Simalakama Aturan Seragam Sekolah




Oleh: Eqhalifha Murad
(Founder Komunitas Muslimah Syar’i Hijrah Kaffah, pemerhati Sosial dan Politik Islam)

Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandikan Kitabulah... dek niro satitiak rusak susu sabalango?

Melansir Republika.co.id 20/ 02/2021 sejumlah Ormas Islam di Sumatera Barat (Sumbar), seperti NU, Muhammadiyah, Perti dan lainnya yang dihimpun oleh MUI Sumbar menyatakan menolak penerapan SKB 3 Menteri yang mengatur pakaian seragam siswa sekolah. Hal tersebut disampaikan langsung kepada pimpinan DPRD Sumbar karena dianggap mengganggu sendi budaya dan kearifan lokal masyarakat Sumbar, bertentangan dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 dan Pancasila sila 1.

Seperti yang sudah diketahui bahwa SKB 3 Menteri ini memuat ketentuan pemerintah daerah dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan atau tanpa kekhususan agama dalam waktu 30 hari sejak SKB dikeluarkan kecuali untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Tentu saja hal ini memunculkan polemik dari sejumlah ormas Islam , lembaga keagamaan, lembaga adat, politisi, kalangan pendidikan, tokoh masyarakat dan lain-lain. Mereka menuntut agar SKB tersebut dicabut atau direvisi, namun belum mendapat tanggapan sampai saat ini. 

Sebelumnya SKB ini adalah respon terhadap sebuah video yang viral sebelumnya di media sosial tentang orang tua murid SMK 2 Padang yang merasa keberatan anaknya diwajibkan memakai seragam jilbab kesekolah karena bertentangan dengan keyakinan agamanya. Padahal menurut pengakuan kepala sekolah tidak ada unsur pemaksaan, bahkan banyak siswa non muslim lainnya disekolah tersebut mau dengan suka rela memakai jilbab karena merasa nyaman dan aman dengan seragam tersebut.

Ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas dalam hal ini yaitu: pertama, SKB terkesan grasah grusuh tanpa analisa yang benar. Hanya karena laporan satu orang tiga menteri langsung turun tangan. Seolah-olah ada masalah yang sangat besar. 

Padahal kejadian yang sama juga terjadi di Bali ketika siswi dipaksa untuk menanggalkan jilbab namun dibiarkan saja begitu lama dan tidak dikatakan intoleransi. Sedangkan peraturan seragam jilbab di Sumbar sudah lama berlaku sejak tahun 2005 yaitu 15 tahun, baru dipermasalahkan sekarang, kenapa? Ada kesan masalah ini sengaja di setting dan di blow up, terlihat dari respon yang cepat sekali dari pihak pemerintah.

Hal ini mengkonfirmasikan dan mengukuhkan akan besarnya keinginan pemerintah untuk menjadikan negeri ini sebagai negara sekular yang memisahkan agama dengan kehidupan.

Kedua, selain settingan bisa juga pengalihan isu akan bobroknya tata kelola negara saat ini. mulai dalam mengatasi pandemi covid, termasuk bencana yang beruntun melanda tanah air sejak awal tahun, resesi ekonomi yang tidak kunjung selesai bahkan semakin parah karna hutang negara semakin tinggi.

Kasus korupsi seperti dana bansos dan lain-lain harusnya membuat negara menyerukan agar muhasabah bersama kembali kepada syariat tentang bagaimana mengatasi wabah penyakit. Mencegah dan mengatasi bencana dengan kembali kepada syariat dan bertobat. 

Berpikir mustanir bagaimana mengambil sistem ekonomi Islam bukannya malah mengkriminalisasi dinar dan dirham atau menghapus syariat yang lain yang kurang menguntungkan dengan alasan keberagaman dan toleransi. Hanya lantaran satu orang berdampak kepada seluruh sekolah. 

Gara-garaa HAM sekelompok orang mengalahkan HAM kelompok lain yang juga dijamin oleh undang undang dalam menjalankan agamanya. Kemudian main ancam, bukannya membina tapi malah membinasakan dan akhirnya berubah jadi otoriter. Apalagi mengancam memberi sanksi akan menahan dana Bos yang jelas-jelas adalah hak sekolah.

Ketiga, adanya politisasi jlbab dari kalangan liberal dan pihak yang anti syariah untuk memojokkan umat Islam. Modus SKB keroyokan ini menjadi tren kekinian penguasa untuk melegitimasi pengebirian syariah. Akhirnya Islamophobia akut kembali dilancarkan dan menyasar kaum muslim sendiri. Sikap moderatpun akhirnya ditancapkan ke dalam pikiran kaum muslimin dalam beragama, sehingga menjauhkan mereka dari ajaran Islam yang kaffah.

Keempat, sistem kapitalisme liberal yang bercokol di benak penguasa saat ini telah meniscayakan aturan yang dipandang moderat ini sebagai jalan tengah yang terbaik. Dalam sistem ini kemerdekaan individu (baca: kebebasan individu) sangat dijunjung tinggi. 

Apapun akan dilakukan tanpa memandang halal dan haram. Masyarakat hanya di pandang sebagai unsur yang terdiri dari individu, yang apabila tejadi pergesekan diantara mereka barulah dibuat peraturan yang hanya bersifat pragmatis. 

Aturan yang tidak solutif dan selalu menimbulkan persoalan baru. Masyarakat yang hidup dalam sistem ini akan selalu menemukan kegagalan dalam setiap pengaturan kehidupannya. Peraturan kerap tidak mampu menyelesaikan masalah dan kontradiktif satu sama lain dan terjebak dalam lingkaran setan labirin.

Kelima, demokrasi menjadi biang kerok tidak bertahannya syariah, karena demokrasi hanya berkhidmat kepada manusia bukan kepada Pencipta. Dengan simbolnya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat dan dengan HAMnya. 

Hak azazi manusia yang meminggirkan hak Rabnya atas penciptaannya yang seharusnya menghamba hanya kepadaNya bukan kepada manusia. Toleransi di dalam negeri demokrasi hanyalah mimpi, aturannya ambigu dan tidak memihak kepada islam. Aturan jilbab tidak mau tapi aturan lain yang menguntungkan saja yang diambil, contohnya wakaf yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Ini bukti bahwa seluruh syariat Islam tidak akan pernah tegak dalam sistem demokrasi.

Jilbab adalah solusi bukan sumber masalah, dengannya wanita manapun akan terjaga kehormatannya dan terhindar dari pandangan mata yang merusak. QS. Al-Ahzab ayat 59 yang artinya:

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." 

Namun solusi ini dianggap masalah bahkan dianggap sebagai pengekangan terhadap wanita. Padahal jilbab juga diwajibkan oleh ajaran agama lainnya, yakni agama-agama samawi, namun penganutnya mengingkarinya. Sedangkan di dalam Islam jilbab adalah kewajiban bukan atribut.

Bahkan jika seorang muslimah tidak mempunyai jilbab maka muslimah yang lain harus meminjamkannya. Dari Ummu 'Athiyyah radhiyalahu'anha menyatakan," Kami diperintahkan agar ikut salat Ied , bahkan harus membawa serta gadis dan perempuan yang haid. Mereka ditempatkan di belakang jamaah, menjauhi tempat shalat mereka. Wanita itu bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah tidak masalah jika seorang di antara kami yang tidak memiliki jilbab ikut keluar?" Rasulullah SAW menjawab, "Pakaikanlah kepadanya jilbab milik saudarinya lalu bawalah dia untuk menghadiri kebaikan dan ikut berdoa bersama kaum mukminin," (HR Bukhari).

Syariat Islam akan bisa diterapkan keseluruhan hanya dalam sistem Islam. Yakni sistem unggul yang pernah bertahan sampai berabad lamanya. Menjunjung tinggi toleransi, bukan toleransi yang moderat yang mencampurkan hak dan batil. 

Sistem yang akan menjaga ketaqwaan individu, masyarakat dan negara sehingga menjadi rahmat bagi muslim dan non muslim. Aturan jilbab dilaksanakan muslimah sebagai wujud penghambaannya kepada robnya. Sedangkan aturan jilbab kepada non muslim adalah dalam rangka taat kepada negara yang menerapkan aturan tersebut.

Negara yang mengambil syariat Islam totalitas sebagai aturan kehidupan bernegara niscaya akan merasakan ketentraman dan kedamaian karena syariat diturunkan untuk menjaga masyarakat dan individu bukan untuk merusak. 

Sekarang saatnya anda tentukan kemana harus berpihak, sehingga aturan ini tidak menjadi buah simalakama. Sebagai muslim tidak ada pilihan dalam melaksanakan kewajiban. Wallahua’lam bishowab.

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak