Oleh: Putri Uranus
Penolakan Jeni Cahyani Hia siswi SMKN 2 Padang untuk menggenakan Jilbab karena non muslim berbuntut panjang.
Pihak sekolah menyatakan bahwa ini adalah peraturan sekolah yang telah disepakati sejak awal. Sekaligus peraturan daerah pada Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Itu artinya peraturan ini sudah berjalan 15 tahun lebih, namun selama kurun waktu tersebut baru kali ini ada siswa dan wali murid yang meributkan peraturan tersebut.
Mendikbud Nadiem Makarim, seperti yang dilansir di laman antaranews.com (26/1/2021) mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua. Hal itu berpedoman pada pasal 55 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Mendikbud berpendapat bahwa apa yang terjadi di SMKN 2 Padang tersebut sebagai bentuk intoleransi atas keberagaman, sehingga bukan saja melanggar peraturan UU, melainkan juga nilai Pancasila dan kebhinekaan. (antaranews.com)
Dari kejadian ini seolah-olah Islam sebagai mayoritas muslim bertindak sewenang-wenang terhadap minoritas. Padahal intoleran seperti ini juga menimpa siswi muslim di daerah minoritas Islam mereka dilarang menggunakan jilbab di sekolah mereka, seperti yang terjadi di sekolah-sekolah di Bali tahun 2014 silam, sekolah di NTT SMAN 1 Maumere tahun 2017, SD Inpres 22 Wosi Manokwari Papua tahun 2019.
Namun yang menjadi pertanyaan kenapa kasus di SMKN 2 Padang lebih heboh ketimbang kasus-kasus sebelumnya yang menimpa siswi muslim, padahal kasus ini sama intoleran, melanggar UU dan Pancasila.
Koordinator nasional P2G, Satriawan Salim, meminta agar Kemendragi harus mengecek semua Perda-perda yang potensi intoleran yang bertentangan dengan Konstitusi dan nilai-nilai Pancasila.
Sejumlah pengamat dalam diskusi di Jakarta, Saptu (24/11/2018) siang, menilai kehadiran perda berdasarkan sebuah agama memunculkan beberapa masalah, antara lain menjadi komoditas politik, berpotensi diskriminatif, dan menghilangkan kepercayaan publik. (voaindonesia.com, 26/11/2018)
Sikap penolakan terhadap Perda Syariah wajar karena ketidak fahaman ataupun adanya kesalahan persepsi terkait hukum syara'. Contoh fakta yang terjadi di SMKN 2 Padang, Perda Syariah tentang kewajiban bagi siswi menggenakan jilbab ditanggapi keliru. Seolah-olah manyoritas muslim bertindak sewenang-wenangan terhadap minoritas, memaksakan ajaran agama Islam ke non muslim, hingga kasus ini dibawa ke ranah pelanggaran HAM, intoleran dan melanggar UU dan Pancasila.
Namun jika kita menyikapi perda syariah dengan benar, maka anggaban yang salah tersebut akan terhapus. Perda Syariah tidak memaksakan agama Islam untuk diimani oleh non muslim. Bahkan di dalam Islam dilarang adanya pemaksaan, tercantum jelas dalam surat Al Baqarah: 256 yang berbunyi "Laa Ikraa ha fid diin", tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan "Janganlah memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas."
Maka aturan penggunaan jilbab bagi non muslim bukan bearti memaksa mereka untuk menerapkan aturan islam, bukan, perda syaraiah terkait jilbab bertujuan untuk melindungi dan menjaga kehormatan siswi non muslim.
Patut difahami bahwa aturan Islam turun bertujuan untuk menjaga manusia, Islam merupakan agama yang rahmatan lil'alamin, pengertian rahmatan lil'alamin bukan hanya untuk muslim saja namun non muslim juga mendapatkan rahmat melalui penerapan aturan Islam tersebut. Jilbab merupakan salah satu hukum syara' untuk melindungi wanita baik muslim maupun non muslim dari nafsu jahat. Bukan hanya itu laki-laki pun baik ia muslim maupun non muslim mendapatkan perlindungam dari jilbab yaitu memudahkan mereka untuk menundukan pandangan. Sehingga nafsu jahat bisa dicegah.
Dengan seperti itu sebenarnya tidak ada yang patut dikhawatirkan dari Perda Syari'ah dan tuduhan bahwa Perda Syari'ah membahayakan kebhinekaan merupakan kekhawatiran yang berlebihan.