Oleh : Neti Ummu Hasna
Lagi-lagi sesuatu yang berbau Islam dipermasalahkan. Kali ini dinar dan dirham yang diusik.
Selasa (2/2/2021), Bareskrim Mabes Polri resmi menahan Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok, Jawa Barat. Zaim menjadi tersangka setelah pemberitaan terkait koin dinar dan dirham menjadi alat transaksi pembayaran di pasar tersebut viral.
Berdasarkan informasi dari Mabes Polri, Zaim Saidi disangkakan dua pasal sekaligus. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 9 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 33 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Sementara itu PP Muhammadiyah mempertanyakan proses hukum terhadap aktivitas Pasar Muamalah yang menggunakan dinar dan dirham dalam bertransaksi. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, KH Anwar Abbas, membandingkanya dengan banyaknya penggunaan uang asing termasuk dolar, dalam transaksi wisatawan asing di Bali.
Menurut KH Anwar Abbas, jika transaksi menggunakan uang asing berlangsung masif di Indonesia, maka kebutuhan rupiah tentu akan menurun. Sehingga bisa-bisa nilai tukar rupiah akan menurun dan tidak baik bagi perekonomian nasional.
Oleh karena itu penggunaan mata uang asing, termasuk dolar di Bali semestinya bisa diperkarakan. Namun, kenyataannya justru dibiarkan oleh pemerintah.
Sebaliknya, menurut KH Anwar Abbas, transaksi di Pasar Muamalah Depok, tidak menggunakan mata uang asing. Dinar dan dirham yang digunakan, menurutnya bukan mata uang resmi negara asing, melainkan koin dari emas dan perak yang dibeli dari PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Antam) atau dari pihak lainnya. Dan semua itu tentu dibeli dengan mata uang rupiah.
Oleh karena itu, menurut Anwar Abbas, transaksi di Pasar Muamalah bisa terkategori atau sama dengan transaksi barter. Yaitu pertukaran antara komoditas (emas atau perak) dengan barang lainnya seperti TV, sepeda, makanan dan minuman, atau produk lainnya.
Jika kenyataannya penggunaan koin dinar dan dirham dalam transaksi jual beli sama sekali tidak membayakan dan merugikan mata uang rupiah, mengapa dikriminalkan? Negara juga tidak terancam sedikit pun dari aktifitas pelaksanaan ajaran Islam ini oleh masyarakat.
Patutlah jika tindakan kriminalisasi terhadap dinar dan dirham tersebut menegaskan adanya fobia terhadap Islam, bukan karena ingin menertibkan pelanggaran administrasi terkait alat transaksi.
Mata uang dinar (emas) dan dirham (perak) merupakan bagian dari sistem ekonomi yang disyariatkan di dalam Islam. Banyak dalil dalil syariat yang menyebutkan emas dan perak baik sebagai mata uang ataupun sebagai dzat yang dikaitkan dengan hukum-hukum Islam yang lain, seperti zakat, diyat, nishab hukuman potong tangan bagi pencuri dan lain-lain.
Ada banyak keunggulan dan manfaat, sehingga mengapa Islam mensyariatkan emas dan perak ini sebagai mata uang.
Syekh Zallum menerangkan setidaknya terdapat 6 (enam) keunggulan mata uang emas dan perak sebagai berikut :
1) Emas dan Perak adalah komoditas, sebagaimana komoditas lainnya, semisal unta, kambing, besi, atau tembaga.
Untuk mengadakannya perlu ongkos eksplorasi dan produksi. Komoditas ini dapat diperjualbelikan apabila ia tidak digunakan sebagai uang.
Jadi, emas dan perak termasuk uang komoditas/uang barang (commodity money). (Nasution, 2008: 241).
Artinya, emas dan perak mempunyai nilai intrinsik (qîmah dzatiyah) pada dirinya sendiri. Beda dengan uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik pada barangnya sendiri. (Thabib, 2003: 326).
Dengan menggunakan mata uang emas dan perak, suatu negara tidak akan dapat mencetak mata uang sesukanya lalu mengedarkannya ke pasar. Ini berbeda dengan uang kertas; negara dapat saja mencetak uang kertas berapa pun ia mau, karena uang kertas tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri. (Zallum, 2004: 224)
2) Sistem Emas dan Perak akan menjamin kestabilan moneter.
Tidak seperti sistem uang kertas yang cenderung membawa instabilitas dunia karena penambahan uang kertas yang beredar secara tiba-tiba. (h. 226).
Emas biasanya tidak mudah ditemukan dalam jumlah berlimpah. Dalam perkiraan terbaik, persediaan emas global dalam 300 tahun terakhir hanya bertambah rata-rata 2% per tahun.
Tingkat pertumbuhan ini jauh di bawah pertumbuhan uang beredar berdasarkan perbankan modern yang menggunakan uang kertas. (El- Diwany, 2003: 93).
3) Sistem emas dan perak akan menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antarnegara secara otomatis untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral. (Zallum, 2004: 226).
Mekanisme ini disebut dengan automatic adjustment (penyesuaian otomatis) yang akan bekerja menyelesaikan ketekoran dalam perdagangan (trade imbalance) antarnegara. (Hamidi, 2007: 137; Nurul Huda dkk, 2008: 103).
Mekanismenya: jika suatu negara (misal negara A) impornya dari negara B lebih besar daripada ekspornya, maka akan makin banyak emas dan perak yang mengalir dari negara A itu ke negara B. Ini karena emas dan perak digunakan sebagai alat pembayaran.
Kondisi ini akan mengakibatkan harga-harga di dalam negara A turun, lalu menyebabkan harga-harga komoditas dalam negara A lebih murah daripada komoditas impor dari negara B, dan pada gilirannya akan mengurangi impor dari negara B.
Sebaliknya, dalam sistem uang kertas, jika terjadi ketekoran semacam ini, negara A akan mencetak lebih banyak uang, sebab tak ada batasan untuk mencetaknya. Tindakan ini justru akan meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli pada uang di negara A.
Dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin mencetak uang lagi, selama uang yang beredar dapat ditukar dengan emas dan perak pada tingkat harga tertentu. Sebab, negara khawatir tidak akan mampu melayani penukaran tersebut. (Zallum, 2004: 226).
4) Sistem emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, yaitu berapa pun kuantitasnya dalam satu negara, entah banyak atau sedikit, akan dapat mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang. (Zallum, 2004: 227).
Jika jumlah uang tetap, sementara barang dan jasa bertambah, uang yang ada akan mampu membeli barang dan jasa secara maksimal.
Jika jumlah uang tetap, sedangkan barang dan jasa berkurang, uang yang ada hanya mengalami penurunan daya beli. Walhasil, berapa pun jumlah uang yang ada, cukup untuk membeli barang dan jasa di pasar, baik jumlah uang itu sedikit atau banyak. (Yusanto, 2001: 144).
Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem uang kertas. Jika negara mencetak semakin banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi.
Jelaslah, sistem emas dan perak akan menghapuskan inflasi. Sebaliknya, sistem uang kertas akan menyuburkan inflasi. (Zallum, 2004: 227).
5) Sistem emas dan perak akan mempunyai kurs yang stabil antarnegara.
Ini karena mata uang masing-masing negara akan mengambil posisi tertentu terhadap emas atau perak. Dengan demikian, di seluruh dunia hakikatnya hanya terdapat satu mata uang, yaitu emas atau perak, meski mata uang yang beredar akan bermacam-macam di berbagai negara (Zallum, 2004: 227).
Benar hanya ada satu mata uang, karena satu ons koin emas (31 gram) di AS tidak akan berbeda dengan satu ons koin emas di Jepang, Jerman, atau Prancis. Mungkin satu ons emas itu akan diberi nama yang berbeda-beda di masing-masing negara ini, apakah diberi nama 20.000 Yen (Jepang), 200 Deutschemark (Jerman), 10.000.000 Rupiah (Indonesia), atau 1000 Franc (Prancis).
Namun, tidak akan ada biaya transaksi signifikan yang menggambarkan perbedaan kurs. Konsekuensinya, spekulasi mata uang asing (valas) tidak akan dapat lagi dilakukan dan perdagangan internasional pun akan makin bergairah, karena emas dan perak telah menghindarkan para eksportir/importir dari sumber ketidakpastian yang terbesar, yaitu kurs yang tidak tetap (fluktuatif) (El-Diwany, 2003: 97).
6) Sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki setiap negara. Jadi, emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain.
Negara mana pun tidak memerlukan pengawasan untuk menjaga emas dan peraknya. Mengapa? Sebab, emas dan perak itu tidak akan berpindah secara percuma atau ilegal.
Emas dan perak tidak akan berpindah kecuali menjadi harga bagi barang atau jasa yang memang hal ini dibolehkan syariat (Zallum, 2004: 227; An-Nabhani, 2004: 277)
Walhasil sistem mata uang emas dan perak memang hanya tepat ketika diterapkan dalam sebuah bingkai negara Khilafah. Khilafah akan menerapkan seluruh syariat Islam tanpa terkecuali, sehingga akan mendatangkan kemaslahatan dalam semua aspek kehidupan.
Berbeda dengan negara yang menganut sistem Kapitalisme dimana kemaslahatan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yakni para kapitalis atau pemodal. Pantaslah mereka menolak kebaikan Islam. Karena watak mereka yang rakus dan keji yang ingin memonopoli perekonomian. Mereka tidak menginginkan kesejahteraan itu bisa dinikmati secara adil di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana ajaran Islam.