Perempuan Mulia Tanpa Embel-embel Kesetaraan, Mungkinkah?



Oleh  Miliani Ahmad


Bulan Februari tinggal beberapa hari lagi akan pergi. Tibalah masa Maret yang akan mengiringi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di bulan Maret rutin diperingati sebagai bulan perempuan internasional.  Setiap tanggal 8 Maret akan dilaksanakan agenda International Women's Day (IWD) yang memiliki tema tersendiri setiap tahunnya. Pada tahun 2021 ini IWD akan mengusung tema #ChooseToChallenge.


Dilansir dari laman resmi IWD, tema ini diangkat agar perempuan bisa memilih untuk melakukan upaya penentangan dan menyuarakan bias serta ketidaksetaraan gender.


Latar belakang adanya peringatan International Women's Day sendiri muncul akibat keprihatinan atas penindasan kaum perempuan di tahun 1900-an setelah masifnya ekspansi dunia industri secara besar-besaran. Perempuan dalam kinerjanya tidak dihargai layaknya pekerja laki-laki. Hingga akhirnya muncullah banyak perjuangan dari seluruh perempuan di dunia untuk angkat suara meminta keadilan dan kesetaraan.


Pada tahun 1908 di New York terjadi aksi massal yang melibatkan 15 ribu perempuan untuk menuntut pemberlakuan jam kerja, hak suara dan gaji yang pantas bagi pekerja perempuan. Dua tahun kemudian di 1910 diadakanlah Konferensi Buruh Perempuan International di Kopenhagen. Perjuangan terus berlangsung hingga pada tahun 1975, PBB untuk pertama kalinya akhirnya merayakan peringatan IWD. Hingga tahun 2001 IWD resmi memiliki wadah dengan nama internationalwomensday. com yang memfokuskan diri dalam menyuarakan ketidaksetaraan gender.


Ilusi Kesetaraan Dalam Demokrasi


Perjuangan untuk meraih kesetaraan dalam alam demokrasi amat berat dirasakan kaum perempuan. Tuntutan demi tuntutan terus digaungkan agar aspirasi yang selama ini diperjuangkan bisa diterima dan memperoleh kekuatan hukum. Namun faktanya sekeras apa pun upaya yang dilakukan tetap saja ide kesetaraan belum mendapat ruang sepenuhnya dalam demokrasi. 


Hal ini wajar terjadi dalam demokrasi karena secara umum garis kebijakan yang dirumuskan dan dilegalkan selalu memakai standar kepentingan para pemilik modal. Berbagai regulasi yang muncul haruslah bersandar pada hitung-hitungan korporasi. Tak ada korporasi yang ingin merugi. Maka wajar jika akhirnya regulasi yang ada hanya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi korporasi untuk mendulang untung berlipat.


Termasuk regulasi yang mengatur hak-hak tenaga kerja wanita yang masih dianggap merugikan. UU Ciptaker yang diketok palu di tahun 2020 lalu merupakan wujud nyata bagaimana demokrasi menampakkan jati dirinya sebagai pelayan kepentingan kapital. Bagi para pengusung ide kesetaraan UU tersebut sarat akan penzaliman atas pekerja wanita. Diantaranya adalah  menghilangkan beberapa hak buruh seperti hak cuti menikah hak cuti haid, hak cuti keguguran kandungan, dan hak cuti melahirkan. 


Dengan sah nya RUU Ciptaker menjadi UU meradanglah para pegiat kesetaraan. Betapa tidak, UU ini dianggap telah mengamputasi harapan kesetaraan yang selama ini mereka perjuangkan. 


Nyata sudah bahwa memang demokrasi tak akan pernah memikirkan hak-hak kaum perempuan. Dalam pandangan kapital berkaitan pemenuhan hak-hak pekerja wanita sama seperti memberikan ruang munculnya ketidakoptimalan dalam produksi dan menuntut coat tinggi untuk memenuhinya.


Jauh panggang dari api jika memaksakan demokrasi harus sejalan dengan ide kesetaraan. Bagi demokrasi, keberadaan perempuan  merupakan objek vital dalam melanggengkan hegemoni korporasi. Dengan daya tawar yang rendah, perempuan cukup dibayar dengan upah rendah dan tak memiliki hak untuk menentukan sikap dalam rangka mendapatkan keadilan serta kesetaraan layaknya pekerja laki-laki. 


Tapi anehnya, para pengusung ide kesetaraan tetap percaya dan meyakini bahwa demokrasi adalah metode dan jalan terbaik untuk mewujudkan cita-cita mereka. Mata mereka telah tertutupi oleh janji manis demokrasi yang dianggap bisa menghadirkan solusi. Padahal tak ada hal istimewa yang bisa diberikan oleh demokrasi dalam memenuhi hak-hak pekerja wanita selama ini. Demokrasi pulalah yang menjadi sumber malapetaka munculnya ketidakadilan terhadap kaum wanita. 


Hanya Islam Jalan Mewujudkan Keadilan


Jika demokrasi sudah tak mampu memberikan alternatif solusi untuk menghentikan kebijakan yang dianggap merugikan perempuan  maka, sudah saatnya umat dalam hal ini para pegiat kesetaraan mengalihkan pandangannya kepada alternatif sistem lainnya yaitu Islam.


Islam menempatkan kedudukan kaum perempuan pada tempat yang Istimewa. Tak ada pandangan diskriminatif terhadap keberadaan mereka. Di mata Allah kedudukan mereka sama seperti manusia lainnya kecuali yang membedakan hanyalah amal ibadahnya.


Sehingga dalam mewujudkan keadilan dan kemuliaan atas diri mereka, Islam memiliki serangkaian mekanisme diantaranya kaum wanita berhak atas nafkah yang layak. 


وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا  “


Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf." ( Q.S 2 : 233)


Menerima nafkah tak berarti hina. Dengan adanya kewajiban nafkah di pundak laki-laki secara otomatis akan menjadikan perempuan akan fokus pada dirinya, anak-anaknya dan rumahnya tanpa perlu membebani mereka untuk bekerja demi mencari tambahan harta.


Untuk menunjang kemudahan bagi perempuan bisa mendapatkan nafkah yang layak dari suami atau orang tuanya maka negara akan memastikan sejumlah mekanisme kebijakan yang menunjang untuk mewujudkan itu semua.


Diantaranya menyediakan lapangan pekerjaan yang terbuka lebar bagi para laki-laki. Negara akan mendirikan banyak sekali industri baik yang sifatnya industri berat maupun industri-industri lainnya yang dipastikan akan menyedot tenaga kerja yang banyak. Tenaga kerja yang dibutuhkan tentu akan diprioritaskan dari kalangan warga negaranya. Selain itu, negara pun bisa memberikan tanah yang bisa digarap oleh kaum laki-laki demi mendapatkan nafkah bagi keluarganya.


Jikalaupun ada wanita yang ingin bekerja, Islam pun tidak akan melarangnya selagi pekerjaan tersebut tidak memalingkan dirinya dari kewajiban utamanya sebagai istri atau pun seorang ibu. 


Selain itu pekerjaan yang dijalankan pun bukanlah pekerjaan yang melanggar ketentuan syariah semisal pekerjaan yang harus menonjolkan kecantikan dan sensualitas. Dalam pekerjaan pun hendaknya tidak memilih bekerja pada pekerjaan yang mampu menghilangkan kelemah lembutannya sebagai perempuan seperti memporsir tenaga yang berlebihan semisal menjadi kuli bangunan.


Dalam sistem penggajian pun negara akan melibatkan para ahli untuk menentukan kelayakan gaji bagi seluruh pekerja. Sehingga gaji yang diterima sepadan dengan jasa yang telah diberikan.


Untuk lebih mensejahterakan, negara akan memudahkan urusan rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan harga yang terjangkau namun tetap berkualitas. Tak hanya kebutuhan pokok tapi juga seluruh kebutuhan lainnya seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, BBM, TDL dan lainnya dengan harga yang memihak rakyatnya.


Dengan mekanisme kebijakan yang seperti ini wanita tak perlu menjadi menderita akibat perlakuan para kapital dalam menunaikan hak-hak mereka. Kaum wanita tak perlu harus memperjuangkan mati-matian keadilan dan kesetaraan karena Islam mampu memberikan itu semua melalui kebijakan yang memuliakan bukan menghinakan.


Hanya saja semua kebijakan ini tidak mungkin bisa berjalan jika asas pengaturan kehidupan adalah demokrasi kapitalisme. Semua kebijakan tersebut hanya bisa berjalan dalam satu mekanisme kepemimpinan Islam yang disebut khilafah Islamiyah sebagaimana yang dicontohkan oleh rasulullah Saw. yang dilanjutkan para khalifah sesudahnya.


Wallahu a'lam bishawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak