Oleh : Yeyet Mulyati
(Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)
Pemerintah mengeluarkan aturan terkait pemerintah daerah dan sekolah negeri soal seragam beratribut agama. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri itu menyatakan, pemda maupun sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama. SKB tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Melansir dari kolom Bimbingan Syariah website resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Senin (29/6/2020), dijelaskan bahwa kata jilbab berasal dari bahasa Arab yang berarti penghalang, penutup dan pelindung, sarung, kemeja, kerudung/selendang. Sedangkan pengertian jilbab menurut istilah, al-Qurthubī mengatakan, jilbab adalah pakaian yang lebih besar dari kerudung yang dapat menutupi seluruh badan perempuan.
Dari pengertian menurut bahasa dan istilah yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa jilbab adalah pakaian perempuan Islam yang dapat menutup aurat yang diwajibkan oleh agama untuk menutupnya, guna kemaslahatan perempuan dan masyarakat dimanapun ia berada.
Kontroversi penggunaan jilbab ini tidak lepas dari sikap rezim yang anti Islam, dari fakta rekam jejak rezim yang selama ini sangat anti Islam/Islamophobia. Karena bukan hanya jilbab saja yang dipermasalahkan, banyak istilah-istilah syar'i yang sebetulnya itu adalah ajaran Islam yang oleh rezim saat ini dipermasalahkan dan bahkan akan dihapus dari ajaran Islam.
Rezim yang anti Islam ini, sebenarnya adalah bagian dari agenda besar orang-orang kafir barat dalam memerangi Islam. Untuk mewujudkan semua itu kemudian barat menggunakan tangan rezim yang sedang berkuasa sebagai bonekanya.
Kisahnya, pada tahun 2004, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan Islamophobia menulis sebuah artikel berjudul “Rand Corporation and Fixing Islam”. Dalam tulisannya tersebut, Pipes mengaku senang. Harapannya untuk memodifikasi Islam berhasil diterjemahkan dalam sebuah strategi oleh peneliti Rand Corporation, Cheryl Benard. Oleh Benard, misi ini ia sebut dengan istilah religious building, upaya untuk membangun agama Islam alternatif. Sebelumnya, Cheryl Benard, yang berdarah Yahudi ini pernah mencetuskan ide untuk mengubah Islam menjadi agama yang pasif dan tunduk kepada Pemerintah AS. Serangkaian strategi pun dirancang dan dituliskan. Ia memaparkan konsepnya itu dalam buku berjudul “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies.” Mereka ingin mengubah Islam, karena ajarannya yang murni tidak akan mengizinkan non-Muslim mengendalikan umat Islam, sumber daya mereka, tanah mereka, atau kekayaan mereka. Bagi mereka ini adalah masalah besar. Pertanyaannya, bisakah Amerika meyakinkan kaum Muslimin di seluruh dunia untuk menerima “Islam ala Rand” ini? Tidak. Rand Corporation pun telah mengakui hal ini. Mereka meyakini bahwa umat Islam telah kehilangan kepercayaan kepada Amerika. AS kalah dalam perang gagasan di dunia Islam, gagal mempromosikan kebijakannya kepada umat Islam yang waspada terhadap niat dan kemunafikan Amerika, menurut penasehat Pentagon. Maka dari itu, Rand Corp menyatakan bahwa dalam program ini tangan Amerika harus disembunyikan.
Sementara, boneka Muslim yang dipilih dengan hati-hati harus berada di garis depan untuk mengantarkan Islam versi baru ini. Bagi mereka, mitra ideal untuk menjalankan pekerjaan ini adalah Muslim dari ‘dalam’ komunitas umat Islam yang akan bekerja untuk kepentingan Amerika. Rand melabeli mereka sebagai kaum ‘modernis/moderat’. Ciri dari kelompok modernis ini, menurut Benard, adalah keinginan untuk “memodernkan dan mereformasi Islam, agar sejalan dengan zaman.”
Lalu, bagaimana mereka mampu menjalankan misi dari pemerintah AS tersebut?
Pertama, Rand merekomendasikan agar Muslim yang memahami Islam sejati dan ingin menerapkan Syariat Islam disingkirkan, dengan melabelinya sebagai fundamentalis dan ekstremis, pengecut dan pengacau. Rand memberi saran kepada Amerika untuk mendiskreditkan dan menghina para pengikut Islam sejati.
Setelah menyingkirkan kelompok “fundamentalis”, AS akan mengangkat kaum modernis sebagai role model dan pemimpin Islam. Mereka memberikan dukungan kepada kaum modernis, apapun yang mereka minta, antara lain dengan mengontrol sistem pendidikan, pendanaan, liputan media, sehingga kaum modernis bisa menyingkirkan halangan yang menghambat dominasi Amerika.
Agar pesan-pesan dan narasi tersebar lebih efektif, mereka menyarankan penggunaan tokoh agama yang bisa digalang untuk menyebarkan Islam alternatif ini. Untuk medianya penyebarannya, dilakukan mulai dengan menggunakan media sosial, televisi, film, radio, media cetak, komik, buku, hingga kegiatan-kegiatan diskusi.
Terakhir, sebagai tambahan informasi, dalam bukunya yang berjudul “Islamophobia and the Politics of Empire”, Prof. Deepa Kumar menjelaskan tentang dua skenario Islamofobia yang, menurutnya, berakar dari narasi Paus Urbanus pada saat Perang Salib. Saat itu, Paus membangun narasi yang menggambarkan Islam dan Nabi Muhammad Saw. dengan begitu buruk. Hal ini dilakukan untuk memobilisir warga Eropa agar mau melakukan perang Salib dan untuk mencegah mereka dari masuk Islam.
Kumar menjelaskannya dengan istilah Islamophobia konservatif dan Islamophobia liberal. Istilah Islamophobia konservatif mungkin cukup familiar bagi kita. Ialah mereka yang memandang bahwa Islam secara instrinsik adalah agama yang buruk, musuh bagi kemodernan, kebebasan, dan semacamnya.
Sementara Islamophobia liberal, jelas Kumar, dilabelkan kepada mereka yang muncul dalam retorika lebih lembut. Meski sebenarnya tidak kalah jahat. Mereka membagi adanya “Good Muslims” dan “Bad Muslims”. “Good Muslims” adalah umat Islam yang mau bekerja untuk Barat. Kumar menganalogikan pendekatan Islamophobia liberal sebagai “penjajahan berbulu domba”.
Jadi, jika hari ini kita mendapati begitu banyak fenomena industri kebencian pada Islam dan ajarannya, dengan berbagai tingkatannya, tidak perlu heran. Ada sebuah skenario global yang sangat besar dengan dana milyaran dolar yang saat ini sedang dijalankan, sebagai tindak lanjut dari kebencian ratusan tahun yang bermula dari Perang Salib di masa lalu.
Pertanyaannya, di posisi mana kita berada?
Apakah kita akan berada dibarisan yang menentang dakwah Islam kafah atau yang membela Islam kafah?
Wallohu'alam bishawab.
Tags
Opini