The End of Democracy

 



Oleh: Fatimah Azzahra



Rabu, 6 Januari 2021, menjadi hari yang takkan terlupakan bagi Amerika Serikat. Pasalnya pada hari itu terjadi penyerbuan Capitol Hill saat Kongres tengah melakukan penghitungan suara elektoral secara resmi. Kerusuhan terbesar sepanjang sejarah Amerika terjadi. 4 warga dinyatakan meninggal dunia akibat kerusuhan ini. 


Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier mengatakan serangan di jantung demokrasi Amerika menunjukkan betapa rentannya demokrasi, bahkan bagi demokrasi tertua dan paling berpengaruh di dunia. Pendapat senada disampaikan PM Inggris Boris Johnson, “Pemandangan memalukan di Kongres AS. Amerika Serikat mewakili demokrasi di seluruh dunia.” (voaindonesia.com, 7/1/2021)


Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan penyerbuan itu menunjukkan kegagalan serta betapa rapuh dan lemahnya demokrasi Barat. Bahkan, banyak pejabat Gedung Putih mengundurkan diri akibat penyerbuan ini. 


AS sebagai Negara yang dianggap teladan bagi penerapan demokrasi harus menyatakan kekalahannya dalam mempraktekkan demokrasi. Rasa hormat terhadap lembaga negara, tradisi, dan penegakan hukum telah hilang. Catatan hitam penolakan hasil pemilu yang justru tidak ditempuh dengan jalan demokratis. Masihkah berharap pada demokrasi?


How Democracies Die

Bukan hal yang baru, para pengusung demokrasi sendiri sudah meperkirakan bagaimana proses kematian demokrasi. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menuliskan kegelisahannya untuk mempertahankan demokrasi dalam buku ‘How Democracies Die’. Mereka menyatakan bahwa demokrasi tidak mati di tangan pembelot. Justru ia mati ditangan pengusungnya sendiri. Kapankah terjadinya? Jika para pengusungnya ini saling menjatuhkan, memusuhi bahkan menghabisi yang mengkritik. Kebebasan berpendapat dibatasi bahkan dihilangkan jika tak sesuai dengan rezim yang berkuasa. Hingga keberadaan demagog pun diagung-agungkan. Yakni yang rakus akan kekuasaan. Tak terima jika kalah, menjelekkan pihak yang menang. Jika menang mereka akan menggunakan kekuasaan sebagai alat politiknya. 

Seperti potret yang terjadi di Amerika kini. Dua partai besar di Amerika saling Serang, antara Republik dan Demokrat. Saling menjatuhkan satu dan yang lainnya. Dalam hal pemilihan presiden, Republik menuduh Demokrat mencuri demokrasi secara curang, sementara Demokrat memandang Trump rakus akan kekuasaan, tidak mau menyerahkan kekuasaannya secara demokratis. 

Trump sebagai pihak yang berkuasa sebelumnya menggunakan kekuasaannya untuk berlindung dari delik hukum atas kejahatan yang ia lakukan. Mulai dari pelecehan seksual, penggelapan dana pajak, dana kampanye ilegal. Di masanya pun terlihat rasisme kian subur di Amerika sana. Laman media insider mengungkapkan bahwa para pendukung Trump menggunakan simbol-simbol aliansi militer dan rasis. Saat peristiwa penyerbuan Capitol Hill pun terlihat perbedaan yang jauh atas perlakuan satuan keamanan terhadap demonstran dibandingkan dengan saat demo Black Lives Matter. Satuan keamanan terlihat lebih membabi buta dalam menangkap demonstran BLM daripada penyerbuan Capitol Hill yang didominasi oleh orang kulit putih. Sebuah pertanyaan besar bagi negara kampiun demokrasi yang mengusung pluralisme dan liberalisme yang faktanya masih berperilaku rasis. 

Sebenarnya bukan hanya Trump yang jadi penjahat dalam hal ini. Biden yang terlihat lebih baik pun sama saja dengan Trump. Bedanya, Biden melancarkan aksinya seperti pendahulunya, Obama, yang terkesan lebih soft tidak grasa grusu dan emosional seperti Trump. Biden dipastikan akan melanjutkan kebijakan Obama yang sempat ditinggalkan Trump, menjerat dunia luar dengan perjanjian atau konvensi internasional demi kepentingan Amerika. Jadi, baik Trump yang republikan dengan hard powernya atau Biden yang demokrat dengan soft powernya sama-sama berbahaya bagi dunia, tak terkecuali Indonesia, karena mengancam kedaulatan negara lainnya.




Perubahan Hakiki

Perubahan yang kita songsong adalah perubahan hakiki, bukan hanya berputar pada siapa yang memimpin tapi dengan apa kita dipimpin. Sebagai muslim, sudah selayaknya kita jadikan Rasul teladan dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam bernegara. Rasul contohkan untuk menerapkan Islam secara kaffah dalam institusi negara. Tak bisa dengan demokrasi. Dan salah satu tahap perubahan hakiki ini adalah dengan pergolakan pemikiran. Agar umat sadar, mana yang haq dan batil. Tahapan penting dalam shiroul fikr ini adalah mengganti mafahim, maqayyis, dan qanaat umat yang masih bukan islam menjadi islam. 

Belajar dari fenomena yang terjadi di Amerika dan betapa sadarnya mereka akan pentingnya filosofi, kultur dan histori, mengingatkan kita akan pentingnya mafahim sebagai filosofi, maqayis sebagai standar akan kultur, dan qanaat. Sehingga dakwah yang dibutuhkan umat dalam menegakkan islam adalah dakwah yang bersifat pemikiran dan politik untuk menanamkan mafahim, maqayyis, dan qanaat ini. 

Dalam kitab Dukhul Mujmata dikatakan bahwa penting bagi syabab untuk memahami realitas pemikiran yang tengah terjadi dengan gambaran yang jelas. Wajib bagi syabab untuk memahamkan umat tentang realitas tersebut dalam bentuk yang diindera dan mencolok. Sehingga umat akan benci dan tak sudi hidup di dalam sistem kufur ini. Bahkan menggulingkan penguasa dan mengambil alih kekuasaan dengan hasil dominasi pemikiran islam pada umat. 

Sebagaimana kita pahami bahwa manusia bertindak sesuai pemahamannya. Maka, pemikiran pada umat yang menghantarkan pada pemahaman akan mempengaruhi perilaku umat. Pandangan umat pada kehidupan pun bisa berubah, sesuai dengan islam. Termasuk pandangan tentang kemaslahatan. Jika umat sudah memiliki pandangan yang sama tentang kemaslahatan, maka mereka akan mengangkat orang untuk mengatur dan memelihara kemaslahatan mereka. Atau jika tidak, mereka akan berdiam diri, Ridho terhadap orang yang memimpin untuk mewujudkan kemaslahatan mereka. 

"Dari sinilah maka pertama kali harus dimulai dengan mewujudkan pemikiran yang mengandung kumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah tentang kehidupan. Lalu terjadi proses penerimaan terhadap kumpulan pemahaman, standardisasi dan qana’ah tersebut oleh sekelompok orang, atau oleh kelompok yang paling kuat di tengah-tengah masyarakat sehingga negara berhasil diwujudkan secara alami dan pasti." - An Nabhani

Ustadz menjelaskan bahwa perubahan pemikiran masyarakat bisa melahirkan negara. Kita harus memperhatikan pemikiran yang mendasari lahirnya negara. Pemikiran yang seperti apa? Yakni mafahim, maqayyis, dan qanaat islam. Dan ini kembali ditegaskan oleh Ustadz Abdul Qadim Zallum dalam Mitsaqul Ummah bahwa negara adalah institusi pelaksana bagi sekumpulan mafahim, maqayyis dan qanaat yang telah diterima umat. 

Bagaimana tahapannya? Mulai dari merubah aqidah. Karena aqidah adalah pemikiran asas yang mendasari semua pemikiran termasuk m2q. Sebagaimana kita ketahui bahwa aqidah masyarakat masih sekuler, maka kita harus merubah aqidah masyarakat menjadi aqidah islam. Kemudian, menjadi tugas pengemban dakwah untuk memahami realita yang ada dan menjelaskannya dengan jari jemari kepada masyarakat. Sehingga masyarakat memahami makna, dan realitas. Namun, tak cukup sampai disitu, pengemban dakwah pun harus bisa membuat masyarakat ikut membenarkan pemahaman tersebut. Barulah menjadi mafahim. 

Contohnya, ada pemikiran bahwa demokrasi adalah sistem kufur dan menegakkan khilafah adalah suatu kewajiban syar'i. Jika seseorang sudah memahami hakikat demokrasi yang kufur, hakikat khilafah, telah memahami dalil-dalil yang mewajibkan penegakkan khilafah, lalu ia membenarkan, maka itu sudah menjadi mafhum baginya yang akan mempengaruhi tingkah lakunya. 

Begitu pula dengan maqayyis. Kita menjadikan islam sebagai standar, kaca mata dalam menilai suatu perbuatan. Dan ini juga yang disebarkan di tengah umat. Sehingga umat bisa menilai apakah kini ia hidup dalam sistem yang menyimpang dari islam atau tidak. Sementara qanaat akan terbentuk kepuasan dan penerimaan yang mantap pada diri setelah memahami dan membenarkan. Ustadz Taqiyuddin An nabhani menjelaskan dalam kitab Dukhul Mujtama' bahwa qanaat bisa hadir di tengah masyarakat karena adanya gambaran yang jelas akan suatu pemikiran, atau karena pemikiran itu mempunyai realitas yang dapat diindera dan dirasakan, atau karena adanya kesesuaian yang sering terjadi antara pemikiran dengan realitasnya, atau karena seringnya terjadi pengulangan (katsrah at-takrar), sehingga akhirnya terwujud pembenaran yang meyakinkan akan suatu pemikiran. Semua ini sebenarnya berfokus pada suatu hal, yaitu adanya argumen/bukti (dalil), untuk melahirkan qanaat.

Dari sini terlihat peran penting partai yang hendak mengubah kondisi masyarakat, yakni dengan menyampaikan pemikiran-pemikiran baru bagi masyarakat (Islam), lalu mengolah pemikiran ini agar menjadi mafahim, maqayyis dan qanaat. Menjelaskan dengan tashdiqul jazm melalui pemahaman makna dan argumentasi yang bisa diindera masyarakat. 

Jika semua proses ini berjalan dengan baik, dan sebuah kelompok kuat dalam masyarakat menerima sekumpulan mafahim, maqayis, dan qanaat yang ditawarkan, maka lahirnya sebuah negara baru hanya tinggal masalah waktu. Atau dengan kata lain, hancurnya negara yang lama juga tinggal masalah waktu. 


Janji Allah itu pasti, tak perlu diragukan lagi. Yang kembali jadi catatan bagi kita adalah bagaimana kita menyongsong kemenangan yang Allah janjikan. Patutulah kita teladani sikap Nabiyullah Muhammad saw. Walau posisinya sebagai Rasul Allah, Imam kaum muslim, kekasih Allah tak lantas membuat Nabi berleha-leha dalam beramal, mendakwahkah Islam, menegakkan diinullah. Nabi selalu bersungguh-sungguh dalam beramal. Mari kembali luruskan niat, pupuk semangat berjuang di jalan Allah ini. Semoga Allah turunkan pertolongan melalui perjuangan yang kita lakukan. Aamiin. 

Wallahua'lam bish shawab. 


45Zahra

Ibu, Istri, Anak, Pribadi pembelajar yang sedang suka menulis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak