BPJS Surplus, Biaya Kesehatan Tetap Pakai Fulus



Oleh Dede Yulianti 

(Pengurus Kajian Wanita Shalihah)

Setelah mengalami defisit hingga triliunan rupiah setiap tahun, sejak berdirinya tahun 2014, BPJS kini berbangga hati dengan kondisi surplus keuangan. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan memiliki saldo kas dan setara kas sebesar Rp 18,7 triliun. Sebuah angka yang sangat besar. (Bisnis.com, 08/02/2021).

Kondisi tersebut sesuai dengan yang diprediksikan Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf, bahwa diproyeksikan keuangan BPJS Kesehatan bisa surplus hingga Rp 17,3 triliun di tahun 2020. Hal ini diutarakan saat akan menaikkan iuran BPJS di tahun 2019.

Menjadi pertanyaan apakah dengan kondisi surplusnya BPJS kesehatan, fasilitas, pelayanan dan pembiayaan kesehatan menjadi cuma-cuma bagi rakyat?

Bisnis Kesehatan Ala Kapitalisme

Fachmi Idris menjabarkan bahwa penyesuaian iuran menjadi faktor utama perbaikan arus kas sehingga defisit tuntas. Penyesuaian itu tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan, aturan pengganti Perpres 75/2019 yang sempat dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Penyesuaian ini juga bukan tanpa dasar, lantaran Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 menyebut bahwa iuran adalah jalan satu-satunya untuk BPJS Kesehatan menanggulangi defisit. Maka melalui Peraturan Presiden, besaran iuran harus ditinjau kembali setiap dua tahun.

Jelaslah, satu-satunya jalan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi rakyat adalah dengan memungut iuran. Artinya dibebankan kepada rakyat. Bahkan melalui iuran rakyat tersebut BPJS sebagai lembaga yang ditunjuk pemerintah mendapatkan keuntungan hingga belasan triliun.

Iuran tersebut akan selalu mengalami kenaikan, mengingat dua tahun sekali diatur untuk ditinjau kembali. Meski kondisi negeri masih mengalami pandemi.

Inilah wajah pengaturan kesehatan ala kapitalisme. Bisnis menjadi paradigma mendasar dalam melayani kesehatan masyarakat. Padahal beban kehidupan dalam kehidupan kapitalistik saat ini begitu tinggi, tersebab semua diserahkan pada individu rakyat sendiri. Apalagi ditambah dengan 'pajak' kesehatan yang dipungut per kepala. Itupun pelayanannya disesuaikan dengan 'kelas' berapa rupiah mereka sanggup membayar.

Mekanisme yang berjalan, rakyat sebagai objek pajak, pihak swasta sebagai pengelola sekaligus penikmat keuntungan, sedangkan negara hanya sebagai regulator. Pemberi payung hukum agar swasta leluasa memunguti pajak rakyat. Miris.

Islam menuntaskan masalah kesehatan

Sungguh menakjubkan, bagaimana Islam sebagai aturan hidup yang sempurna menuntaskan masalah kesehatan. Tanpa memandang agama, miskin kaya, tua muda, di kota maupun di desa. Pelayanan kesehatan bagi rakyat sama, yaitu pelayanan terbaik bagi kesembuhan, keselamatan dan kenyamanan individu per individu. Tanpa membuat kelas-kelas perbedaan.

Hal ini terbukti bagaimana di masa kekhilafahan Islam, negara menyediakan sarana dan pelayanan kesehatan terbaik secara cuma-cuma. Bukan hanya pada orang sakit, bahkan yang pura-pura sakit sekalipun. Bagi mereka yang keluar rumah sakit diberi uang, agar pada saat pemulihan mereka tak perlu bekerja untuk menafkahi keluarga. Hanya ada dalam sistem kehidupan Islam.

Bagaimana kondisi tersebut bisa terjadi? Sebab paradigma mendasar tentang kesehatan bukanlah bisnis. Melainkan kebutuhan pokok setiap individu yang wajib diurus oleh negara. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, "Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan, dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).

Darimana pembiayaannya yang sangat besar untuk pengelolaannya? Tentulah dari pendapatan baitul maal, serta hasil dari kekayaan alam yang berlimpah di dalam negeri. Maka dalam mengelola tambang, minyak, gas, hutan dan sebagainya, haram diserahkan kepada swasta. Privatisasi dalam kapitalisme, jalan mudah bagi para kapital mengeruk kekayaan negeri untuk kantong mereka sendiri. Menyisakan kemiskinan dan defisit pembiayaan negara, termasuk kesehatan.

Negara berfungsi sebagai pelindung dan pelayan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).

Negara langsung melayani rakyat bak seorang ibu kepada anaknya. Tanpa memungut biaya tanpa membedakan kelasnya, dengan layanan terbaik. Bukan sebagai regulator atau pemungut pajak, bukan pula pelindung para kapital penikmat harta rakyat.

Negara berdiri di atas dasar hukum-hukum Illahi. Dikontrol oleh keimanan para penguasanya dan juga kontrol masyarakat. Saling menasehati atas dasar keimanan pula. Bukankah ini gambaran hubungan penguasa dan rakyat yang sangat indah. Tidakkah kita menginginkan dan merindukannya.

Dengan demikian kehidupan dalam Islam tidaklah membedakan kemanusiaan karena 'fulus.' Namun rahmat bagi alam yang tercermin pula dalam pengelolaan masalah kesehatannya.
Wallahu'alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak