Ayu Kusumayanthi,ST, Aktivis Dakwah
Setelah Edhy Prabowo, kini giliran Juliari P.Batubara yang
digelandang KPK dengan dugaan korupsi atas pengadaan dan penyaluran bantuan
sosial penanggulangan Covid-19 senilai Rp17 miliar.
Sempat Heboh sosok “Anak Pak Lurah”, kini muncul tagar “Madam
Bansos” menjadi salah satu trending topik di Twitter pada Kamis (21/1/2021).
Petinggi PDI Perjuangan disebut-sebut Madam Bansos diduga telah menerima Jatah
istimewa.
Dalam
kasus ini KPK menggeledah lima perusahaan penyedia bantuan sosial penanganan
Covid-19 di Kementerian Sosial, pekan lalu. Kelimanya adalah PT Anomali Lumbung
Artha, PT Famindo Meta Komunika, PT Mesail Cahaya Berkat, PT Junatama Foodia
Kreasindo, dan PT Dwimukti Graha Elektrindo.(idntimes.com).
KPK
mendapati bahwa Juliari menerima suap sebesar Rp 17 miliar dari para pengusaha
penyedia bantuan sosial. Uang itu disinyalir berasal dari potongan Rp 10 ribu
per paket.
SISTEM
KAPITALISME MENYUBURKAN KORUPSI
Adanya korupsi bantuan sosial ini telah
menyakiti hati masyarakat di tengah situasi sulit karena pandemi. Karena secara
tidak langsung memotong bantuan yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin.
Banyaknya kasus korupsi bansos yang terjadi bukan hanya dilakukan
oleh oknum tapi juga secara sistematik, sehingga ada celah yang bisa
diberdayakan. Jelas bisa kita lihat apa yang diupayakan oleh KPK belum cukup
efektif dalam memberantas korupsi.
Mengapa hal ini bisa menjerat para politisi penguasa?
Pertama, Tidak dapat dipungkiri, bahwa
proses politik di Indonesia berbiaya tinggi dan berkontribusi pada maraknya
praktek perburuan rente hingga korupsi.
Kedua, upaya pemberantasan korupsi yang
ditempuh selama ini tak mampu menghilangkan praktek korupsi hingga ke akarnya.
Politik transaksional dan bagi-bagi jatah kekuasaan adalah sisi gelap demokrasi
selama ini. Alhasil, meski banyaknya OTT yang dilakukan, tetap tak menjadikan
kasus korupsi melandai.
Ketiga, penegakan hukum yang lemah sebab
merupakan produk buatan manusia yang tak mampu memberi efek jera. Ditambah
adanya politik transaksional, dimana hukum dapat dibeli sesuai kepentingan.
Dampaknya, praktek korupsi seolah menjadi budaya di kalangan para pejabat
negara. Masuk penjara tak mengapa, sebab penjarapun bak istana.
Jadi bukan rahasia lagi bahwa kapitalisme menyuburkan korupsi di
mana saja dan kapan saja. Dengan politik ala demokrasi memang memerlukan
berbiaya tinggi, belum lagi gaya hidup hedonis yang ada dalam benak umat saat
ini, dan juga diperparah dengan hal yang paling mendasar yaitu sistem kehidupan
sekularisme mampu menjadi pemicu budaya korup di Indonesia. Tak ada jaminan
orang baik akan selamat dari korupsi.
JURUS
ISLAM MEMBASMI KORUPSI
Korupsi didalam
Islam termasuk tindakan khianat, dan pelakunya disebut khaa'in. Termasuk dalam hal ini penggelapan uang yang diamanahkan
kepada seseorang. Islam memberikan hukuman yang setimpal sesuai syariat
(ta'zir).
Tidak seperti demokrasi yang cacat di segala aspek, sistem
pemerintahan khilafah memiliki jurus jitu menangkal dan membasmi korupsi.
Khilafah menyiapkan instrumen pencegahan dan penindakan bila ada pejabatnya
yang terdeteksi melakukan korupsi.
Diantara pencegahan tersebut, khilafah akan memberlakukan :
Pertama, Menanamkan keimanan dan ketakwaan pada
setiap individu muslim. Dengan mendidik rakyatnya agar memiliki rasa khauf
(takut) dan Muraqabah (merasa selalu diawasi oleh Allah). Serta suasana amar
makruf nahi mungkar untuk saling mengingatkan di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Masyarakat akan melakukan pengawasan terhadap segala bentuk
penyimpangan dan kemaksiatan.
Pendidikan yang tentunya berbasis aqidah Islam sehingga akan
menghasilkan manusia yang berkepribadian Islam. dan didukung dengan lingkungan
keluarga yang paham syariat, sehingga terciptalah keharmonisan visi dalam
mencetak generasi yang terbaik.
Kedua, pemberian gaji yang layak. Para pejabat
akan diberi gaji yang layak sehingga kebutuhan dapat tercukupi, tunjangan serta
fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Dengan begitu, pemberian gaji
yang cukup dapat meminimalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam
keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri
hendaknya menikah; jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil
pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi.
Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR Abu Dawud).
Ketiga, dilarangan menerima suap dan hadiah.
Para pejabat dilarang menerima hadiah selain dari gaji yang mereka terima.
Rasulullah bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa
adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad).
Keempat, Hukuman yang tegas yang setimpal dalam
penindakan sehingga akan menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pelajaran bagi
masyarakat lainnya. Hukuman bisa berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan
diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti
yang pernah dilakukan), hukuman cambuk, penyitaan harta, pengasingan,hukuman
kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keadilan ditegakkan secara tegas tanpa pandang bulu. Karena hukum
yang diterapkan adalah syariat Islam. Bukan hukum demokrasi buatan manusia yang
sarat kepentingan.
Begitulah jurus jitu negara Khilafah membasmi korupsi. Masih mau
memakai demokrasi yang menjadi sarang korupsi?
Tentu hal diatas bisa kita realisasikan jika sistem Khilafah tegak.
Wallahu a'lam bi ashshawab.