Vaksinasi Gratis, Mampukah Mengatasi Pandemi?

 

sumber gbr: google


Seharusnya rasa empati yang terbesar harus ada di pemerintah. Dan harus diwujudkan oleh pemerintah kepada rakyatnya untuk mengenyahkan penderitaan. Erik Tohir menyampaikan bahwa tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak di vaksin covid 19. Bisa tidak bisa harus bisa untuk divaksin.( Media Umat edisi 280)

Untuk itu pemerintah telah mengimpor vaksin covid 19 yang siap disuntikan untuk mengendalikan penyebarannya di tengah masyarakat. Upaya pemerintah dalam menangani virus covid 19 tentu saja mendapatkan apresiasi dan disambut baik oleh masyarakat. Begitu lama masyarakat menanti, kapan virus ini akan berahir. Berbagai kesulitan dan kecemasan yang disebabkan mewabahnya virus  covid 19, telah menambah penderitaan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Tapi hal itu tidak sejalan dengan harapan. Pendistribusian virus covid 19 ada dua agenda, yang pertama diberikan secara gratis, diantaranya diberikan kepada tenaga kesehatan, pelayan publik, PBI(Penerima Bantuan Iuran) dan kelompok rentan lainnya. Sedangkan yang ke dua adalah sisanya itu, yang 'bisa tidak bisa harus tetap divaksin'.

Ada lagi wacana bahwa masyarakat harus ikut serta bergotong royong dengan pemerintah dan kalangan pengusaha, membantu keuangan negara yang tengah krisis dengan vaksinasi mandiri alias tidak gratis. Padahal Presiden Joko Widodo telah mengumumkan bahwa pemerintah berkomitmen untuk memberikan vaksin Covid-19 secara gratis kepada seluruh penduduk Indonesia. Vaksin gratis ini tidak mensyaratkan apapun, termasuk tidak perlu memiliki keanggotaan BPJS. (kompas com,10/1/2021)

 

Pernyataan yang plin plan ini menunjukan tidak adanya kekompakan diantara kedua petinggi itu. Akan sangat wajar hal ini akan  menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Ada ketidak adilan dan ketidak jujuran yang mereka rasakan, dan inilah yang menyebabkan lunturnya kepercayaan.

Sengkarutnya Pandemi Tersebab Sistem Kapitalis Sekuler

Ingin rasanya segera mengahiri pandemi. Apalah daya masyarakat tidak mempunyai kekuatan. Satu satunya pengharapan adalah para pemangku kebijakan. Pemerintah sebagai institusi yang sedang diamanahi untuk mengelola negri ini, berkewajiban mewujudkan rasa keadilan bagi rakyatnya. Baik secara ekonomi, kesehatan dan keamanan. Sehingga masyarakat secepatnya bisa keluar dari kesulitan dan penderitaan yang berkepanjangan. Tapi lagi lagi rasa sangsi yang mengganggu pikiran, karena kondisi negri yang kerap kali bergantung pada asing. Dan tidak jauh jauh setiap kebijakannya pun akan menguntungkan asing. Dan itu juga sudah menjadi cerita lama.

Ada kegamangan pemerintah dalam menghadapi pandemi global Covid-19. Dan hal itu telah terindra di publik dengan gamblang. Kebijakan yang tidak tegas, penanganan yang tidak sigap, dan abainya negara sejak wabah ini diumumkan menjadi faktor penyebab pandemi virus ini, menjalar di hampir seluruh wilayah pertiwi ini.

Ibarat pungguk merindukan bulan. Selama kapitalisme masih menjadi andalan dalam mengelola negara, keberpihakan utama bukanlah untuk rakyat. Tapi bagi mereka para pemilik modal. Sungguh tidak etis bagi pengurus hajat rakyat, yang justru mengorbankan rakyat, demi para kapitalis. Rakyat telah dibuat terlena dan terbawa suasana gempita dibelakang mereka. Tentu saja masyarakat juga menunggu dengan harapan memberikan segala janjinya. Akankah ada realisasinya ?

