikan pandemi menurut WHO setidaknya dibutuhkan 70 persen populasi dunia yang harus memiliki ketahanan atau kekebalan tubuh. Maka dengan ketidakadilan yang ada, antara jumlah vaksin yang dimiliki negara kaya dan negara miskin akan semakin mempersulit penghentian pandemi.
Dengan alasan inilah, WHO dan beberapa negara pendonor telah mengeluarkan kesepakatan berupa inisiatif bersama yang dinamakan Covax. Dilansir dari wikipedia, Covid-19 Vaccines Global Access, disingkat sebagai COVAX, adalah sebuah inisiatif global yang ditujukan untuk akses setara atas vaksin-vaksin Covid-19 yang dipimpin oleh Global Alliance for Vaccines and Immunization, Organisasi Kesehatan Dunia, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations, dan lainnya.
Melalui skema Covax, negara-negara pendonor akan memberikan bantuan dananya guna mencukupi kebutuhan vaksin untuk negara-negara miskin. Tujuannya memastikan terjadinya pemerataan dan keadilan dalam pembagian vaksin bagi semua negara, baik negara kaya maupun negara miskin.
Dilansir dari BBC, Rabu (24/02), diharapkan dalam kurun waktu kurang dari setahun Covax bisa mendistribusikan 2 miliar dosis ke 190 negara. Dalam hal ini, Covax ingin memastikan bahwa 92 negara miskin bisa menerima vaksin berbarengan dengan 98 negara kaya lainnya.
Nasionalisme Vaksin Membunuh Negara-Negara Miskin
Kapitalisme telah menampakkan keburukan moralnya. Sistem buruk ini telah menjadikan negara-negara kaya yang banyak mengendalikan ekonomi dunia meninggalkan negara-negara miskin dalam menghadapi krisis Corona.
Mereka dengan kemampuan dananya telah membuat banyak kesepakatan dengan para pengembang vaksin dalam rangka mengamankan jutaan dosis vaksin bagi warganya.
Negara-negara maju seperti Kanada dilaporkan telah memesan puluhan juta dosis vaksin. Begitu pula Amerika Serikat Inggris, dan juga Uni Eropa pun diperkirakan telah melakukan pemesanan lebih dari dua miliar dosis vaksin.
Menarik mengamati pernyataan Tedros Adhanom Ghebreyesus bahwa tingkah pola negara-negara kaya yang lebih mudah disebut nasionalisme vaksin akan semakin memperpanjang pandemi (Reuters, 16/09/2020).
Dapat kita bayangkan jika nasionalisme vaksin ini dibiarkan. Jika vaksinasi hanya berlangsung di negara-negara kaya yang memesan vaksin, sama saja logikanya membiarkan negara-negara miskin terperangkap dan terjebak dalam kematian masal. Virus akan menyebar dengan cepat di negara-negara miskin tersebut. Padahal, virus Covid-19 begitu cepat bermutasi. Jika ia dibiarkan berkembang maka bisa merusak seluruh populasi di belahan dunia manapun.
Adapun ketika WHO dan negara-negara besar memutuskan untuk membuat Covax, sejatinya kebijakan tersebut hanyalah kebijakan tambal sulam untuk menutupi kerusakan yang telah dilakukan kapitalisme selama ini. Covax lahir dari kecacatan kapitalisme yang tak memiliki nurani terhadap negara-negara miskin.
Padahal, negara-negara kaya tersebut selama ini dapat tegak atas nafas negara-negara miskin yang mereka hisap setiap saat. Aset sumber daya alam mereka banyak tereksploitasi. Kekayaan mereka banyak tergadai atas nama utang dan investasi. Hingga akhirnya mereka tak mampu membiayai diri mereka sendiri hanya sekedar untuk membeli vaksin.
Betapa jahatnya kapitalisme. Peribahasa habis manis sepah dibuang, kata inilah yang memang pantas dialamatkan kepada negeri-negeri miskin dunia yang terbuang akibat keserakahan kapitalisme.
Dunia Butuh Kepemimpinan yang Adil
Saat kapitalisme dengan segala kezalimannya melibas negara-negara miskin di dunia, berbelas abad sebelumnya di bawah kepemimpinan khilafah Islamiyah, negara-negara yang berada di bawah kekuasaannya hidup dalam kesejahteraan yang luar biasa.
Khilafah dengan segala keagungannya, telah mampu mewujudkan kesejahteraan tanpa memandang sekat, suku, bahasa maupun agama.
Seorang sejarahwan barat mengakui keagungan khilafah dalam bukunya The Story of Civilization. Will Durrant selaku penulis mengungkapkan keunggulan sistem khilafah dalam mengurusi dunia dan mengelola kesejahteraan atas mereka.
“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas.
Fenomena seperti ini belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastra, filsafat, dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.”
Begitupun juga dalam membantu negara-negara miskin diluar kekuasaannya, khilafah menunjukkan kearifan kepada mereka dengan menolong mereka tanpa hitung-hitungan manfaat maupun materi.
Khilafah pernah memberikan bantuan ke Irlandia pada tahun 1845-1852M yang dilanda bencana kelaparan hebat, yang dikenal dengan peristiwa "The Great Hunger atau The Greet Irish Famine. Dengan korban meninggal dunia mencapai satu juta jiwa.
Khilafah melalui tangan Khalifah Abdul Majid 1 telah memberikan bantuan sebesar 10.000 sterling untuk membantu Irlandia.
Sebuah surat yang ditulis pendeta Kristen Rev. Henry Natal pada tahun 1853 menjadi bukti tak terbantah bantuan Khilafah terhadap Irlandia.
".... Selama tahun kelaparan di Irlandia, Sultan mendengar penderitaan yang ada di negara bagian Inggris itu. Ia segera menyampaikan kepada Duta Besar Inggris tentang keinginannya untuk membantu dengan sejumlah besar uang... "
Maka, berkaca dari sejarah sudah selayaknya dunia ini meninggalkan sistem kapitalisme yang berlumur darah. Kapitalisme dengan segala keegoisannya menjadikan banyak negara termiskinkan secara sistemik. Negara-negara tersebut tak mampu lagi bertahan terhadap segala kondisi termasuk kondisi pandemi saat ini. Ibarat pesakitan yang tak mampu lagi membeli obat (vaksin), negara-negara miskin selangkah lagi akan menghadapi kematiannya.
Sudah saatnya dunia ini membutuhkan sistem kepemimpinan yang adil layaknya Khilafah Islamiyah. Sebuah sistem kepemimpinan yang sudah terbukti menjadikan dunia tanpa sekat negara miskin dan kaya. Semuanya menjadi satu kesatuan dalam tata aturan syariah yang menjadikannya sejahtera. Semua terjadi karena khilafah merupakan ajaran Islam yang mulia, yang berasal dari Allah Ta'ala.
Tidakkah kita merindukan hidup dalam naungannya?
Wallahua'lam bishawwab