Oleh : Desi Anggraini
(Pendidik Palembang)
Presiden Joko Widodo meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) di Istana Negara. Kala itu, Jokowi mengungkapkan pemanfaatan wakaf uang tak hanya terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi juga sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, harapannya bisa memberikan dampak pada pengurangan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial di masyarakat.
"Kita perlu perluas lagi cakupan pemanfaatan wakaf, tidak lagi terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi dikembangkan untuk tujuan sosial ekonomi yang memberikan dampak signifikan bagi pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden. ( Kompas.com, Sabtu ,30/01/2021)
Di tengah ketidakmampuan sistem kapitalisme mengurai problem ekonomi, mereka melirik Islam sebagai solusi penyelamatan ekonomi. Sebenarnya lucu dan sangat menggelikan, sebab rezim ini kerap menyudutkan syariat Islam, termasuk menuduh Islam sebagai agama intoleran, anti-Pancasila, dan tidak layak diterapkan di zaman modern seperti saat ini.
Namun begitu menyadari potensi wakaf yang bisa menyentuh angka triliunan, mereka seolah amnesia dengan kriminalisasi ajaran Islam yang kerap mereka lakukan. Transformasi wakaf seolah menjelma jadi bahasa lain dari modernisasi wakaf.
Tidak mau disebut anti syariat Islam, Menkeu bahkan membahasakan bahwa nilai-nilai yang terpancar dari wakaf sendiri amat lekat dengan nilai kearifan lokal masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.
Tebang pilih pengadopsian syariat ini seolah mendudukkan Islam sebagai “agama prasmanan”. Menggaet apa yang menguntungkan, ditinggal apa yang dianggap merugikan.
Jiwa sekuler yang merasuki pemimpin negeri ini membuat mereka tak malu mengambil satu syariat, seraya meninggalkan syariat Islam yang lainnya.
Hanya saja patut disadari, sebagaimana syariat Islam yang lain, wakaf tidak cukup dicanangkan karena alasan manfaat, maslahat, nilai sosial, keuntungan ekonomi, atau hal lain. Syariat Islam wajib ditegakkan atas dasar nas entah itu bersumber dari Al-Qur’an,sunah, Ijmak, maupun Qiyas, sebab setiap perbuatan yang dilakukan seorang hamba wajib terikat pada hukum syara’.
Kemaslahatan bukanlah dalil ditegakkannya perbuatan. Jadi sangat disayangkan jika pengadopsian wakaf semata didasarkan atas kemaslahatan dalam rangka penyehatan ekonomi nasional.
Jika melihat syariat Islam hanya didasarkan atas kemaslahatan semata, wajar saja pemerintah hanya mengadopsi sebagian ekonomi Islam. Terlebih alasan bahwa wakaf mengajarkan nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial lebih menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengurusi rakyatnya.
Pemerintah tak mampu lalu diserahkan ke rakyat, itulah realitasnya atas nama “saling menolong”. Parahnya lagi, syariat dikapitalisasi untuk menutup ketakbecusan pemerintah memenuhi kebutuhan rakyat. Inilah akibatnya saat ekonomi Islam hanya dipahami secara parsial.
Padahal, Islam memiliki seperangkat hukum yang khusus terkait ekonomi. Sumber-sumber pendapatan negara dalam Islam bahkan telah diatur berdasarkan nas. Ada fai’, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah sebagai pemasukan dari harta milik umum. Selain itu ada pemasukan dari harta milik negara yakni usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat.
Seluruh pemasukan dari harta milik umum maupun negara ini diletakkan di Baitulmal yang pembelanjaannya sepenuhnya dikelola negara. Sebab, semuanya adalah syariat Islam yang wajib diterapkan negara, dan sepanjang sejarah penerapan syariat Islam, tidak ditemukan penerapannya kecuali oleh institusi negara yakni Khilafah Islamiyah.
Oleh karena itu, jika pemerintah berkomitmen untuk terus mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah, tidak cukup memilah dan memilih syariat yang dianggap membawa maslahat.
Sudah selayaknya komitmen itu dibarengi dengan penerapan sistem Islam secara kafah dalam bingkai sistem Khilafah yang telah terbukti menerapkan sistem ekonomi Islam secara total hingga mampu menyejahterakan manusia di dua per tiga belahan dunia.
Wallahu a'lam bishawab