Peristiwa anak gugat orang tua kembali terjadi. Kali ini datangnya dari Cinambo kota Bandung. Seorang kakek renta, Koswara 85 tahun asal Kecamatan Cinambo, digugat Rp 3 miliar oleh Deden anak kandungnya yang kedua dan Masitoh anak kandung ketiganya adalah kuasa hukum penggugat.
Masitoh mendampingi Deden, kakaknya untuk menggugat tanah waris milik ayahnya.
Gugatan tersebut berawal dari tanah warisan seluas 3.000 meter per segi milik orangtua Koswara. Sebagian tanah tersebut disewa oleh Deden untuk dijadikan toko. Namun tahun ini, tanah itu tak lagi disewakan oleh Koswara karena akan dijual dan hasil penjualannya akan dijual kepada ahli waris termasuk saudara kandung Dede.
Kapitalisme menghilangkan fitrah manusia
Seperti yang sudah-sudah, kasus anak gugat orangtua kedepannya akan semakin marak terjadi. Hal ini karena manusia telah menyingkirkan aturan agama dalam hidupnya (sekuler).
Pandangan manusia terhadap kehidupan telah berubah kepada azaz manfaat. Kebahagiaan dinilai dari banyaknya materi yang dimiliki. Sehingga wajar manusia tak lagi memperhatikan halal haram untuk mendapatkan sebuah materi. Apapun akan dilakukan untuk memperoleh materi walaupun harus menghilangkan moral dan hati nurani. Fitrah manusia yang menyukai kabaikan, berbalas budi terhadap orang yang berjasa dalam hidupnya dikalahkan oleh ambisi untuk menguasai materi. Naudzubillah.
Sungguh sistem kapitalis sekuler ini tidak layak dijadikan pijakan dalam menjalakan kehidupan. Kerusakan yang diakibatkannya semakin nampak nyata membahayakan kehidupan. Sungguh malang sempit di dunia petaka di akhirat.
Islam memiliki aturan yang jelas, termasuk masalah waris
Dalam Islam, hukum tentang waris sangat jelas dirincikan. Waris secara istilah syar’i adalah hak kepemilikan harta untuk kerabat keluarga atau yang semisalnya seperti karena pernikahan (suami-istri) setelah meninggalnya si pemilik harta. Jadi pada intinya ketika ada orang yang meninggal dunia maka secara otomatis harta yang dimiliki almarhum tersebut langsung berpindah kepemilikannya kepada ahli warisnya. Besar pembagiannya diatur berdasarkan firman Allah surat an-nisaa ayat 11-12. "Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An Nisa’: 11-12)
Sedangkan apabila pemilik harta masih hidup, apabila ingin memberikan hartanya kepada orang lain disebut dengan hibah. Secara istilah syar’i adalah akad kepemilikan suatu benda dengan tanpa imbalan dan diserahkan semasa masih hidup sebagai bentuk sadaqah tathawwum.
Dari penjelasan ini, sangat mudah sebenarnya ketika setiap orang menggunakan aturan Islam untuk menyelesaikan persoalan di dalam hidupny. Perselisihan dan kejahatan diluar nalar seperti yang saat ini bertebaran akan bisa diminimalisir. Sistem Islam adalah solusi yang datangnya berasal dari Maha pencipta dan Maha pengatur. Sehingga pasti akan mengetahui yang terbaik untuk ciptaannya.
Wahai kaum muslimin sudah saatnya kita campakkan ideologi kapitalis sekuler yang bobrok ini dan menggantinya dengan sistem Islam yang penuh keberkahan.