(Oleh : Rantika Nur Asyifa)
Wacana merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ) bergulir setelah Presiden Joko Widodo meminta agar implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan. Jokowi mengaku akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU tersebut jika implementasi UU ITE yang berkeadilan itu tidak dapat terwujud.
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Jokowi bahkan mengatakan akan meminta DPR menghapus pasal- pasal karet yang ada di UU ITE karena pasal-pasal itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut.
"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi.
Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, meyakini tidak akan ada lagi kriminalisasi kebebasan berpendapat setelah revisi UU ITE tersebut. Rudiantara melanjutkan, revisi tersebut akan memberikan kepastian pada masyarakat. Salah satunya terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang kerap menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
"Dengan revisi ini, tidak ada multitafsir. Karena tuntutan hukum dari maksimal enam tahun menjadi maksimal empat tahun. Jadi tidak bisa ditangkap baru (kemudian) ditanya, karena semuanya harus ada proses. Lalu deliknya adalah delik aduan," kata Rudiantara pada 2016 silam, (Kompas.com, 17/02/2021).
Ratusan orang dipenjara karena UU ITE
Hampir 700 orang dipenjara karena pasal karet dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sepanjang 2016-2020, menurut kajian lembaga reformasi hukum. Atas dasar itu, Presiden Jokowi dan DPR didesak mencabut semua pasal karet dalam UU ITE yang kerap kali menjadi 'alat mengkriminalisasi' ekspresi dan pendapat masyarakat.
"Ini hanya akan jadi basa-basi dan omong kosong kalau tidak melakukan pencabutan atau secara besar-besaran merombak ketentuan-ketentuan pidana di dalam undang-undang ITE," ujar Erasmus Napitupulu, direktur eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kepada BBC News Indonesia, Selasa (16/02).
Pernyataan itu menanggapi klaim pemerintah Indonesia yang "akan mendiskusikan inisiatif revisi Undang-Undang ITE" menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa dirinya bakal mendorong revisi undang-undang tersebut lantaran maraknya warga saling lapor dan kasus kriminalisasi.
Dalam kurun 2016-2020, UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan tingkat penghukuman atau conviction rate mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara), menurut data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil.
Laporan perkumpulan pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.
Berdasar pemantauan yang dilakukan oleh LBH Pers, selama 2020 setidaknya terdapat 10 jurnalis yang sedang melaksanakan kerja kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal - pasal dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, (BBCNewsIndonesia.com, 22/02/2021).
Pengamat menilai saat ini negara mengarah ke otoritarianisme, dengan beberapa indikasi:
Pertama, masifnya buzzer. Orang yang kritis diserang dengan buzzer, dengan berbagai macam cara.
kedua, teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus.
ketiga, terdapat UU ITE yang memiliki karakter pelembagaan buzzer, dan sudah banyak korbannya
Namun Revisi UU ITE bukan untuk memberi ruang bagi kritik rakyat atas kebijakan, justru bisa menjadi cara penguasa semakin membungkam sikap kritis.
Dalam Islam, nasihat dan kritik terhadap seorang pemimpin merupakan hal yang penting dalam kepemimpinan. Bahkan menjadi hak penguasa dan kewajiban rakyat. Pemimpin menjalankan kekuasaanya dengan rasa khawatir tidak mampu menunaikan amanahnya ketika tidak dikritik.
Sebaliknya rakyat akan sukarela tanpa terpaksa dan takut untuk menyampaikan nasihat dan kritik pada pemimpinnya. Bukan semata karena kemaslahatan dirinya agar kepemimpinan bisa memenuhi seluruh harapannya, namun juga karena berharap kemuliaan.
Wallahu a’lam bisshawab []
Tags
Opini