Menanti Kematian Demokrasi, Menyongsong Khilafah yang Dinanti



(Capitol Hill, Pinterest) 


Oleh: Fatimah Azzahra


Penyerbuan Capitol Hill


Rabu, 6 Januari 2021, menjadi hari yang penting bagi Amerika Serikat. Pasalnya pada hari itu Kongres melakukan penghitungan suara elektoral secara resmi di Capitol Hill. Gedung kongres tempat berkumpulnya para senat dan wakil rakyat yang menjadi representasi 300 juta lebih rakyat Amerika, menjadi symbol demokrasi. Walau dalam berbagai rekapitulasi hitung cepat, pasangan Biden - Harris dinyatakan menang. Faktanya, hari itu justru mencekam. Pertama kali dalam sejarah, Capitol Hill diserbu massa sejak terakhir gedung itu diserbu oleh Inggris pada tahun 1814. Massa pendukung Trump menolak penetapan Biden-Harris sebagai pemenang pemilu AS. Ribuan pendukung Trump mengenakan kaos bertulisan "Make America Great Again" dan membawa bendera konfederasi memasuki Capitol Hill. 


Kerusuhan terbesar sepanjang sejarah Amerika terjadi. 4 warga dinyatakan meninggal dunia akibat kerusuhan ini, salah satunya perempuan yang ditembak setelah memanjat jendela gedung Capitol Hill. Dalam pidatonya membersamai para pendukungnya, Trump terus menerus menyatakan bahwa Pilpres AS penuh dengan kecurangan dan merebut kemenangan darinya. Trump yang masih ngotot mengklaim kemenangan Pilpres, tak menjadikan dirinya dinyatakan sebagai Presiden AS. Akhirnya, pasangan Joe Biden dan Kamala Harris tetap dinyatakan menang oleh Kongres. 


Rapuhnya Demokrasi


Fenomena ini mencoreng wajah demokrasi di negara pengusungnya sendiri. Para tokoh dunia mengecam, malu dan menyatakan kerapuhan demokrasi atas insiden ini. 4 mantan presiden Amerika Serikat merasa kecewa, syok, dan mengecam aksi ini. 


Shariman Lockman, analis senior kajian keamanan dan kebijakan luar negeri di Institute of Strategic and International Studies di Malaysia menyatakan, "Anda tahu, Anda tidak bisa menangani COVID dan pemilu dengan baik. Anda, pemerintah AS, terus memberitahu kami bagaimana cara mengatur diri sendiri, tetapi Anda sendiri tidak dapat mengatur diri dengan benar”  (voaindonesia.com,7/1/2021). 


AS sebagai Negara yang dianggap teladan bagi penerapan demokrasi harus menyatakan kekalahannya dalam mempraktekkan demokrasi. Rasa hormat terhadap lembaga negara, tradisi, dan penegakan hukum telah hilang. Catatan hitam penolakan hasil pemilu yang justru tidak ditempuh dengan jalan demokratis. Masihkah berharap pada demokrasi?


Demokrasi: Catat, Rusak, dan Merusak


Demokrasi yang dielukan sebagian besar negara di dunia nyatanya sudah cacat bawaan. Aristoteles, sebagai founding father pun menyadari hal ini. Oleh karena itu, ia tak melanjutkan demokrasi yang ia terapkan, sampai akhirnya kapitalisme mengangkatnya kembali.


Demokrasi lahir dari hasil pemikiran manusia yang lemah, dan terbatas. Konsepnya mungkin terkesan Bagus "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Namun, karena ia lahir dari pemikiran makhluk, sehingga cacatlah aplikasinya. Dari rakyat yang mana? Oleh rakyat yang mana? Untuk rakyat yang mana maksudnya? Karena faktanya, konsep demokrasi yang disakralkan ini menunjuk pada golongan rakyat tertentu, kapital. Hasilnya kapital yang hanya 1% bisa menguasai 99% kekayaan dunia, sementara 99% manusia lainnya berebut memiliki 1% sisanya. 


Lahirlah praktik politik demokrasi yang syarat kepentingan. Kedaulatan rakyat berarti kedaulatan pada rakyat beruang. Kekuasaan mayoritas berarti tirani minoritas. Trias politika berarti bagi-bagi kue kekuasaan. Nilai toleransi nyatanya meniadakan tempat bagi sebagian orang, khususnya Islam dan kaum muslim. 


Demokrasi bahkan membawa petaka bagi dunia. Ia rusak dan merusak. Dalam penyebarannya saja, demokrasi sudah merusak, memporak-porandakan dunia dari timur ke barat, atas nama demokratisasi dunia. Lantas akankah kedamaian lahir dari rahim demokrasi? Justru ia jadi alat legitimasi melancarkan penjajahan. Jahat. 


Menanti Hancurnya Demokrasi


Melihat semua keburukan demokrasi, ternyata tak jua membuat manusia sadar bahwa demokrasi harus diganti. Barat justru berusaha kembali membangkitkan demokrasi. Walau faktanya, demokrasi sudah krisis diambang kehancurannya. 


Apa yang dikhawatirkan oleh duo penulis buku How Democracies Die pun sudah terjadi saat ini. Sikap memusuhi yang mengkritik, membungkam kebebasan berpendapat. Hal ini terjadi tak hanya di Amerika sebagai jantungnya demokrasi, tetapi terjadi juga di Indonesia sebagai negara penerima demokrasi. Masihkah kita berharap pada demokrasi yang rusak dan merusak ini? 


Posisi Amerika di kancah internasional pun kian goyah menghadapi manuver negara lainnya, salah satunya Cina.


Harus kita sadari bahwa demokrasi adalah sistem yang para penjajah butuhkan agar mereka bisa tetap eksis. Bebas menjajah atas nama demokratisasi, atau perdamaian ala mereka. Menjegal dan menghalangi bangkitnya kaum muslim dengan ideologi islam. Cukuplah sudah apa yang terjadi di Amerika sana menjadi pembelajaran bagi kita bahwa demokrasi tak layak diambil sebagai sistem kehidupan kita. Karena teorinya yang manis ternyata hanya ilusi belaka. Tak ada kebaikan sedikitpun dalam penerapannya. Apalagi bagi muslim, demokrasi sangat bertentangan dengan islam. 


Ajal bagi demokrasi akan tiba, tinggal menunggu masa. Mari sebisanya kita mempercepat ajal demokrasi dengan kembali membangun kesadaran akan buruknya demokrasi, dan mengenalkan perubahan yang hakiki, yakni dengan penerapan islam dalam institusi Khilafah. 


Dan ingatlah akan janji Allah kepada kaum muslim, 

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (TQS. An Nur:55)


Janji Allah itu pasti, tak perlu diragukan lagi. Yang kembali jadi catatan bagi kita adalah bagaimana kita menyongsong kemenangan yang Allah janjikan. Patutulah kita teladani sikap Nabiyullah Muhammad saw. Walau posisinya sebagai Rasul Allah, Imam kaum muslim, kekasih Allah tak lantas membuat Nabi berleha-leha dalam beramal, mendakwahkah Islam, menegakkan diinullah. Nabi selalu bersungguh-sungguh dalam beramal. Mari kembali luruskan niat, pupuk semangat berjuang di jalan Allah ini. Semoga Allah turunkan pertolongan melalui perjuangan yang kita lakukan. Aamiin. 

Wallahua'lam bish shawab.

45Zahra

Ibu, Istri, Anak, Pribadi pembelajar yang sedang suka menulis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak