Institut Literasi dan Peradaban
Reforma Agraria, adalah program pemberdayaan access reform yang diinisiasi oleh Kantor Pertanahan Kota Ambon . Berupa bantuan modal usaha melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), dengan jaminan pemanfaatan sertifikat tanah. Program ini terlaksana berkat kerjasama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Dilansir dari kompas.com, 22 Februari 2021, Dusun Seri di Negeri Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Provinsi Maluku, ditunjuk sebagai lokasi pilot project kampung Reforma Agraria oleh Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dan Tim Pelaksana Harian GTRA Kota Ambon pada Tahun 2020. Alasannya karena memiliki potensi perikanan dan kelautan di Kota Ambon.
Salah seorang nelayan yang "Beruntung" menerima bantuan KUR senilai Rp 100 juta dari Bank Mandiri adalah Roothgen Wattimena. "Terima kasih kepada pemerintah yang telah memperhatikan para nelayan di sini. Sebelumnya, saya juga sudah mendapatkan modal melalui akses perbankan, dalam hal ini Bank Mandiri," ucap Roothgen (Kompas.com, 22/2/2021).
Ya, dengan memanfaatkan sertifikat tanah, Roothgen bisa membeli jaring dan kapal dan melanjutkan usahanya yang sudah berjalan sejak tahun 1955. Betapa polosnya rakyat, mereka memang hanya ingin hidup sejahtera, sayang yang ditawarkan pemerintah adalah kail berbisa.
Mengapa? Negara memang tak memberikan ikan, dengan harapan nelayan bisa produktif, namun kail yang diberikan ternyata tak benar-benar menyelamatkan hidupnya. Melainkan kail berbisa yang suatu saat akan membawa sang nelayan kepada kesengsaaraan dunia akhirat. Karena yang diambil sebagai modal adalah utang beriba dengan menjaminkan sertifikat tanah.
Inikah jaminan sejahtera bagi rakyatnya? Ada dua hal yang patut didalami, pertama, jaminan yang dimaksud adalah batil, sebab jaminan sertifikat tanah itu kelak jika ada macet pembayaran dan si nelayan tidak bisa membayar akan ada pengambilan tanah yang tercantum dalam sertifikat. Dengan kata lain dalam akod itu yang berlaku bukan penjaminan, tapi pinjaman dengan syarat pengambilan tanah jika tak sanggup membayar cicilan. Ada dua akod dalam satu transaksi.
Kedua, penyediaan lapangan pekerjaan bisa dengan memberi modal berupa bergerak atau tidak bergerak, edukasi atau pelatihan atau dengan pembukaan lowongan pekerjaan pada bidang-bidang tertentu. Dengan catatan tak bersentuhan dengan riba, sebab itu adalah muamalah batil. Tak ada keberkahan , bahkan mengundang laknat Allah sebab Allah sudah sangat tegas membedakan antara jual beli dan riba. Kita hanya diminta untuk mengimaninya.
Bukankah ini kebijakan zalim? Dimana niat tulus iklas membantu ? Yang ada keluar dari mulut harimau masuk mulut buaya,sama-sama menjadi santapan lezat kapitalis. Mengapa negara tidak mampu membiayai sendiri tanpa dukungan bank atau pihak ketiga? Sebab selain ketersediaan dana dalam APBN tidak ada alokasinya, negara memang berniat menjadikan kewajiban riayahnya dilakukan oleh pihak ketiga. Pemerintah hanya pengatur kebijakan.
Jikapun negara hadir, maka dari APBN itu hanya akan keluar dalam bentuk subsidi ( yang terbatas nominal dan waktuya) atau dengan pemberian kredit lunak, keringanan pajak. Itulah mekanisme kebijakan fiskal yang dimiliki negara kapitalis. Sebab memang cara pandang kapitalis tak mengenal Ri'ayah atau pengurusan urusan rakyat secara totalitas. Namun sekedar regulator agar bisa memberikan manfaat kepada pihak ketiga, para pemilik modal yang mereka itu sudah "membiayai" negara dengan modal mereka. Tentu tak ada makan siang gratis. Semua pasti ada imbalannya. Maka, jika bukan proyek ya akses. Berupa UU atau MOU.
Pertanyaannya, Apakah perekonomian akan tumbuh sebagaimana yang diharapkan? Apakah akan ada perbaikan kehidupan rakyat ? Mungkin iya bagi desa yang masuk pilot projek, namun itu juga tak akan lama. Jelas tidak karena utang harus dibayar berikut ribanya. Belum lagi dengan azab Allah sebab melanggar larangan yaitu secara sadar mengambil riba. Jika landasan yang yang dibangun adalah menghalalkan segala cara, yang itu sekular maka suatu saat akan ambruk menuju kehancuran.
Lebih mendasar lagi ada pengabaian dari kewajiban negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Tentu sebagai pemimpin bertakwa akan sangat takut jika dia lalai, inilah doa Rasulullah untuk pemimpin yang ketika kekuasaan ada ditangannya justru mempersulit rakyatnya,'Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia." (HR Muslim dan Ahmad). Sekularisme menghilangkan ketakwaan itu. Sebab agama dipisahkan dari kehidupan.
Jika kewajiban ada pada negara, lantas dari mana negara memiliki kemampuan mewujudkan kesejahteraan? Dari pos-pos yang ada di dalam Baitul Mal. Pos pendapatan Baitul Mal didapat dari kepemilikan umum ( pengelolaan SDA, Kharaz, jizyah, fa'i, dan lain-lain), pos zakat dan pos kepemilikan negara , semua sesuai syariat, tidak diperoleh dari utang ataupun pajak.
Sehingga tak ada celah bagi kapitalisme mencari keuntungan dibalik penderitaan rakyat. Skema pembiayaan melalui kebijakan ini hanyalah akal-akalan para pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan diatas penderitaan orang lain. Makin menderita makin baik sebab ia akan terus menerus bergantung pada si pemberi utang. Astaghfirullah. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini