Bermanfaat Tetapi Ditinggalkan


Sumber gambar: alamiry.net


Oleh: Rinica M


"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir" (TQS. Al-Baqarah: 219).

Ayat yang terkait dengan miras di atas kembali sering dikutip belakangan ini. Salah satu penyebabnya adalah ramainya reaksi masyarakat terhadap Perpres tentang investasi miras, yang belakangan ini sudah dianulir lampirannya.

Sebagian menyetujui adanya investasi, dengan pandangan adanya manfaat bagi ekonomi. Sebagian meminta dibatalkan karena memang tidak sesuai dengan keyakinan (mayoritas penduduk muslim). Dinilai investasi berpotensi memperbesar volume peredaran miras, yang sebenarnya selama ini memang sudah ada.

Besarnya peredaran miras ini dikhawatirkan berpengaruh pada masyarakat luas. Sebab jamak diketahui bahwa miras turut berperan sebagai salah satu penyebab kematian maupun aksi kejahatan. Bukan hanya bagi kalangan dewasa, remaja, dan anak pun disinyalir ada yang mengonsumsinya.

Namun, bila dicermati, penyikapan terhadap miras sejak awal memang tak satu suara. Kebiasaan setempat atau kearifan lokal menjadi salah satu alasan mengapa miras legal di suatu area. Digunakan untuk kepentingan sakral mereka, diproduksi skala rumahan, tidak secara masal, tidak dijual bebas, dan tidak diminum sembarang orang. Pada ranah ini, toleransi terjadi. Umat selain mereka tetap menghormati dan tidak mengganggu.

Di lain area, terutama yang mayoritas penduduknya muslim, mereka mematuhi apa yang termaktub di awal ayat tadi. Meninggalkan miras sebagai kepatuhan pada firman-Nya. Mengapa? Sebab demikian yang pernah dicontohkan para sahabat di masa Nabi.

Ketika informasi mengenai khamr sebagai perbuatan keji turun melalui Al-Maidah ayat 90-91, seketika orang beriman di Madinah berhenti dari minum khamr. Padahal kala itu khamr bagian dari tradisi mereka, yang salah satunya diperlukan untuk menghangatkan badan. Hampir setiap rumah bisa jadi menyimpan khamr, sehingga kala itu pun dikisahkan jalanan Madinah "tergenang" karena banyaknya khamr yang dibuang.

Apa yang terjadi kala itu menunjukkan pembelajaran penting, bahwa apapun yang dipandang bermanfaat, bahkan yang telah menjadi kebiasaan sekalipun bisa ditinggalkan seketika tatkala aturan Allah diterima. Totalitas keimanan dan ketaatan mampu menundukkan nafsu dari sebatas mencapai kemanfaatan duniawi.

Sehingga keimanan yang kokoh seperti inilah yang kiranya akan mampu menggerakkan setiap yang beriman untuk tidak terpikat manfaat miras. Tidak berangan membelokkan unsur sakral miras menjadi komoditas. Dari yang semula hanya milik kelompok tertentu untuk kepentingan dan kalangan tertentu, dibesarkan agar dinikmati banyak kalangan, demi meraup keuntungan.

Cara berpikir bisnis kapital tentu mengindera roman yang bisa mendatangkan kekayaan. Apapun bisa ditarik sebagai sumber pundi pundi materi tanpa memandang ada tidaknya aturan Ilahi tentangnya. Khas konsep sekuler, menjauhkan pandangan agama dari urusan dunia.

Inilah mengapa, bila ingin menormalkan keadaan, yang terlarang ya dipandang terlarang lalu ditinggalkan, menggunakan Islam adalah jalannya. Sebab nyata-nyata faktor ketakwaan yang diemban individu dan masyarakat Madinah kala itu menjadi bukti betapa mungkinnya meninggalkan manfaat demi bisa taat. Sekiranya hal demikian akan lebih efektif bila ketakwaan serupa, diemban bersama, oleh individu, masyarakat, dan juga negara. []

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak