Oleh : Lilik Yani
Prioritas pemerintah untuk meriayah umat adalah sisi keamanan jiwanya. Bukan sekedar karena takut ketinggalan pelajaran, takut bodoh, takut miskin, atau ketakutan lain yang sifatnya kepentingan materi. Di mana ujung-ujungnya bisa memberi manfaat atau kontribusi apa untuk negara.
Termasuk agenda Mendikbud yang akan membuka kembali sekolah tatap muka. Sudah siapkah sisi keamanan bagi anak didik?
Dilansir dari CNN Indonesia --
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengungkap sejumlah alasan pemerintah memutuskan pembukaan sekolah setelah vaksinasi guru dan tenaga kependidikan rampung.
Menurutnya, Indonesia sudah sangat tertinggal dalam kebijakan pembukaan sekolah dibanding negara-negara lain yang juga terdampak pandemi covid-19.
"Dari semua 23 negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, 85 persen dari semua negara tersebut sudah buka sekolahnya. Kita tertinggal, kita hanya 15 persen (sekolah) yang partially open," tutur Nadiem dalam Rapat Kerja bersama Komisi X DPR, Kamis (18/3).
Pasalnya, ia menyebut risiko tinggi covid-19 umumnya didapati pada kelompok usia 31-51 tahun. Sementara pada anak yang terinfeksi, mayoritas hanya bergejala ringan.
Prioritas Keamanan Jiwa Anak, Bukan Ketertinggalan Pelajaran
Sebagai pemimpin yang baik dan peduli umat seharusnya sisi keselamaan dan keamanan jiwa diperhatikan. Boleh saja memikirkan ketertinggalan materi pelajaran yang diprioritaskan namun juga keselamatan jiwa anak didik sebagai prioritas pemerintah.
Seperti gagasan bagus Mendikbud Nadiem yang akan membuka sekolah tatap muka mulai bulan Juli mendatang. Apakah sudah dipersiapkan sarana prasarana pembelajaran yang aman bagi anak didik?
Sosialisasi protokol kesehatan juga harus kencang. Karena namanya anak-anak, bisakah dicegah untuk tidak berkerumun? Mana bisa bertemu teman harus berjauhan? Selain dalam bentuk nasehat, harus ada petugas yang memantau anak didik agar tertib aturan.
Itu sebagai upaya untuk memutus mata rantai agar tidak terjadi penularan. Namun siapa yang menjamin anak didik akan aman, tidak terjadi paparan positif Covid-19? Bukankah usai vaksin pun tidak bisa menjamin kebal dari paparan virus Covid-19? Maka guru yang sudah dilakukan vaksin pun, bisa saja terpapar, bisa juga akan menularkan pada anak didik.
Jadi apa yang perlu dilakukan jika sampai terjadi korban, positif terpapar Covid-19? Sudah siapkah jika pemerintah harus membiayai dengan dana yang tidak sedikit untuk mengobati para korban?
Kesalahan di awal penanganan, jika sejak awal di test maka bisa dipisahkan mana yang sehat, mana yang sakit. Tidak campur aduk seperti saat ini hingga penanganan sulit. Namun apapun tetap harus ditest semua agar tidak saling menularkan. Jika tidak maka akan terus berulang penularan demi penularan tak akan tuntas dalam penanganan Covid-19.
Namun dalam ini Nadiem juga mengklaim transmisi covid-19 pada anak dalam catatannya terjadi dalam kegiatan sosial di luar ruang kelas, bukan di dalam kelas. Selain itu ia mengatakan pada kasus anak yang terkonfirmasi covid-19, umumnya tertular dari orang dewasa. Untuk itu ia merasa vaksinasi terhadap guru dan tenaga kependidikan sudah tepat.
Namun kalangan guru mengaku khawatir dengan instruksi pembukaan sekolah di tengah pandemi meskipun vaksinasi sudah dilakukan terhadap guru dan tenaga kependidikan. Pasalnya, belum ada program vaksinasi untuk anak maupun vaksin yang diizinkan Badan Pengawas Makanan dan Obat (BPOM) untuk anak usia di bawah 18 tahun.
Bagaimana Pemerintah Islam mengatasi hal ini?
Pendidikan dalam Islam sangat penting karena bisa meningkatkan kecerdasan pemikiran umat. Namun jika kondisi masih pandemi maka negara tidak memaksakan diri. Buat apa murid pandai jika kondisi tubuh tidak sehat? Makin besar potensi terjadi penularan jika anak didik dipaksa tatap muka dalam suasana pandemi. Bukankah akan menjadi masalah baru bagi umat?
Lain halnya jika terjadi dalam negeri yang menerapkan sistem kapitalis. Di mana azas manfaat selalu jadi prioritas. Maka tidak heran meski masih dalam kondisi pandemi, pemerintah akan nekat untuk membuka sekolah. Semua ditujukan karena azas manfaat semata. Anak- anak ditarget pandai agar memberikan kontribusi pada negara.
Pemerintah Islam sangat menjunjung keselamatan jiwa umat dibanding apa saja termasuk dalam bidang pendidikan. Jadi jika memang kondisi belum aman, pemerintah Islam tak akan memaksakan diri untuk menjalankan aktivitas di luar meskipun itu dalam rangka memajukan pendidikan.
Jika memang kondisi sudah memungkinkan mau akan diperhatikan keamanan dan kenyamanan anak didik dalam belajar. Sarana prasarana yang terus disiapkan agar tak terjadi kontaminasi atau penularan virus Covid-19.
Jika memungkinkan semua pihak sekolah, dari anak didik hingga kepala sekolah, dari orang biasa hingga pejabat atas. Para guru dan semua akademisi, semua akan divaksinasi untuk pencegahan.
Namun dalam pemerintahan Islam, tidak akan mengambil resiko dengan adanya jiwa melayang karena kecerobohan kebijakan pimpinan. Jadi intinya, dalam sistem Islam, nyawa sebagai prioritas utama. Hilangnya satu nyawa saja bagaikan kehilangan dunia seisinya. Maka jelas pemerintah Islam tidak akan menggadaikan jiwa atau nyawa umatnya demi sebuah prioritas ilmu agar tidak tertinggal.
Ketinggalan ilmu bisa dilkerjar. Namun kehilangan nyawa, siapa yang bisa menjamin aman dari paparan
Wallahu a'lam bish shawwab
Surabaya, 19 Maret 2021
Tags
Opini