Cabut Lampiran, Kelar Urusan?




 Oleh Salma Banin
Pegiat Literasi, kontributor komunitas “Pena Langit”

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [TQS Al-Maidah : 90-91]

Ayat diatas merupakan salah satu pendorong derasnya opini penolakan Perpres Nomor 10/2021 yang belum mencapai 30 hari sejak disahkan, untuk dicabut secara deklarasi oleh yang menandatanganinya, yaitu Pak Presiden sendiri. Alasannya, pemerintah ingin merespon dengan baik keluhan dan masukan dari rakyat, beserta ulama dan ormas di sosial media hingga menjadikannya trending pada beberapa kesempatan. Perpres tersebut pada umumnya mengatur tentang pembukaan investasi baru.  Demi kemajuan ekonomi, pemerintah menyasar pula komoditas minuman keras (miras). Bagi penduduk mayoritas muslim Indonesia, hal ini tentu wajar sekali untuk ditentang.

Disebutkan pula, aturan ini hanya ditujukan bagi empat provinsi yakni Bali, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Namun, warga dan pejabat di Papua ternyata turut berkomentar kontra, sebab sudah ada Perdasus Nomor 15 Tahun 2013 disana yang mengatur tentang Pelarangan Produksi, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Aturan tersebut diharapkan mampu menurunkan dampak merusak yang ditimbulkan oleh konsumsi miras. Semakin genaplah tekanan yang bagi rezim selama satu bulan belakangan.

Jika kita menilik lebih jauh, pencabutan lampiran III secara lisan di media ternyata tidak menjamin apapun. Seorang pengamat politik, Agung Wisnu Wardana berpendapat bahwa pencabutan tanpa dokumen tertulis masih berpotensi untuk dipulihkan, seandainya pengawasan masyarakat mengendur. Adapun menurut pakar hukum Profesor Suteki dan Yusril Ihza Mahendra, keduanya menyatakan bahwa pencabutan Perpres hanya bisa dilakukan dengan menerbitkan Perpres baru yang membatalkan atau merevisi Perpres yang sudah ada. Tak heran jika banyak pihak menilai jika narasi pencabutan tersebut hanya untuk meredakan gejolak, sebagai _lip service_ semata.

Meski telah dicabut lampiran III, peredaran miras di bumi pertiwi tetap tidak akan terganggu secara signifikan, apalagi berharap untuk dihentikan. Bagai pungguk merindukan rembulan. Pasalnya hukum yang memayungi industri miras dengan mekanisme investasi tertutup masih berlaku sampai sekarang. Ialah Undang Undang nomor 74 tahun 2013 yang disahkan pada masa pemerintahan sebelum Pak Jokowi, selama ini yang menjadi landasan legal produksi dan distribusi miras. Meski bukan hanya Islam yang melarang pemeluknya untuk mabuk-mabukan.

Islam tegas melarang mengonsumsi minuman keras (khamr) bahkan menyebutnya sebagai ummul khabaits, induk dari segala kejahatan. Tidak hanya peminumnya yang mendapatkan laknat dari Allaah dan Rasul-Nya.

“Rasulullah SAW melaknat tentang khamr sepuluh golongan: yang memerasnya, yang minta diperaskannya, yang meminumnya, yang mengantarkannya, yang minta diantarinya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang makan harganya, yang membelinya, dan yang minta dibelikannya”. [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 380, no. 1313]

Dalam Alquran pun diwahyukan, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, "Kelebihan (dari apa yang diperlukan)." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,” [TQS Al Baqarah ayat 219]

Hidup tanpa minuman keras telah nyata berdampak positif baik bagi individu, keluarga maupun masyarakat secara umum. Maka wajar syariah Islam menutup segala pintu yang berkaitan dengan khamr ini. Adapun dalam sistem kapitalisme --yang kita terapkan saat ini—menggolongkan khamr sebagai benda ekonomi karena masih memiliki value (nilai ekonomis). Manakah yang layak kita terapkan, ayat Allah dan hadits Rasulullaah diatas atau standar materialistis ala kapitalis?

Selama negeri kita masih menerapkan demokrasi-sekuler, selama itu pulalah Islam hanya diadopsi sebagai nilai-nilai saja. Syariah dicampakkan, halal-haram dikembalikan pada hasil kesepakatan. Maka meski jelas haram, miras tidak bisa dilarang secara mutlak dinegara kita.  Miris bukan?

Parahnya lagi, hal ini bertentangan dengan yang dicontohkan oleh Rasulullaah saw. dahulu. Dimana seluruh nash-nash syar’i diterapkan menjadi aturan yang mengatur kehidupan manusia tanpa terkecuali. Meski bagi non muslim sendiri, konsumsi khamr masih diperbolehkan di ranah privat mereka. Menyelesaikan polemik tentang miras ini hanya bisa dengan ada perubahan mendasar sistemik ke arah Islam kaaffah sehingga umat manusia bisa meraih rahmat dari langit dan bumi sebagaimana dijanjikan Allaah. Tak lain dan tak bukan adalah dengan tegaknya institusi Khilafah Islamiyah ‘ala minhaj an Nubuwah. Wallaahu’alam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak