Perda Syariah, Benarkah Memunculkan Sejumlah Masalah ?



(Oleh : Rantika Nur Asyifa)

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Kepala Daerah disadurkan dalam Undang-undang No 15 Tahun 2019 atas perubahan Undang-undang No 12 Tahun 2011, Wikipedia.

Munculnya sejumlah peraturan daerah (perda) berdasarkan sebuah agama kembali jadi sorotan setelah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengatakan partainya menolak perda injili maupun syariah karena berpotensi diskriminatif.

Sejumlah pengamat dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (24/11/2018) siang, menilai kehadiran perda berdasarkan sebuah agama memunculkan beberapa masalah, antara lain menjadi komoditas politik, berpotensi diskriminatif, dan menghilangkan kepercayaan publik.

Pengamat Politik Universitas Indonesia Ade Reza Hardiyan menilai perda berdasarkan agama hanyalah cara politisi meraup suara. Apalagi tahun ini merupakan tahun politik jelang Pemilu.
“Pelestarian kekuasaan yang tujuannya menjadi belief system yang akan melegitimasi kekuasaan mereka saja. Dan objeknya adalah masyarakat untuk diatur dalam standar-standar moral tertentu versi mereka. Saya kira ini yang mesti dikritik,” papar Ade Reza kepada wartawan, (VOA.com, 26/11/2018).

Perda berdasarkan agama juga mengisyaratkan standar ganda. Sebab standar moral diterapkan bagi masyarakat namun tidak berlaku bagi para politisi. Misalnya, terkait penyelenggaraan negara yang bersih.
Reza menekankan bahwa perda-perda yang disebut “syariah” sebetulnya jarang memasukkan unsur sebuah agama secara eksplisit ke batang tubuh. Unsur syariah justru muncul nyata di berbagai surat edaran kepala daerah seperti kewajiban sholat subuh berjamaah dan kewajiban busana muslim bagi PNS.

Baru-baru ini beredar video siaran langsung pada akun media sosial Elianu Hua yang berisi percakapan antara wali murid dengan perwakilan SMK Negeri 2 Padang mendadak viral.
Pihak sekolah memanggil Elianu ke sekolah karena Jeni Cahyani Hia, anaknya, menolak mengenakan jilbab karena nonmuslim. Jeni yang duduk di kelas IX jurusan otomatisasi dan tata kelola perkantoran tersebut merasa tidak memiliki kewajiban mengenakan jilbab karena menganut agama yang berbeda. Dalam video tersebut, Eliana mengatakan anaknya cukup terganggu dengan kewajiban menggunakan jilbab.
“Bagaimana rasanya jika anak bapak dipaksa ikut aturan yayasan. Kalau yayasan tidak apa-apa, ini kan sekolah negeri,” kata Eliana.

Dalam video itu pula, pihak sekolah menjawab bahwa janggal bagi guru dan pihak sekolah, jika ada siswa yang mengikuti peraturan sekolah, karena sudah disepakati sejak awal.
Mendikbud berpendapat bahwa apa yang terjadi di SMKN 2 Padang tersebut sebagai bentuk intoleransi atas keberagaman, sehingga bukan saja melanggar peraturan UU, melainkan juga nilai Pancasila dan kebhinekaan.
“Pemerintah tidak akan menolerir guru atau kepala sekolah yang melakukan tindakan intoleran itu,” cetus dia.

Kepala SMKN 2 Padang, Rusmiadi, mengatakan tidak ada kewajiban bagi siswi nonmuslim untuk menggunakan kerudung. Apalagi memaksa siswa nonmuslim mengenakan jilbab. Bahkan dirinya menyatakan siap untuk dipecat jika ditemukan adanya pelanggaran terkait peraturan penggunaan jilbab bagi siswa di sekolah.
“Saya siap dipecat, akan tetapi pemerintah silakan lihat dulu ke lapangan apa yang sudah kami lakukan,” jelas Rusmiadi.

Sejak awal, Rusmiadi sudah mengingatkan bahwasannya untuk tidak memaksakan siswa nonmuslim untuk berpakaian seperti layaknya siswa Muslim. Pihaknya tidak menyangka terjadi kesalahan intepretasi oleh wakil kepala sekolah dan kemudian menjadi viral di media sosial, (ANTARANews.com, 26.01.2021).

Kasus jilbab SMKN Padang yang lahir dari keputusan Walikota setempat ditarik menjadi desakan untuk membatalkan berbagai peraturan yang bersandar pada aturan agama (Perda Syariat). Banyak problem diklaim lahir dari pemberlakuan Perda Syariat.
Semua itu bukti nyata bahwa Kapitalis tidak memberi ruang bagi pemberlakuan syariat sebagai aturan publik. Islam dikerdilkan menjadi ajaran ritual sebagaimana agama lain.

Lain halnya dengan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ' alamin merupakan agama yang sempurna dan paripurna. Dan ketika sistem kapitalisme liberal  belum lahirpun sebenarnya Islam telah mengajarkan sikap toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama.
Toleransi dalam Islam adalah membiarkan umat nonmuslim beribadah sesuai keyakinannya. Tidak mencampuradukkan al haq dan batil secara serampangan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat al Mumtahanah ayat 8, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
 

Wallahu a’lam bisshawab []

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak