Oleh : Ressa Ristia Nur Aidah
Wacana merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) bergulir setelah Presiden Joko Widodo meminta agar implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan. Jokowi mengaku akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU tersebut jika implementasi UU ITE yang berkeadilan itu tidak dapat terwujud.
Jokowi bahkan mengatakan akan meminta DPR menghapus pasal- pasal karet yang ada di UU ITE karena pasal-pasal itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut. Revisi UU ITE sebetulnya bukan pertama kali ini saja bergulir. Pada 2016, DPR telah merevisi UU tersebut dengan mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Akan tetapi, revisi saat itu tidak serta merta mencabut pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet. Pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian. [Nasional.kompas.com 17-02-2021]
Pengamat menilai, saat ini negara mengarah ke otoritarianisme yakni sebuah pemerintahan otoriter, dengan beberapa indikasi. Pertama, masifnya buzzer. Orang yang kritis diserang oleh buzzer, dengan berbagai macam cara. Dan ini banyak terjadi, ketika orang mengkritik langsung diberi label intoleran, anti-Pancasila, anti-NKRI, radikal, dan sejenisnya. Kalau tidak, mereka yang kritis diserang secara verbal baik individunya ataupun profesinya.
Kedua, teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. Ketiga, terdapat UU ITE yang memiliki karakter pelembagaan buzzer, dan sudah banyak sekali korbannya. Revisi UU ITE ini bukanlah untuk memberi ruang bagi kritik rakyat atas kebijakan, justru bisa menjadi cara rezim makin membungkam sikap kritis masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan keliru yang ditetapkan oleh pemerintah.
Mereka yang merasa diuntungkan dengan kehadiran UU ITE ini adalah pemerintah, pengusaha, dan pejabat negara. UU ITE itu ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Sekali terjerat UU ITE, kritik dapat dibungkam, suara oposisi berkurang, dan kebijakan pun melenggang tanpa hambatan.
Lain halnya dengan Islam. Islam menempatkan kritik masyarakat sebagai fitrah bagi penguasa. Penguasa dikritik oleh rakyat atas kebijakannya itu suatu hal yang wajar. Justru dengan adanya kritik, penguasa bisa bermuhasabah serta memperbaiki kinerjanya dalam mengurusi urusan umat dan Negara.
Dalam Islam, kritik rakyat bagi penguasa adalah keniscayaan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah dikritik anaknya sendiri lantaran beristirahat sejenak di kala masih banyak rakyatnya yang terzhalimi. Pengaduan rakyat terhadap sikap penguasanya yang belum menegakkan hukum secara adil juga pernah dialami Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash. Ia diadukan kepada Khalifah Umar lantaran hukuman yang diberikan Amr kepada putra Khalifah, yaitu Abdurrahman dan temannya tidak sesuai aturan yang ada.
Di sistem Islam, kritik biasa terjadi. Kritik rakyat tersampaikan melalui Majelis Umat, yaitu bagian dari struktur pemerintahan Khilafah yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat meminta nasihat bagi khalifah dalam berbagai urusan. Kritik dalam Islam terwujud dalam aktivitas dakwah amar makruf nahi munkar. Yaitu menasihati dalam kebaikan, mengoreksi kebijakan penguasa, dan mencegah kezaliman serta kemungkaran.
Dari Tamim ad-Dari (diriwayatkan), bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum awam mereka.” (HR Muslim)
Dalam hadist yang lain juga dikatakan, “Siapa saja yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
Dengan kritik dan pengaduan rakyatlah, penguasa akan terselamatkan dari sikap zhalim dan mungkar. Sebab, penguasa di sistem Khilafah akan menyadari besarnya pertanggungjawaban mereka kelak di akhirat.
Tags
Opini