Vaksin dan Solusi Kontroversi di Kala Pandemi



Oleh : Gumaisha Syauqia Azzalfa

Vaksinasi digadang-gadang akan menyelesaikan penyebaran virus Covid-19 di Indonesia. Saat ini, total sudah ada tiga juta dosis vaksin Covid-19 dari Sinovac di Indonesia yang sedang menunggu emergency used authorization (EUA) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk digunakan dalam program vaksinasi (nasional.kontan.co.id, 03/01/2021).

Vaksinasi Covid-19 dijadwalkan dimulai pertengahan Januari 2021 dan dibagi dua periode, di mana tenaga kesehatan dan lansia menjadi prioritas. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, vaksinasi Covid-19 akan rampung dalam 15 bulan atau selesai pada Maret 2022 mendatang. Pihaknya menargetkan penerima vaksin sampai periode tersebut bisa mencapai 181,5 juta orang yaitu sekitar 67-70 persen penduduk Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk memunculkan herd immunity atau kekebalan kelompok terhadap virus corona. Untuk mencapai target herd immunity, pemerintah menyiapkan 426 juta dosis vaksin (tribunnews.com, 04/01/2021).

Pakar epidemiologi Griffith University, Dicky Budiman menyebut situasi pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini akan memasuki masa kritis. Menurutnya, kondisi Indonesia saat ini dan dalam 3 sampai 6 bulan ke depan memasuki masa kritis, mengingat semua indikator termasuk angka kematian semakin meningkat.

Dicky mengatakan ada pemahaman yang keliru jika masyarakat mengira dengan adanya vaksin semua akan selesai. Sebab vaksin bukan solusi ajaib, melainkan hanya salah satu cara membangun kekebalan individual dan perlindungan masyarakat.

Ia menyebut berdasarkan data sejarah sejauh ini tidak ada pandemi yang selesai dengan vaksin. Ia mencontohkan pandemi cacar, walau sudah ada vaksin, selesainya dalam 200 tahun. Kemudian polio baru selesai dalam 50 tahun. Covid-19 pun sama, bukan berarti setelah disuntikkan langsung hilang. Perlu bertahun-tahun untuk mencapai tujuan herd immunity (tirto.id, 02/01/2021).

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengingatkan masyarakat bahwa vaksin bukanlah obat untuk menyembuhkan Covid-19. "Untuk itu, perlu diberikan pemahaman bagi masyarakat bahwa vaksin bukanlah obat," kata Tito Karnavian di Jakarta, Senin (25/1/2021).

Menurut Mendagri, tujuan utama vaksinasi yakni membangun kekebalan kelompok atau herd immunity. Hal itu hanya akan efektif untuk memutus rantai penularan jika dua pertiga minimal populasi itu memiliki antibodi untuk melawan Covid-19. Pemerintah masih berjuang melawan pandemik Covid-19 yang melanda Indonesia dengan bermacam cara, salah satunya dengan vaksinasi.

Selain itu, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dan mendisiplinkan gerakan "4M" (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, dan menjauhi kerumunan). Prinsipnya, kata Tito, vaksinasi adalah memasukkan antigen Covid-19 ke dalam tubuh untuk memancing kekebalan tubuh agar mengeluarkan antibodi yang spesifik untuk mengenali dan menghancurkan Covid-19.

Mendagri mengakui, Indonesia memiliki tantangan tersendiri untuk mencapai herd immunity karena faktor luas wilayah. "Nah, untuk itu untuk bisa mewujudkan bahwa dua pertiga populasi bisa memperoleh antibodi pada waktu yang sama jelas memerlukan percepatan," ujar dia.

Salah satu upaya percepatan tersebut dengan melakukan mobilisasi dan keserempakan antara pusat dan daerah, baik provinsi maupun kabupaten kota soal vaksinasi. Percepatan di daerah yakni soal menyiapkan infrastruktur di daerah masing-masing, mulai dari fasilitas kesehatan, pengadaan vaksinator, hingga monitoring. "Selain fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, sarana prasarananya yang di-drop dari pusat mana yang kira-kira perlu diadakan oleh daerah. Ada mata anggaran kesehatan sebagai urusan wajib, urusan pemerintah wajib, tolong ini dipersiapkan untuk membantu pemerintah pusat," kata Mendagri.

Di dunia yang kapitalis pada saat ini, sulit untuk mengetahui siapa yang harus dipercaya. Karenanya begitu banyak teori konspirasi, di samping ada keraguan dan skeptisisme.

Allah () berfirman :

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍۢ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَـٰلَةٍۢ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَـٰدِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”. [Surah al Hujurat – 49: 6]

Para politisi dalam masyarakat kapitalis bersikap kompromi dengan memprioritaskan kepentingan bisnis besar di atas kepentingan rakyat jelata. ‘Big Pharma (Farmasi Besar)’ – yaitu perusahaan yang mendominasi perawatan kesehatan di seluruh dunia – memiliki rekam jejak yang menempatkan keuntungan mereka sendiri di atas kepentingan kesehatan masyarakat.

Bahkan organisasi non-pemerintah tidak dipercaya di banyak belahan dunia. Di Pakistan dan Afghanistan, penyakit polio terus berkembang biak dan membahayakan karena program vaksinasi telah dikaitkan dengan lembaga-lembaga luar dan ketakutan akan campur tangan asing. Penduduk harus bisa mempercayai pemerintah mereka untuk mengurus urusan mereka tanpa bertanya-tanya apakah mereka lebih tertarik pada keuntungan korporasi atau kepentingan kekuatan penjajah.

Mempercayai salah satu sumber informasi ini secara membabi buta merupakan suatu kesalahan. Namun, tidak berarti menolak secara membabi buta terhadap semua yang mereka katakan. Sebaliknya, kebijakan dan saran mereka membutuhkan pengawasan dan verifikasi sesuai dengan penilaian terbaik yang dapat kita lakukan – dengan berkonsultasi dengan mereka yang memiliki keahlian jika diperlukan.

Bertanya dan menyatakan kehati-hatian adalah berpikir kritis dan skeptisisme yang sehat. Namun, menyebarkan ide-ide yang salah atau absurd tanpa bukti apapun tidak akan membantu siapapun. Itu akan membuat orang takut secara tidak perlu – dan mungkin malah mencegah mereka mencari perawatan yang sah atau perlu.

Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah () bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ‏

“Cukup seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (Sahih Muslim)

Selain itu, menyebarkan nasihat medis yang palsu tanpa pemahaman yang baik adalah masalah yang sangat serius yang dapat mencegah orang mencari pengobatan yang layak.

Abdullah ibn Amr meriwayatkan: Rasulullah () bersabda,

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

“Siapa pun yang melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki pengetahuan sebelumnya tentang kedokteran akan dimintai pertanggungjawaban.” (Sunan Ibn Majah).

Jadi kami juga mendorong orang-orang untuk tidak mendengarkan desas-desus dengan menelannya mentah-mentah, atau kepada orang-orang yang tampaknya mengira bahwa misi mereka melampaui pertanyaan dan pemeriksaan kesehatan dengan menawarkan nasihat medis mereka sendiri yang salah. Sebaliknya, orang harus mencari nasihat medis terlepas dari kepentingan politik dan komersial, yang akan mempertimbangkan status kesehatan individu dan keadaan tertentu.

Meskipun kita hidup di dunia yang didominasi oleh kapitalisme, terdapat para profesional medis dan ilmuwan independen yang bukan bagian dari pemerintah, ‘Farmasi Besar’, dan suatu kelompok dengan kepentingan tertentu, yang telah mempelajari dan terus mempelajari masalah tersebut. Mereka bukan bagian dari konspirasi masif. Pada akhirnya, Allah lah yang menyembuhkan dan kita mengambil alatnya dan menaruh keyakinan kepada-Nya () setelah melakukan upaya-upaya terbaik kami.

Apakah tidak ada kekhawatiran yang sah tentang cepatnya vaksin ini diberikan izin untuk digunakan kepada publik?

Ya, ada. Terutama karena standar keamanan vaksin harus selalu lebih tinggi daripada obat biasa karena diberikan kepada orang yang sehat dibandingkan dengan obat biasa yang hanya diberikan kepada pasien dengan penyakit tertentu.

Ada beberapa alasan yang mungkin menjelaskan perkembangan pesat penyakit ini.

Pertama, virus SARS-Cov-2 penyebab Covid-19 adalah satu keluarga dengan virus sindrom pernapasan akut parah (SARS) yang diidentifikasi pada tahun 2003 – dan vaksin untuk melindungi dari SARS telah dikembangkan selama bertahun-tahun, yang telah membantu mengembangkan vaksin untuk Covid-19.

Kedua, dalam keadaan normal, pengembangan vaksin bisa lambat karena birokrasi seputar uji klinis, pengawasan regulasi terkait, dan proses otorisasi regulasi untuk digunakan setelah uji coba selesai. Banyak dari hal ini yang telah dipercepat dan sebagian diabaikan karena keadaan luar biasa.

Terakhir, tanggapan aktif pemerintah dalam mendanai pengembangan vaksin sebagian besar dimotivasi oleh kebutuhan untuk melanjutkan ‘bisnis seperti biasa’ bagi ekonomi mereka.

Seseorang dapat dengan sah bertanya bahwa jika lusinan vaksin Covid-19 tersedia dalam beberapa bulan, mengapa tidak ada urgensi yang setara ketika menangani sejumlah penyakit menular yang mempengaruhi negara berkembang? Dimanakah obat malaria, obat demam berdarah dan Ebola, yang kebetulan tidak mempengaruhi ekonomi AS, Inggris dan Eropa? Pendekatan yang kontras tersebut mengungkapkan kenyataan yang menyedihkan bahwa kepentingan nasional lebih penting daripada kehidupan manusia. Semua itu dikatakan karena kurangnya data jangka panjang dan terbatasnya ukuran uji klinis yang merupakan faktor penting dalam menentukan bagaimana meluncurkan program vaksinasi.

Akankah Khilafah ‘memaksa’ penduduk untuk memilikinya, seperti yang diklaim oleh sebagian orang?

Ini adalah argumen palsu karena beberapa alasan.

Sementara Khilafah – seperti pemerintah di mana pun – dapat mewajibkan vaksinasi jika merasa ada kebutuhan kesehatan masyarakat yang luar biasa untuk melindungi masyarakat, sehingga mengira ada pemaksaan masalah yang asalnya adalah mandhub (masalah yang disarankan), menunjukkan pola pikir seseorang yang berpikir sangat sederhana.

Pemerintah pada umumnya – dan Khilafah tidak terkecuali – akan berhasil memenangkan kepercayaan orang daripada mewajibkan hal-hal seperti itu, kecuali dalam keadaan yang paling perlu. Selain itu, karena kekurangan data jangka panjang tentang vaksin ini – bersama dengan fakta bahwa Covid-19 adalah penyakit yang parah hanya pada ~ 5% dari mereka yang terkena dampak, dan tidak signifikan pada ~ 80% orang -dan tidak diketahui sejauh mana vaksin mengurangi transfer virus dari satu orang ke orang lain – dan semua ini berarti akan sangat sulit untuk membenarkan menjadikannya wajib vaksinasi.

Bagaimana dengan bahan-bahan yang diperbolehkan untuk vaksin?

Dibolehkannya isi obat vaksin bukanlah hal baru dalam syari’ah. Ini telah terlihat dalam penggunaan transfusi darah atau pengembangan berbagai obat, seperti insulin di masa lalu.

Akan ada perbedaan pendapat yang sah atas kesimpulan ini – berdasarkan berbagai hal.

Namun, banyak yang telah memahami bahwa Syariah mengizinkan penggunaan hal-hal yang dalam keadaan lain haram sebagai pengecualian dari aturan umum saat digunakan untuk pengobatan suatu penyakit.

Arfajah ibn As’ad meriwayatkan:

«أُصِيبَ أَنْفِي يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَاتَّخَذْتُ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيَّ فَأَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ» “

‘Hidung saya dipotong pada Hari Al-Kulab di zaman Jahiliyyah. Jadi saya mendapatkan hidung baru yang terbuat dari wariq (perak) yang berbau busuk, kemudian Rasulullah memerintahkan saya untuk mengambil hidung yang terbuat dari emas. ” (HR Tirmidzi)

Sementara Anas ibn Malik, semoga Allah meridhoinya, meriwayatkan:

 النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ بِهِمَا

Nabi () memberikan konsesi kepada Al-Zubayr dan Abdur Rahman – semoga Allah meridhoi mereka – untuk mengenakan kain sutra ketika mereka menderita ruam. (HR Bukhari dan Muslim)

Kami menghargai bahwa akan ada perbedaan yang sah – dan bahkan jika sebagian orang percaya bahwa hal itu diperbolehkan, mereka mungkin lebih memilih untuk berpantang sendiri untuk menghindari hal-hal yang dalam keadaan lain adalah haram.

Namun, adalah salah bagi orang untuk melakukan kampanye dengan memberikan informasi palsu tentang bahan-bahan obat – atau memaksakan pandangan mereka sendiri tentang hal ini kepada orang lain yang menerima pendapat Syari’i yang dianut secara luas bahwa penggunaan perawatan semacam itu tidak dilarang.

Allah SWT Yang Mengetahui Yang Terbaik – Dia () adalah Yang menyembuhkan dan mencegah penyakit. Perawatan hanyalah sarana di mana () adalah penyembuhan-Nya, yang mencari dan memanfaatkan keridhoan () Nya. Demikianlah solusi dari Islam yang seharusnya dioptimalkan sembari pemerintah mengupayakan pengadaan vaksin yang benar-benar aman, halal, efektif, dan efisien. Bukan malah mengandalkan vaksinasi sebagai satu-satunya solusi ajaib, dan cenderung meremehkan upaya lain yang sebenarnya juga penting dan genting untuk menghentikan penularan virus Covid-19.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak