Penulis : Heni Satika (Praktisi Pendidikan)
Hampir satu tahun, sejak pandemi berlangsung murid-murid belajar di rumah. Ada banyak persoalan yang mengiringi pembelajaran jarak jauh. Mulai dari tergagapnya sistem pendidikan kita dan banyak tenaga pendidik yang tidak menguasai teknologi informasi. Sehingga ketika diputuskan belajar online, yang dilakukan hanya mengalihkan tugas dan materi dari ruang kelas ke rumah.
Belum lagi fasilitas yang tidak bisa dijangkau oleh sebagian besar peserta didik. Seperti kondisi sinyal dan jaringan internet. Tidak tersedianya alat komunikasi yang memadai juga menjadi kendala dari Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Kurangnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki keluarga terutama ibu untuk mendidik anaknya juga menjadi faktor penghambat PJJ. Ada yang Selama ini mereka sibuk bekerja membantu perekonomian. Sehingga ketika belajar di rumah yang dirasakan oleh ibu adalah pusing dan penuh emosi. Ibu-ibu merasa kesulitan menggantikan peran guru di rumah. Padahal rumah seharusnya menjadi madrasatul ula bagi anak.
Belum lagi kondisi anak yang selama ini mengangap sekolah tidak lebih dari penjara berseragam. Karena penuh beban tugas tidak mengantarkan mereka mempunyai kepribadian yang Islami. Peserta didik lebih menantikan akhir pekan dan tanggal merah dari pada saat mereka sekolah. Artinya ada yang salah dengan sistem pendidikan kita, sehingga peserta didik merasa bosan dan tidak bergairah dalam menuntut ilmu.
Derasnya arus informasi seperti pergaulan bebas, tayangan penuh pornografi dan pornoaksi yang tidak mendapat filter apapun dari negara membuat masalah menjadi kompleks. Kekerasan keluarga terhadap anak menjadi meningkat. Beberapa kasus bunuh diri terjadi karena beban tugas yang menumpuk. Ibu memukul anaknya sendiri karena sulit diajari juga terjadi
Dilansir dari sindonews.com badan peradilan agama menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan pasangan menikah yang belum berusia 19 tahun. Terjadi juga pelecehan seksual dengan pelaku atau korban pelajar juga mengalami peningkatan selama pandemi. Dilansir dari (theconversation.com 21/12/2020) terdapat peningkatan 40%, selama 10 bulan pandemi tercatat ada 659 kasus pelecehan seksual. Sistem pendidikan selama ini yang bernafaskan sekulerisme yakni paham yang menjadikan agama sebagai privasi semata.
Agama tidak digunakan untuk mengatur kehidupan sehari-hari manusia. Mereka lebih cenderung mengagungkan jiwa kebebasan. hasilnya adalah output pendidikan yang tidak takut akan dosa atau mengenal keimanan pada Allah sebatas ibadah ritual. Tidak jarang dijumpai pelaku maksiat yang tetap rutin shalat 5 waktu.
Sebenarnya berbagai solusi ditawarkan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan pendidikan. Mulai dari penyederhanaan kurikulum yang diambil dari kurikulum nasional dengan mengurangi kompetensi dasar sampai meniadakan UN.
Kali ini pun, untuk nilai ini UAS (Ujian Akhir Semester) diambil tidak hanya dari nilai ujian, tetapi juga dari penugasan harian, tugas selama daring, piagam lomba, portofolio. Kementerian agama pun merespon PJJ dengan menerbitkan kurikulum darurat. Dilansir dari Sindonews.com, pada hari Minggu 7/02/2021 Kurikulum ini lebih menekankan pada pengembangan karakter, akhlak mulia, ubudiyah, dan kemandirian siswa.
Ternyata seluruh solusi tersebut, tidak menyelesaikan persoalan yang terjadi disebabkan persoalan utama pendidikan berupa tercabutnya roh keilmuan tidak pernah terselesaikan. Roh keilmuan itu adalah kesadaran akan adanya Allah dalam tiap perbuatan mereka. Tidak hanya dalam urusan Ibadah individual seperti shalat, puasa dan haji. Akan tetapi teraplikasi dalam kehidupan.
Berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Ketika pendidikan dasar maka penguatan akidah menjadi pondasi yang benar-benar dikukuhkan. Penanaman rasa takut, merasa diawasi oleh Allah dan malaikat benar-benar ditanamkan dalam diri peserta didik.
Berharap akan surgaNya, menjadikan Rasulullah dan sahabat sebagai teladan serta ridha Allah sebagai tujuan utama kehidupan. Fiqih muamalah dan ibadah sudah khatam ketika mereka baligh. Sehingga peserta didik mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Penanaman akhlak akan selalu diutamakan. Dari sini kita akan mempunyai sosok generasi shaleh.
Peran negara sangat penting untuk mewujudkan generasi dambaan umat. Mulai dari perbaikan sistem pendidikan yang harus bertumpu dengan Al Quran dan Sunah dan terintegrasi dalam peraturan yang diberlakukan untuk pemerintah dan masyarakat. Jika hanya dilakukan perbaikan karakter yang hanya bertumpu pada nilai-nilai kebaikan. Tidak akan berhasil karena tiadanya ruh atau kesadaran akan perintah Allah.
Menyingkirkan segala yang merusak generasi muda seperti narkoba, tayangan pornografi dan segala aplikasi yang sifatnya sia-sia harus dilakukan negara. Menyediakan fasilitas yang mengarah pada kebaikan dan bersifat keilmuwan harus diusahakan. Dari sini kita melihat peran negara sangat penting.
Apakah negara yang berpaham kapitalistik sekuler mampu mewujudkan ini semua? Saatnya kembali menggunakan sistem Islam sebagai aturan kehidupan.
Wallahu a'lam bish showab