Oleh : Okta Nurajizah
Bicara korupsi memang tak pernah ada habisnya. Di seluruh dunia, baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang seperti negara Indonesia Ini, perilaku korupsi ini bak jamur yang tumbuh subur.
Di negeri ini, rasanya kasus korupsi sudah kian menjadi-jadi. Bagaimana mana tidak. Di tengah pandemi ada menteri yang tega melakukan korupsi. Sungguh ironi. Apakah mereka tak punya hati? Tak tanggung-tanggung yang dikorupsi adalah dana bansos yang jumlahnya tak sedikit.
Seperti yang diberitakan jpnn.com, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan terhadap eks Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI M Rakyan Ihsan Yunus pada Kamis (25/2). Selain Ihsan, dua politikus PDI Perjuangan juga diperiksa.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, Ihsan dan politikus PDI Perjuangan dipanggil sebagai saksi dalam kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020. (jpnn.com,12/02/2021)
Korupsi merupakan penyakit amat berat yang menyerang negeri ini, yang kini tak lagi bersifat kasuistik atau individual, tapi sudah bersifat sistemik dan dilakukan secara kelompok/mafia (“berjamaah”). Korupsi di alam demokrasi saat ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah (eksekutif), parlemen/wakil rakyat (legislatif), peradilan (yudikatif), dan juga swasta.
Sebenarnya bukan hanya kasus bansos yang menyita perhatian publik. Ada kasus Jiwasraya dan Asabri yang juga dapat dikatakan kasus "mega korupsi" yang hingga hari ini masih belum tuntas. Atas deretan kasus "mega korupsi" itu lahirlah sebuah tanya bagaimana kabar KPK dan Kejaksaan Agung?
Raport Merah Pemberantasan Korupsi
Transparency International, sebuah lembaga pemantau indeks korupsi global mengeluarkan laporan “Global Corruption Barometer-Asia”. Dalam laporan itu negeri zamrud khatulistiwa ternyata masuk nomor 3 se-Asia. (merdeka.com, 20/11/20)
Dari hasil laporan lembaga Transparency International juga diketahui nilai Indeks Persepsi Korupsi (CPI) turun 3 poin jika dibanding tahun 2019. Sebelumnya CPI tahun 2019 sebesar 40/100. Namun, di tahun 2020 nilainya turun menjadi 37/100. Dengan urutan ke-102 dari 180 negara (pikiran-rakyat.com, 7/2/21).
Demokrasi Biang Korupsi
Berbagai kasus korupsi yang menjerat para penguasa negeri ini adalah dampak dari diterapkannya sistem demokrasi-kapitalisme. Di dalam sistem rusak ini korupsi akan tumbuh subur, mulai dari korupsi di tingkat kelurahan hingga ke tingkat kementerian.
Dalam sistem demokrasi saat ini perlu dana besar untuk membiayai proses politik dan kepentingan kampanye. Sumbernya bisa dari dana sendiri atau modal dari pemilik modal. Dengan proses politik itu kekuasaan didapat. Lalu kekuasaan itu dipakai untuk mengembalikan modal dan memberikan keuntungan kepada pemodal, juga untuk memupuk modal untuk mempertahankan kekuasaan pada proses politik berikutnya.
Jadilah siklus money making power, power making money terus bergulir. Di situlah terjadi persekongkolan politisi-penguasa dengan pemodal, dan juga terjadi korupsi dalam berbagai bentuk dan modusnya. Maka sistem demokrasi padat modal itulah yang jadi biangnya korupsi.
Sempurnanya Islam Mengatasi Korupsi
Syariah Islam cara yang efektif dalam memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif). Secara preventif paling tidak ada 7 (tujuh) langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam sebagai berikut :
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari).
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.
Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar."
Upaya Kuratif
Bila memang korupsi telah terjadi, syariat Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki,Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Demikianlah sekilas bagaimana mekanisme syariat Islam dalam menuntaskan masalah korupsi. Cara ini memang tidak mudah. Karena mengasumsikan perubahan sistem hukum yang sangat mendasar yaitu menuju sistem hukum tunggal, Syariah Islam. Walaupun tidak mudah, tapi cara inilah yang patut diyakini akan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Tanpa cara ini, pemberantasan korupsi hanya akan ada di permukaan atau kulitnya saja.
Namun, seluruh mekanisme tersebut tentu hanya mampu dijalankan dalam sebuah negara yang menerapkan aturan Islam secara keseluruhan. Wallahua'lam
Tags
Opini