Masyarakat menunggu jawaban dari pemerintah, dan berharap besar covid 19 bisa tertangani segera sehingga bisa secepatnya keluar dari kesulitan. Tetapi dengan adanya pernyataan yang tidak sejalan antara petinggi negara dan pembantunya terkait wacana gratisnya  vaksin, menjadikan dilema ditengah masyarakat antara yang siap dan yang tidak yakin untuk divaksin. Pandu Riono epidemiolog FKM Universitas Indonesia, mengatakan: Vaksin semestinya digratiskan untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali, dan bila berbayar, pemerintah telah abai terhadap kebutuhan masyarakat.

Bukankah Indonesia bisa mengupayakan membuat vaksin sendiri? Bisa melalui lembaga Eijkman yang berkolaborasi dengan Kemenkes atau Litbang Kesehatan semisal. SDM Indonesia tidak kekurangan ahli kesehatan dan peneliti handal. Tapi dana dari mana? Utang banyak, negara sedang defisit. Di sinilah pangkal persoalan, maka akhirnya lebih memilih cara pragmatis dibanding cara panjang.

Karut marut penanganan wabah ini adalah buah dari kapitalisme sekuler. Sistem yang rakus dan tidak punya empati walau dengan rakyat sendiri. Sistem yang melahirkan pemimpin tidak amanah.

 

Mudah dan Berkah dengan Islam

 

Publik harus menyadari, sistem demokrasi tidak akan bisa melahirkan pemimpin amanah dan bertakwa, sebagaimana dalam kepemimpinan Islam. Dalam menangani pandemi sesungguhnya tidak hanya membutuhkan penguasa yang  mampu menjalankan fungsinya sebagai pengurus dan pelayan rakyat saja, namun juga membutuhkan sebuah sistem yang paripurna yang bisa menangani persoalan termasuk persoalan pandemi berdasarkan islam. Islam sebagai solusi yang memuat pandangan sahih, bahwa keselamatan nyawa manusia lebih utama dari pada nilai materi(ekonomi), 

"Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan ruhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR At Tirmidzi

Maka dari itu seorang pemimpin berkewajiban berjuang agar tidak terjadi hilangnya nyawa tanpa hak. Karena Allah akan meminta pertanggung jawaban, atas apa yang menjadi amanahnya. Mempersiapkan sarana yang bisa menunjang penyembuhan adalah kewajiban seorang pemimpin. Islam juga memiliki perhatian yang besar pada masalah kesehatan. Rasulullah saw. telah membangun pondasi yang kokoh bagi terwujudnya upaya preventif dan kuratif.  Upaya preventif seperti mewujudkan pola emosi yang sehat, pola makan yang sehat, pola aktivitas yang sehat, kebersihan, serta epidemi yang terkarantina dan tercegah dengan baik.

Rasulullah memerintahkan untuk memisahkan antara orang yang sehat dari yang sakit sebagaimana sabda beliau, “Janganlah unta yang sehat dicampur dengan unta yang sakit.” (HR Bukhari dan Muslim)

Atas dasar hadis inilah maka orang yang terpapar virus(sakit), dipisahkan dengan orang orang yang sehat agar terputus rantai penyebarannya. Baik upaya preventif maupun kuratif rehabilitatif, wajib diselenggarakan oleh negara melalui pembiayaan yang bersumber dari baitulmal, seperti tindakan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Beliau mengalokasikan anggaran dari Baitulmal untuk mengatasi wabah penyakit Lepra di Syam. Semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara  karena negara berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan dan pengobatan

Pemimpin amanah adalah pemimpin yang bukan hanya tidak mengkhianati rakyat yang telah memilih dirinya, tetapi yang lebih penting adalah tidak mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Di dalam Al Qur'an Allah SWT telah berfirman:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta jangan mengkhianati amanah-amanah kalian, sementara kalian tahu (TQS al-Anfal [8]: 27).

Hanya Daulah Khilafah yang bisa mewujudkan pemimpin amanah, jujur, bertakwa, yang hanya takut kepada Allah swt.

Wallahu A'lam bishowab

Hendaryati Uti Firnas

(Pemerhati Sosial)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak