Oleh: Amallia Fitriani
Korupsi belum berakhir bahkan menjadi masalah serius di negeri ini. Dalam kondisi pandemi saat ini pun tak luput dijadikan peluang untuk melakukan tindak korupsi. Dilansir dari suara.com, pria bernama lengkap Juliari Peter Batubara ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek Tahun 2020. Ia diduga menerima fee sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu dengan total fee yang sudah diterima sebesar Rp 17 miliar (06/12/1020).
Bahkan berita terbaru mengabarkan bahwa Juliari tidak sendiri dalam kasus korupsi ini. Dilansir dari tempo.com, dalam kasus ini KPK menetapkan Juliari Batubara dan empat orang lainnya menjadi tersangka. Mereka adalah pejabat pembuat komitmen di Kemensos Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso. Selain itu, dua pihak swasta Ardian I. M dan Harry Sidabuke juga ditetapkan menjadi tersangka (25/01/2021).
Demokrasi peluang korupsi
Terungkapnya korupsi bansos yang menjerat Juliari hingga elite partai menjelaskan bahwa praktik korupsi berjamaah itu bukan fenomena langka di sistem demokrasi. Di masa pemerintahan sebelumnya, sejumlah kader hingga petinggi sebuah partai pernah terseret kasus korupsi. Korupsi terjadi karena ada peluang dan kesempatan. Sistem demokrasilah yang memberi ruang tindak korupsi.
Pertama, keikutsertaan parpol atau individu dalam pemilu di sistem demokrasi memerlukan biaya politik yang sangat tinggi. Akibatnya, parpol dan individu yang berniat maju memenangi kontestasi harus bekerja keras mencari dan menutup modal dengan berbagai cara.
Kedua, sistem kontrol dan sistem hukum yang lemah membuat praktik kecurangan lambat laun dianggap sebagai kewajaran. Sampai-sampai para pejabat yang kena jerat KPK pun masih bisa melenggang seraya menebar senyum dan tawa kepada para awak media. Seakan-akan mereka percaya diri, bahwa semua hasil putusan hukumnya kelak bisa diatur dengan uang dan jaringan kekuasaan.
Namun ironisnya, semua perilaku culas ini seolah sulit diberantas. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang tujuan didirikannya untuk memelihara dan menjaga keseimbangan pelaksanaan pencegahan dan penindakan korupsi dengan berorientasi pada pengembalian kerugian negara secara maksimal, nyatanya tidak mampu memberantas tindak korupsi bahkan mencegah para kapitalis dan penguasa dari korupsi, kolusi, nepotisme.
Bahkan KPK masih berutang kasus korupsi bagi rakyat negeri ini. Sebagai contoh, pertama, kasus BLBI yang merugikan negara sebesar Rp4,58 tiriliun. Kedua, dugaan korupsi yang menjerat mantan Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino (RJ Lino). Sejak 2015 kasus ini masih dalam tahap penyidikan. Ketiga, dugaan korupsi penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 yang menjerat eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan eks kader PDIP Harun Masiku. Hingga saat ini, keberadaan Masiku masih tidak diketahui. Ia lenyap bagai ditelan bumi. Dan masih banyak kasus sama lainnya yang belum mampu KPK usut hingga tuntas.
Melihat kondisi KPK saat ini yang masih jauh dari tujuan didirikannya, membuat masyarakat semakin dihimpit kecemasan, dan meragukan kinerjanya.
Akankah KPK mampu menindak lanjuti temuan mengalirnya dana bansos hingga ke pucuk tertinggi elite partai? Inilah peliknya korupsi di negeri demokrasi
Korupsi dalam tinjauan Islam
Allah SWT telah menurunkan Islam untuk dijadikan pedoman dalam menata kehidupan umat manusia baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Tidak ada sisi yang tidak diatur oleh Islam. Aturan atau konsep itu bersifat mengikat bagi setiap orang yang mengaku muslim. Konsep Islam juga bersifat totalitas dan komprehensif, mengatur segala aspek kehidupan, yang mengharuskan setiap pemeluknya berIslam secara kaffaah.
Sebagaimana Allah SWT berfirman, dalam QS Al-Baqarah ayat 208, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Begitu pula dengan segala tindak kejahatan korupsi, Allah telah mengharamkan bagi setiap pelakunya, dan Allah memperingatkan dengan jelas, bagi pelaku tindak korupsi bukan termasuk orang beriman sebagaimana dalam Q.S An-Nisaa : 29, yang artinya "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".
Sungguh negeri ini membutuhkan penegakkan sistem Islam. Karena sistem ini memiliki aturan yang mampu menutup celah maraknya penyimpangan perilaku, salah satunya tindak pidana korupsi.
Korupsi lenyap dengan Islam
Ketika Islam dijadikan pedoman dalam kehidupan, Islam akan mampu melenyapkan korupsi dengan melalui mekanisme tertentu. Pertama, pada tataran Individu, Islam akan menjadikan keimanan sebagai landasan semua perilaku. Tak hanya dalam urusan pribadi, tapi juga dalam urusan bermasyarakat. Keimanan dan ketaqwaan yang terhujam kuat pada individu akan menghindarkan seseorang dari perilaku korupsi. Seseorang yang beriman dan bertakwa memiliki pandangan bahwa tak ada satu perbuatan pun yang luput dari pencatatan malaikat dan penghisaban di hari akhirat. Semuanya diyakini akan mendapat balasan setimpal.
Kedua, pada tataran masyarakat, perbuatan korupsi mampu dicegah.
Berbeda dengan sistem sekuler demokrasi yang begitu menuhankan kebebasan dan individualisme, dalam sistem Islam, masyarakat akan terbiasa melaksanakan amar makruf nahi mungkar, karena aktivitas ini merupakan salah satu kewajiban syar’i. Perilaku inilah yang akan mencegah terjadinya tindak korupsi. Di mana masyarakat terkondisikan untuk saling mengingatkan agar masing-masing menjaga ketaatan, bukan malah saling mendukung perbuatan maksiat hingga menjadi budaya yang akhirnya sulit ditinggalkan.
Ketiga, dalam tataran negara, negara dalam sistem Islam akan menerapkan seluruh aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Mulai dari sistem politiknya yang menjadikan kekuasaan dan kepemimpinan berfungsi sebagai pengurus (raain) dan penjaga (junnah) umat. Sungguh, negara saat ini hanya membutuhkan sistem Islam yang akan menjadi benteng pertahanan umat dari tindak kejahatan dan pelanggaran.
Dalam Islam para pelanggar hukum syara akan diberikan sanksi & hukuman yang setimpal sesuai perbuatan yang dilakukannya sehingga akan memberi efek jera dan juga mampu menjadi pencegah atas maraknya tindak pidana korupsi, sekaligus juga akan menjadi penebus dosa kelak di akhirat.
Inilah seperangkat aturan yang diberikan Islam dalam mencegah dan menghapus tindak korupsi hingga ke akar. Namun aturan ini tentu tak mungkin diterapkan sepanjang sistem politik pemerintahan yang diberlakukan adalah sistem demokrasi sekuler.
Penerapan sistem-sistem ini, butuh sistem pemerintahan yang disebut khilafah. Yakni sebuah institusi politik yang akan menerapkan sistem Islam secara kaffah dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.
Wallahu a’lam bishawab.
Tags
Opini