SISTEM SEKULER MEMBUAT KORUPSI TUMBUH SUBUR




Oleh: Ratna Juwita

Kronologis Korupsi Bansos

Setelah ramai Tagar Tangkap Anak Pak Lurah, kini Tagar Madam Bansos menjadi salah satu trending topic Twitter pada Kamis (21/1/2021) malam. Mengutip informasi dari IDN Times, Madam Bansos disebut-sebut sebagai petinggi PDI Perjuangan yang diduga menerima bagian terkait kasus suap bansos. Warganet juga penasaran siapa yang dimaksud Madam Bansos tersebut.

Sebelumnya, dua politisi PDI Perjuangan disebut-sebut menerima kuota terbesar terkait proyek bansos untuk wilayah Jabodetabek. Dilansir dari laporan investigasi Koran Tempo edisi Senin 18 Januari 2021, mereka adalah Herman Hery dan Ihsan Yunus. Total kuota proyek bansos yang diduga diterima keduanya mencapai Rp3,4 triliun.

Kasus ini berawal dari adanya pengadaan bansos penanganan COVID-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2020, dengan nilai Rp5,9 triliun. Kemudian ada 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua periode.

Juliari Batubara menunjuk Matheus dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk melaksanakan proyek tersebut. Mereka menunjuk langsung para pihak yang menjadi rekanan.

Pada Mei hingga November 2020, Matheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan. Di antaranya Ardian, Harry dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus. Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan juga diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi Wahyono.

Selain itu, Juliari juga diduga menerima suap sebesar Rp17 miliar. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, Juliari diduga menerima uang sebesar Rp8,2 miliar. Sedangkan periode kedua, Juliari diduga menerima uang Rp8,8 miliar.

Demokrasi Sekuler Membuka Ruang Korupsi

Fakta diatas dan sederet fakta lainnya yang berkaitan dengan kasus korupsi dana bansos Covid maupun kasus korupsi lainnya, menegaskan bahwa korupsi bukan hanya dilakukan oleh oknum namun telah terjadi secara sistemik.

Sistem sekuler yang menjadi landasan Demokrasi telah terbukti justru membuka ruang bagi korupsi secara TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif). Demokrasi sekuler yang menjunjung tinggi kebebasan mengakibatkan seseorang bebas melakukan apa saja. Demi meraih keuntungan dan kepentingan individu atau kelompok mereka bebas berperilaku menghalalkan segala cara, dan menabrak rambu-rambu agama dan moralitas. 

Nilai sekularisme telah mematikan hati nurani. Bagaimana mungkin para koruptor bisa "menari" diatas penderitaan rakyat saat pandemi ini?! Apakah mereka yang sejatinya mengemban amanah pengurusan rakyat sudah tak punya hati? Kejam dan zalim, itu barangkali kata yang pantas disematkan bagi mereka.

Menurut Prof. Steven Levitsky dan Prof. Daniel Ziblatt dari universitas Harvard dalam bukunya yang menjadi viral, "How Democrasis Die" salah satu ciri matinya demokrasi adalah hilangnya moralitas.

Faktanya demokrasi memang tak memiliki tata nilai moral, apalagi landasan sekulernya menafikan peran agama khususnya islam yang memiliki aturan hidup menyeluruh. Ciri khas demokrasi adalah memanfaatkan kekuasaan (abuse of power) untuk meraih kepentingan, tidak peduli disaat rakyat menjerit butuh bantuan karena terimbas pandemi COVID 19, walhasil dananya pun di"embat". Maka jelas sistem sekuler membuat korupsi tumbuh subur, bahkan dilakukan secara berjamaah.

Sia-Sia Berharap Penuntasan Korupsi pada Demokrasi

Berharap menghapus korupsi sampai ke akar-akarnya pun hanya sia-sia. Menanti sikap tegas dan transparan  Lembaga "anti rasuah" KPK sungguh sulit, apalagi lembaga ini rentan terintervensi kekuasaan. Apalagi ini terkait partai besar pemegang kekuasaan rezim. Rakyat sudah skeptis korupsi bansos ini akan terang benderang. KPK dinilai tak cukup ampuh menindak pelaku apalagi berharap bisa menciptakan iklim anti korupsi. Sebab akar masalahnya ada pada penerapan sistem demokrasi sekuler itu sendiri.

Harapan Hakiki Hanya pada Islam

Kebuntuan penuntasan korupsi oleh demokrasi sekuler kian nyata. Negri zamrud khatlustiwa ini terpuruk dengan predikat negara terkorup nomor tiga di dunia. Sementara berharap pada KPK menemui awan gelap. Korupsi sudah mengakar, dan urat malu korupsi oleh para pejabat sudah putus! Sudah sepantas negri muslim terbesar di dunia ini kembali pada islam. Bagaimana islam menuntaskan masalah korupsi sampai ke akar-akarnya.

Dalam Islam, untuk memberantas korupsi yang pertama adalah dengan membangun atau menanamkan mental individu. Aqidah Islam yang kuat akan melahirkan mental individu yang kuat pula. Para pejabat tidak akan mudah tergiur dengan hadiah, suap, dan yang lainnya.

Kedua, penciptaan lingkungan yang kondusif. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Ada kontrol masyarakat melalui amar ma'ruf nahi munkar.

Ketiga, sistem kerja Lembaga yang tidak rentan korupsi. Dalam hal ini dibutuhkan teladan dari para pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwanya pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Keempat penegakan sanksi yang menjerakan. Pada galibnya (umumnya, red.), orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Penegak hukum harus independen tidak bisa di intervensi. Rasululloh sendiri yang mencontohkan keadilan hukum. "Kalau fatimah putriku mencuri aku sendiri yang akan memotong tangannya".

Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir  berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Demikianlah, sesungguhnya sistem Islam adalah solusi terbaik yang layak dipakai ketika semua solusi pemberantasan korupsi dalam sistem kapitalisme sekuler sudah tidak mempan lagi.

Wallahu alam bi shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak