Oleh : Ummu Syakira (Praktisi Kesehatan)
“Vaksin telah tiba, hatiku gembira”. Sebuah ungkapan seorang paramedis di salah satu puskesmas. Hal yang sangat wajar, karena bagi kami paramedis yang menjadi garda terdepan penanganan pasien Covid-19, sangat berharap dengan datangnya vaksin ini akan menyegerakan usainya pandemi Covid-19, yang hampir satu tahun menghampiri negeri ini. Kasusnya pun dari hari ke hari terus bertambah, tak menunjukkan tanda-tanda penurunan yang signifikan. Apalagi petugas kesehatan akan menjadi penerima vaksin tahap awal sesuai dengan rencana yang disampaikan oleh Menkes. Pemerintah fokus memvaksinasi 1,4 juta orang tenaga kesehatan hingga Februari 2021. Lalu vaksinasi 17 juta TNI-Polri pada Maret-April 2021. Kemudian vaksinasi 25 juta lansia hingga Mei 2021. Budi menjelaskan penyuntikan vaksin untuk publik umum baru dilakukan Mei mendatang. Sebagaimana yang beliau sampaikan di salah satu kanal berita online.
Namun bagi masyarakat biasa, tentu mereka setengah gelisah dan bertanya. Karena selain pengakhiran pemberian vaksinasinya, juga ada wacana swastanisasi vaksin, yang artinya mereka harus membayar jika ingin mendapatkan vaksin. Kementerian Kesehatan masih mengkaji skema pemberian vaksin virus corona (Covid-19) berbayar atau vaksin mandiri di Indonesia. Juru Bicara Vaksin Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan saat ini masih menerima masukan dari berbagai pihak terkait hal tersebut. "Kita masih mengkaji dan memfinalkan terkait rencana ini, jadi bersabar dulu," kata Nadia dalam konferensi pers virtual, Sabtu (23/1).
Sungguh miris nian nasib rakyat negeri ini. Sudahlah mereka harus menerima dampak pandemi, mulai dari kesulitan ekonomi, repotnya emak-emak mendampingi belajar daring, bahkan hingga korban jiwa akibat Covid-19 yang tertinggi di Asia tenggara. Kini harus menelan kekhwatiran karena harus antri menunggu vaksinasi demi terhindar dari wabah corona dan bayang-bayang berbayarnya kelak ketika mau lebih dulu mendapatkannya.
Efek Kapitalisme
Semua tak lepas dari paradigma sistem kapitalisme sekuler yang menaungi negeri ini dalam setiap pengambilan kebijakan bahkan dalam urusan nyawa sekalipun. Masyarakat sejatinya sudah jengah dengan lamanya pandemi ini, namun hal ini tak jua menyentuh hati para penguasa ini untuk serius agar pandemi ini segera berakhir. Bagi negeri yang penuh dengan limpahan karunia sumber daya alam, negeri yang subur sehingga tongkat kayu bisa jadi tanaman seharusnya membuat negeri ini tak punya kendala keuangan ketika menyelesaikan problem pandemi ini. Tapi kenyataannya, paradigma kapitalisme yang mengebiri peran negara hanya sebatas regulator dalam melayani rakyatnya membuat penguasa kita kesrimpung (kaki tersangkut hingga terhuyung-huyung) istilah Jawanya dalam membuat kebijakan pemberian vaksinasi bagi rakyatnya untuk menyelesaikan problem pandemi ini.
Kebijakan sebagai regulator membuat pelayanan terhadap rakyat adalah pelayanan “B to B” (Business to Business) dalam penyediaan vaksin, yakni dijadikan sebagai ladang bisnis, bukan totalitas melayani. Tentu dengan alasan klasik, karena ekonomi kita sedang terpuruk sehingga kita semua harus prihatin sekaligus ikut membantu negara dalam menyelesaikan pandemi ini dengan mandiri dalam mendapatkan vaksinasi. Mandiri dalam pembuatan tentunya, tetap menjadi alternatif sadis penguasa negeri ini terhadap sebagian besar rakyatnya, karena tidak lebih dari 25 persen penduduk yang dijamin vaksinasi (1,4 juta Nakes, 17 juta TNI-Polri, dan 25 juta Lansia), tentu sisanya yang lebih besar artinya mayoritas penduduk negeri ini harus berjuang menunggu dan mandiri dalam memperoleh vaksinasi.
Inilah potret pilih kasih dalam pengayoman keselamatan atas nama garda terdepan, di mana selama ini penguasa menganggap Nakes, TNI-Polri dan Lansia yang paling rentan sehingga mendapat porsi pertama dalam pelayanan vaksinasi. Bukankah ini justru menunjukkan ketidakadilan penguasa kepada mayoritas penduduk negeri ini dalam upaya penyelamatan dari pandemi Covid-19. Masihkan dengan fakta kasat mata ini kita sebagai bagian besar dari rakyat negeri ini tak menyadarinya sehingga masih betah berlama-lama dipimpin oleh penguasa zalim akibat sistem kapitalisme sekuler yang dipakai oleh negeri ini?
Vaksinasi dalam Islam
Dalam Islam, vaksinasi adalah sunah. Hukum vaksinasi secara syar’i adalah sunah (mandub/mustahab) karena termasuk dalam aktivitas berobat (at tadaawi /almudawah) yang hukum asalnya sunah. Asalkan memenuhi memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu: Pertama, bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis seperti enzim babi. Kedua, vaksinasi yang dilakukan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang divaksinasi.
Mengenai sunahnya berobat, dalilnya adalah perintah berobat sebagaimana dalam sabda Rasulullah Saw., “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud, no. 3376). Berdasarkan hukum sunahnya berobat inilah, maka vaksinasi dihukumi sunah. Karena vaksinasi termasuk dalam aktivitas berobat, khususnya pengobatan preventif (al thibb al wiqaa`iy) yaitu pengobatan sebagai pencegahan sebelum munculnya penyakit. Maka, tindakan memilih tidak berobat ini dapat digolongkan bunuh diri yang diharamkan (QS. An Nisaa’: 29). Sehingga wajib hukumnya dihindari dengan melakukan pengobatan.
Hukum asal berobat yang sunah tadi, terdapat dua syarat: Syarat pertama, bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis. Karena telah terdapat larangan syariat untuk berobat dengan zat yang haram/najis. Meski larangan ini adalah larangan makruh, bukan larangan haram. Sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud, no 3376). Syarat Kedua, vaksinasi yang dilakukan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang divaksinasi, dikarenakan terdapat larangan untuk menimbukan bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, sesuai hadis Nabi Saw., “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain.” (HR Ahmad). Dengan demikian maka vaksinasi bisa diambil kebijakan sebagai salah satu dari upaya pengakhiran pandemi Covid-19.
Paradigma Islam Menjamin Kesehatan
Namun ada yang berbeda dalam pelaksanaannya, berawal dari paradigma Negara Islam dalam cara pandang masalah kesehatan khususnya. Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan pokok yang harus di penuhi dan dijamin oleh negara kepada seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu secara gratis. Kaya, miskin, jabatan, ras, suku apalagi usia, tidaklah menjadi prioritas dalam pelayanan kesehatan, karenanya ketika memberikan layanan khususnya vaksinasi sebagai upaya penanggulangan pandemi akan dilakukan secara massal dan gratis. Tidak ada unsur kapitalisasi di dalamnya sebagaimana yang terjadi pada rezim kapitalis sekuler saat ini. Dalam keadaan apa pun keselamatan rakyat senantiasa akan menjadi pertimbangan utama negara (Khilafah).
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani).
Sehingga tak kan ada penundaan vaksinasi dengan alasan apapun, demi menjaga keselamatan nyawa warga negaranya, baik muslim maupun non muslim.
Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”
Dikutip dari helpsharia.com, banyak institusi layanan kesehatan yang didirikan selama masa Kekhilafahan Islam agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari melayani 4000 pasien. Layanan diberikan tanpa membedakan ras, warna kulit dan agama pasien; tanpa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Selain memperoleh perawatan, obat dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama 7 abad. Sekarang rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qolawun. Ini hanyalah sebagian dari gambaran keseriusan Khilafah dalam memberikan layanan kesehatan secara paripurna dan gratis bagi semua warga negaranya.
Dari manakah dana untuk menggratiskan layanan kesehatan di Khilafah Islam? Dananya diambil dari baitulmal yakni: Pertama, dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat. Kedua, dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat, dsb. Ketiga, dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang, dsb. Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.
Dengan begitu, ada atau tidak adanya wabah, membuat Khilafah tetap memberikan layanan gratis bagi kesehatan karena sudah menjadi kewajiban negara. Tidakkah kita rindu dengan sistem Khilafah yang membuat kita tak lagi seperti “anak tiri” dalam layanan kesehatan rezim kapitalis sekuler saat ini?
Karenanya, sudah saatnya kita bahu-membahu memperjuangkan Khilafah. Kesehatan bukanlah segala-galanya,tapi tanpa kesehatan segalanya bukanlah apa-apa. Pun demikian dengan Kesehatan di masa rezim kapitalis sekuler adalah barang mahal tapi bukanlah apa-apa bagi Khilafah karena itu adalah tanggungjawabnya.