Ancaman Limbah Mengintai, Hadiah Undang-Undang Sepihak



Oleh: Nurul Ummu Rasyid*


Sudah sejak awal UU Ciptaker memperlihatkan ketidakseimbangan atas hak seluruh rakyat yang lebih cenderung menjadi pihak dirugikan dibanding pengusaha yang mendapat jalan nyaman dari pemerintah dalam melangsungkan kegiatan usahanya. Efek samping beruntun telah merugikan rakyat. Diliput dari katadata.co.id pada 12 Maret 2021, pengusaha batubara kini seperti cuci tangan dalam pembuangan limbah FABA (Fly Ash dan Bottom Ash). secara sembarangan karena sudah dikatakan tidak berbahaya lagi untuk kesehatan dan tidak mencemari lingkungan dengan dikuatkan oleh PP no.22/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. PP ini adalah turunan dari UU Ciptaker no. II tahun 2020 tentang Ciptaker dan ditandatangani oleh Presiden RI Joko Widodo pada 02 Februari 2021 untuk menggantikan PP no. 101/2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.

FABA sendiri adalah jenis limbah padat hasil proses pembakaran batubara pada PLTU, Boiler, dan tungku indurstri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi. Dalam PP ini, pada pasal 458 (3) huruf C, FABA kini dikatakan limbah non B3 karena tidak berbahaya dan bisa dimanfaatkan untuk bahan baku konstruksi pengganti semen, padahal pada PP no 101/2014 pasal 54 ayat 1 huruf a, dinyatakan debu batubara dari kegiatan PLTU masih dikategori limbah B3.

Setiap ketidaktepatan akan kebijakan pemerintah, selalu ada respon dari rakyat. Dan kini PP ini menjadi sorotan dari berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan FABA yang dibuang dianggap sebagai polusi udara di Jakarta. Aktivis lingkungan mulai mengkritisi PP ini, salah satunya yaitu Trend Asia (lembaga yang fokus pada kampanye energi terbaru) lewat cuitan di akun twitter resminya. Mereka menyatakan bahwa PP ini menjadi kabar buruk bagi kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat, terutama senyawa kimia yang dihasilkan seperti arsenik, timbal, merkuri, kromium dan sebagainya. Karena itu mayoritas negara di dunia masih menggolongkan ini sebagai limbah berbahaya dan beracun, demikian inti kutipan akun twitternya pada 10 Maret 2021 lalu.


Kabar serupa dari detikNews.com pada 12 Maret 2021 kemarin. Lembaga swadaya masyarakat Indonesia Center for Enviromental Law yang disingkat ICEL ikut menyoroti masalah ini. ICEL meminta pemerintah untuk mencabut pelanggaran aturan pengelolaan limbah batubara ini untuk tetap dikategorikan sebagai limbah B3. Pasalnya sudah terbukti limbah ini adalah bahan beracun yang berbahaya bagi manusia (organ tubuh) sehingga keberadaannya sangat mengancam kesehatan masyarakat yang tinggal di lokasi pembuangan limbah tersebut.


Kini rakyat kembali dipaksa menikmati imbas dari sistem sekuler kapitalis pemerintah. Alih-alih menambah pemasukan negara dan membuka lapangan kerja dengan menggalakkan investor asing maupun lokal, sejatinya hanya memberikan jalan tol bag investor untuk bisa mendirikan usahanya. Bukan rahasia lagi bahwa dengan sistem ini pemerintah hanya bergerak sebagai regulator atas pihak yang bisa dan dianggap menguntungkan negara dalam mencetak income negara. Siapa lagi kalau bukan para pengusaha (investor) bahkan pemerintah sendiri sampai luput memperhatikan dampak bagi seluruh rakyat akibat kebijakan-kebijakan sepihak tersebut.

Kebijakan kapitalistik dari sistem yang diemban oleh negeri ini menjadikan masalah semakin muncul ke permukaan. Hal ini akibat memberikan kebebasan pada pengusaha untuk lepas tanggung jawab dari pengelolaan limbah atas sisa hasil produksinya. Sebagai contoh salah satunya, mengalihkan beban biaya negara, mengenyampingkan bahaya limbah yang dapat meracuni rakyat dan lingkungan.


Gambaran seperti ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan sistem Khilafah Islam yang jujur mengelolah, bertanggung jawab dan melindungi serta menjaga kesejahteraan rakyat. Hal ini karena pemimpin Islam hanya menjalankan hukum syariat yang sudah ditentukan dalam ideologi Islam. Pemimpin atau khalifah akan mengelolah Sumber Daya Alam (SDA) untuk rakyatnya, karena sejatinya SDA adalah kepemilikan umum yang mesti dikelola negara untuk kepentingan rakyatnya.

Pengelolaan tersebut dilakukan dengan mengkaryakan rakyatnya agar dapat menjadi lapangan kerja dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat seluruhnya seperti penyediaan fasilitas pendidikan, fasilitas umum, kesehatan dan lain sebagainya. Jadi tidak ada investor swasta maupun lokal yang menguasai SDA. Rasulullah saw pun bersabda sebagai berikut :

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

"Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api." (HR Ibnu Majah).

Karena pemimpin atau khalifah benar-benar menjalankan syariat Islam maka setiap kebijakan dan tindakan sangat menghindari maksiat ataupun pelanggaran, sesuai sabda rasul berikut:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih azab-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Dari dalil- dalil diatas sudah jelas bahwa Islam adalah Ideologi yang mensejahterakan, memberi keseimbangan hidup antara manusia dengan lingkungan dan menjauhkan kehidupan dari kerusakan akibat tangan-tangan manusia. Hanya dengan sistem Islam kepemimpinan adil dapat terwujud yang dibawahi oleh seorang khalifah dengan semangat untuk taat kepada Allah dan Rasulnya. Beranikah membuat peraturan sepihak? Wallahu a'lam bishowwab.

*(Pegiat Literasi dan Aktivis Lingkungan)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak