Mengapa Harus Pakai Dinar dan Dirham?




Oleh: Cahaya Septi
Pelajar

Beberapa minggu lalu dunia maya dihebohkan dengan beredarnya isu penangkapan salah satu pegiat pasar muamalah. Menurut kabar yang beredar, penangkapan itu disebabkan transaksi muamalah yang berlokasi di pasar wilayah Depok tersebut tidak menggunakan mata uang rupiah melainkan jenis logam Dinar (emas) dan Dirham (perak).

Tersangka dijerat berdasarkan dua pasal yang diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang. Dia terancan hukuman penjara paling lama 15 tahun.

Banyak tanggapan negatif terkait tindakan aparat tersebut yang cenderung diskriminatif. Apalagi terdapat informasi bahwa penggunaan Dinar-Dirham tersebut dikaitkan dengan ide Khilafah.

Sejak Rasulullah saw. sukses mendirikan Daulah Islam di Madinah pasca hijrah, beliau menyetujui penggunaan mata uang Dinar-Dirham sebagai mata uang resmi negara.
Rasulullah saw. lalu menyetujui timbangan kaum Quraisy sebagai standar timbangan Dinar-Dirham sabda beliau:

"Timbangan yang berlaku adalah timbangan penduduk Makkah dan takaran yang berlaku adalah takaran penduduk Madinah." (HR Abu Dawud)

Jika dibandingkan dengan timbangan sekarang ini, satu Dinar setara dengan 4,25 gram emas dan satu Dirham setara dengan 2,975 gram perak. Di dalam Islam, emas dan perak adalah standar baku dalam bertransaksi.

Kesimpulan bahwa emas dan perak menjadi mata uang dalam Islam terdapat beberapa alasan, diantaranya:

Pertama, ketika Islam melarang penimbunan harta (kanz al-mâl), Islam hanya mengkhususkan larangan penimbunan untuk emas dan perak. Adapun mengumpulkan harta selain emas dan perak tidak disebut kanz al-mâl, melainkan ihtikâr. Jadi jelas larangan ini ditujukan pada alat tukar (medium of exchange).

Allah Swt. berfirman:

Orang yang menimbun emas dan perak, yang tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahulah mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksaan yang pedih." (TQS at-Taubah [9]: 34)

Kedua, Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku. Ketika Islam menetapkan diyat (denda/tebusan), Islam telah menentukan diyat tersebut dengan ukuran tertentu, yaitu dalam bentuk emas.

Ketiga, Rasulullah saw. telah menetapkan Dinar (emas) dan Dirham (perak) saja sebagai mata uang. Beliau telah membuat standar uang ini dalam bentuk ‘ûqyah, dirham, dâniq, qirâth, mitsqâl dan dinar. Semua ini sudah masyhur digunakan oleh masyarakat dalam bertransaksi pada masa itu.

Keempat, ketika Allah Swt. mewajibkan zakat uang, Allah Swt. telah mewajibkan zakat tersebut atas emas dan perak. Allah Swt. menentukan nishâb zakatnya dengan nishâb emas dan perak. Adanya zakat uang berupa emas dan perak menunjukkan bahwa mata uang dalam Islam berupa emas dan perak.

Kelima, hukum-hukum tentang transaksi pertukaran mata uang (money changer) hanya dalam bentuk emas dan perak. Semua transaksi dalam bentuk finansial yang dinyatakan dalam ekonomi Islam hanya dalam bentuk emas dan perak.

Berdasarkan hal-hal di atas, jelas bahwa mata uang dalam Islam distandarkan pada emas dan perak dengan jenis dan timbangan yang telah ditentukan. Itulah yang disebut Dinar dan Dirham.

Adapun keunggulan Dinar dan Dirham dibanding alat tukar (mata uang) yang lain adalah sebagai berikut:

Pertama, Dinar Dirham memiliki basis yang riil berupa emas dan perak. Kedua, Dinar dan Dirham lebih stabil dan tahan terhadap inflasi. Ketiga, Dinar dan Dirham memiliki aspek penerimaan yang tinggi. Rasulullah saw. bersabda:

Akan datang suatu masa pada umat manusia, pada masa itu tidak ada yang bermanfaat kecuali Dinar (emas) dan Dirham (perak)." (HR Ahmad)

Disini kita dapat mengetahui fakta-fakta tersebut membuktikan Dinar dan Dirham dapat menjelma menjadi mata uang yang sangat unggul dibandingkan dengan mata uang kertas fiat money manapun.

Sejatinya, umat Islam harus memahami betul syariat Islam dalam ranah muamalah sesuai tuntunan Rasulullah. Jika Islam memberlakukan Dinar Dirham sebagai mata uang negara lalu dijadikan alat tukar bahkan menjadi standar ukuran tertentu, maka seharusnya tidak ada praktik penangkapan dari aparat saat ada umat Islam berkeinginan muamalah secara syar'i.

Oleh karena itu sudah saatnya kaum muslim mengkaji Islam secara kaffah agar terhindar dari kesalahpahaman dalam praktik jual beli yang sesuai arahan syariat. Wallahu a'lam bi ash shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak