Oleh : Dewi Larasati
Mengutip lenteratoday.com (06/09/2020), Pada bulan Januari-Agustus 2020, Pengadilan Agama (PA) Blitar menangani sekitar 400 kasus perceraian. Sesuai data yang ada, pada Juni ada sebanyak 482 perkara, Juli 459 perkara dan Agustus 402 perkara. Panitera Muda PA Blitar, Nur Kholis menuturkan dari perkara gugatan perceraian tersebut terbanyak adalah cerai gugat dari istri sebanyak 70% dan cerai talak dari pihak suami 30%. ”Adapun data perkara perceraian yang ditangani PA Blitar sesuai kewenangannya selama 2020 pada Januari ada 632 perkara, Februari 444 perkara, Maret 352 perkara, April 303 perkara, dan Mei 154 perkara. Dan setelah PSBB kembali naik mencapai 400 perkara.
Maka apabila ditotal jumlah perkara perceraian yang terdaftar di PA Blitar sendiri selama Januari sampai Agustus 2020 ada 3.229 perkara.” Ujarnya. Tentu hal ini baru yang tercatat selama semester pertama 2020, belum termasuk sepanjang tahun 2020 apalagi pada dua bulan pertama 2021 ini. Apabila dijumlah, maka hampir dipastikan jumlahnya akan terus naik.
Nur Kholis juga menuturkan bahwa faktor utama penyebab perceraian ini adalah faktor ekonomi, sehingga menyebabkan pertengkaran dan perselisihan. Dan faktor lainnya karena adanya pihak ketiga serta faktor tidak bertanggung jawab. Ditambahkan juga oleh beliau jika pengajuan kasus gugat cerai ini terbanyak dari kalangan wiraswasta sebanyak 50%, TKI atau TKW sebanyak 40%, dan PNS sekitar 10%.
Bicara kasus perceraian, fakta diatas merupakan salah satu contoh yang terjadi di dekat kita, padahal tren perceraian juga mengalami lonjakan di setiap daerah. Salah satu contoh tren perceraian di karesidenan Bojonegoro, mengutip dari MPI Jatim (17/02/2021), sepanjang tahun 2020 di Bojonegoro terdapat 2.895 kasus, di Tuban 2.375 kasus, dan pada Januari – November 2020 di Lamongan ada 1.692 kasus.
Sebagaimana yang disampaikan oleh PA Blitar, Nur Kholis, bahwa faktor penyebab perceraian yang paling mendominasi adalah faktor ekonomi, hal ini menunjukkan bahwa negara sudah seharusnya punya andil yang besar untuk menuntaskan permasalahan ini, yang salah satu tujuannya adalah untuk menjaga ketahanan keluarga.
Masalah ekonomi keluarga berkaitan erat dengan kondisi dan sistem ekonomi yang diterapkan oleh suatu negara. Pada kondisi pandemi seperti saat ini, negara mengalami resesi ekonomi yang cukup parah yang menyebabkan menurunnya penghasilan pegawai dan maraknya PHK.
Alhasil keluarga pun terkena imbasnya. Banyak suami yang jadi pengangguran.
Miris, apabila ditelisik lebih jauh penyebab tingginya kasus perceraian bukan karena pandemi semata, tetapi karena tidak adanya penjagaan berlapis berupa hukum–hukum perlindungan keutuhan keluarga yang mestinya dijalankan oleh berbagai pihak.
Mulai dari pasangan suami–istri, masyarakat, dan negara. Banyak dari keluarga muslim yang sekarang tidak menjalankan komitmen pernikahan atau menunaikan kewajibannya sebagai suami dan istri. Tak sedikit pula suami yang tidak menafkahi istrinya (baik sengaja atau tidak), dan banyak istri yang tidak hormat pada suaminya serta banyak tuntutan.
Kondisi keluarga seperti ini tak semata karena kelalaian suami istri. Tekanan ekonomi, tidak paham hak dan kewajiban dan ketidakpahaman tentang hukum syara’ khususnya tentang pergaulan dalam rumah tangga, disebabkan karena tidak berfungsinya negara sekuler membentuk ketahanan keluarga.
Negara sekuler tidak akan mampu menjamin seluruh kepala keluarga agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, gaji yang pantas dan pemenuhan sarana publik yang baik. Hal ini disebabkan penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lebih mengedepankan investasi, hak publik seperti air, energi dan hutan diprivatisasi, rakyat tidak mampu mengaksesnya kecuali harus beli dengan harga yang cukup tinggi.
Negara hanya berperan sebagai regulator para kaum oligarki yang mengabaikan nasib rakyat. Sehingga dapat dipastikan institusi terkecil yaitu keluarga yang terancam kesejahteraannya.
Pada sistem sekuler seperti hari ini para pasangan suami–istri sangat minim pengetahuan dan skill berumah tangga sesuai islam, sehingga sangat rentan terjadi gangguan/goncangan dalam menghadapi persoalan internal maupun eksternal.
Melihat dari betapa memprihatinkannya bangunan keluarga muslim hari ini, menunjukkan bahwa umat memerlukan sebuah institusi negara yang mampu menjaga ketahanan keluarga dengan melaksanakan hukum–hukum syariat berdasarkan Al–Qur’an dan As-sunnah dan menerapkan sistem kehidupan yang diperlukan oleh keluarga, yakni Khilafah.
Khilafah akan menjamin setiap suami atau wali yang mampu memberi nafkah, sebab negara sendiri yang akan memastikan tersedianya lapangan pekerjaan bagi laki–laki. Negara juga akan memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, serta apabila perlu negara akan memberikan bantuan modal.
Sebagaimana Islam mengajarkan, Khilafah juga akan menyiapkan pendidikan bagi suami–istri agar suami–istri paham bahwa pernikahan adalah pergaulan persahabatan yang mana antara satu sama lain berhak mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan, serta wajib menjalankan kewajibannya masing–masing, dengan begitu kasus–kasus penelantaran keluarga bisa diminimalisir.
Dalam institusi Khilafah, pendidikan, kesehatan dan keamanan bisa diakses secara gratis oleh umat. Khilafah juga akan menyediakan kebutuhan keluarga yang cukup, penyediaan rumah dengan harga terjangkau, pakaian dan pangan yang cukup dan murah. Hal ini tentu akan sangat meringankan beban yang harus ditanggung oleh keluarga.
Dari sini kita tahu bahwa ternyata dalam islam sejatinya negara punya peran besar dalam menjaga keutuhan keluarga dimana pondasi pada seorang individu, masyarakat dan negara adalah keimanan serta peraturan–peraturan yang muncul bersumber dari sang Khaliq, Allah SWT. Masyarakat akan sejahtera hidupnya, dan negara akan makmur penuh keberkahan. Dengan begitu perceraian bisa terminimalisir dengan sendirinya.
Wallahualam.